“Dokter Eva, ada yang mencari Anda.” Seorang perawat yang bekerja untuk Dirgantara Artha Graha memasuki klinik dan langsung menghampiri Eva. “Mencariku?” “Ya. Beliau menunggu di depan.” “Beliau?” Eva menutup catatan medis yang tengah diperiksa, meraih jas putih miliknya dengan kening berkerut. “Siapa yang ingin menemuiku siang-siang begini?” Langkah Evalia terhenti di depan pintu kaca, menatap wajah cantik yang terlihat gelisah. “Nyonya Kuina?” panggilnya lirih. Suaranya bergetar dan degup jantung yang lebih kencang dari sebelumnya. Ini pertemuan keduanya dengan wanita yang sudah menolongnya malam itu. “Apa kabar, Eva?” Kuina memeluk Eva, dia justru terpaku seperti manekin kaku. Tangannya tetap terulur di samping badan, sama sekali tidak membalas perlakuan hangat wanita itu. “Bisa ikut denganku sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan.” Eva tak lantas menjawab, melirik jam dinding di samping kanannya. Lima menit sebelum jam istirahat datang. “Hanya sebentar saja,” bujuknya deng
"Kamu terlihat sangat cantik, Sayang," puji Kuina sambil mengamati pantulan wajah Evalia yang terlihat di cermin. Tidak butuh waktu lama bagi wanita konglomerat itu untuk mempersiapkan pernikahan sederhana seperti yang diminta menantunya. Dokumen yang siap hanya dalam hitungan jam, gedung resepsi pernikahan yang dilakukan tertutup dan hanya dihadiri keluarga dekat, termasuk urusan make up artist dan semuanya. Kuina benar-benar bisa mendapatkannya hanya dalam hitungan jam. Tentu saja dengan bayaran yang sepadan. “Kamu terlihat tegang sekali,” ujarnya sambil duduk di samping Eva, menarik tangan gadis itu yang sekarang tertutup sarung tangan pengantin warna putih, senada dengan gaun mewah yang melekat di tubuhnya. “Ada yang bisa Mama bantu? Atau, ada yang kamu butuhkan?” Sikap hangat Kuina hanya mendapat gelengan kepala sebagai jawaban. Evalia banyak diam setelah menandatangani perjanjian dengan wanita itu. “Baiklah. Kalau begitu Mama akan lihat keadaan di luar. Jika kamu membutuhkan
"Pa," sapa Hans saat menghampiri ayahnya di balkon. Udara malam terasa membelai wajahnya. Dani mengembuskan napas kasar dari mulut, bingung bagaimana menyampaikan maksudnya. Dia benar-benar turut prihatin melihat putra semata wayangnya itu dibenci oleh istrinya. Kehidupan rumah tangga mereka, entah bagaimana nasibnya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Dani membuka percakapan. "Hmm. Sedikit lega. Setidaknya pernikahan ini berjalan dengan lancar dan Eva sama sekali tidak membuat keluarga kita malu. Dia bisa berdamai di depan kolega bisnis kita." "Tapi Mama tetap saja terguncang, Hans. Sikap Eva berubah jadi lebih dingin dibandingkan sebelumnya. Kamu akan menemui kesulitan yang jauh lebih kompleks nantinya." Hans tersenyum pahit dan berkata, "Itu tidak lebih buruk dibandingkan aku tidak bisa memilikinya, Pa. Bagaimanapun juga, itu risiko karena aku sudah menyakitinya. Mungkin itu memang balasan yang tepat untuk kebodohanku malam itu." Dani bergerak mendekati Hans, menepuk pundaknya. "Pa
"Di mana pakaian kotormu?""Apa?"Hans harus memastikan indra pendengarannya berfungsi dengan baik saat pagi hari berhadapan dengan Eva. Wanita itu mengetuk pintu kamarnya dan menanyakan pakaian kotor."Kulihat ada mesin cuci di belakang. Sebagai seorang istri, sudah seharusnya aku mencuci pakaian suamiku."Hans tak lantas merespons, butuh waktu lama untuk loading otaknya. Dia tidak pernah membayangkan Eva akan melakukan tugas keseharian seperti itu."Kau tidak perlu melakukannya, Eve. Biarkan asisten rumah tangga saja yang—""Di mana?!" sela Eva dengan wajah tanpa ekspresi, datar dan menginginkan jawaban secepatnya.Karena melihat Hans tetap bergeming di posisinya, Eva memilih memasuki kamar pria itu setelah mengucap permisi sewajarnya. Mata indahnya langsung berkeliling, sebelum memasuki kamar mandi dan membawa keranjang berisi baju yang dipakai Hans kemarin."Eve ....""Menyingkirlah!" tegas Evalia saat Hans menghadang langkahnya, menahan keranjang itu dari sisi yang lain."Aku meni
"Mau makan apa?" tanya Hans setelah seorang pramusaji memberikan buku menu kepada mereka."Terserah kamu saja.""Ada alergi makanan?""Aman.""Baiklah."Hans mengangguk, segera memesan paket lengkap untuk mereka berdua. Terlebih dahulu, dia meminta satu cup es krim sebagai makanan pembuka."Aku tidak tahu makanan apa yang bagus untuk wanita hamil, maupun makanan yang tidak boleh diberikan. Lain kali, tolong beri tahu aku.""Semua makanan baik selama tidak berlebihan. Selama kamu bukan seorang pemilih, anakmu juga seharusnya bisa makan segalanya."Tarikan napas panjang terlihat detik berikutnya. Hans tidak tahu bagaimana menghadapi Eva jika mode acuh tak acuhnya sedang kambuh."Apa yang ingin kamu bicarakan?" Akhirnya kata itu yang terucap dari bibir Hans setelah satu dua menit berlalu tanpa ada yang bersuara. Eva sudah menghabiskan makanan manis di atas mangkuk, juga memakan ceri yang digunakan sebagai topping.Eva yang semula menghempaskan punggung ke belakang, kembali menegakkan tub
"Hari ini jadwal pemeriksaan kandungan ke dokter. Aku sudah membuat janji temu dengan Dokter Bina, salah satu seniorku di kampus dulu," ucap Hans begitu menghampiri Eva di meja makan di satu pagi yang cerah.Hari itu, tepat satu bulan Hans dan Eva berbagi atap yang sama. Artinya, kandungan wanita itu memasuki bulan ketiga di mana pada sebagian orang sedang menderita morning sickness yang parah."Kapan kau ada waktu?" imbuh Hans sambil menarik kursi dan duduk di tempat yang biasa digunakan olehnya. Meski susah payah mengendalikan perasaan, tetap saja rasa cinta pria itu justru semakin bertambah. Degup jantung Hans berdetak begitu cepat saat Eva membantunya memakai dasi kemarin pagi."Kapan saja bisa, tapi mungkin lebih baik mencari waktu pribadi. Menghindari bertemu orang yang mengenal kita berdua. Aku tidak pandai berbohong, malas juga mencari alasan jika ada yang bertanya.""Bagaimana jika sepulang bekerja? Seharusnya Bina bisa memiliki waktu khusus sebelum memeriksa pasien lain.""K
"Satu sendok lagi. Ayo buka mulutmu," pinta Eva sambil menebalkan kesabarannya. Baru dua suap, Hans sudah menggeleng, menolak bubur nasi yang masuk ke mulutnya."Sudah cukup. Aku kenyang," ucap Hans lemah. Wajahnya pucat pasi dengan bibir sedikit gemetar. Dia menolak pergi ke rumah sakit, tapi juga menolak obat apa pun yang diberikan oleh Eva. Lebih-lebih saat akan disuntik, dia berteriak histeris karena takut dengan jarum. Bulir air mata sampai membasahi wajahnya, mengiba menunjukkan penolakannya."Kalau seperti ini terus, kamu tidak akan sembuh. Bukankah pekerjaan menumpuk di kantor?!" Eva yang mulai jengkel, menatap sebal ke arah Hans yang bersikap keras kepala. Dia bahkan sampai berkacak pinggang demi menunjukkan rasa gemasnya."Panggilkan saja Mama. Aku akan sembuh setelah dia datang merawatku."PLAK!Alih-alih menuruti permintaan Hans, justru sebuah tepukan yang mendarat di perut pria itu, membuatnya mengaduh tertahan. Eva yang memang keras tabiatnya, berbanding terbalik dengan
"Tuhan, jika kebersamaan ini hanya mimpi, aku tidak ingin terbangun selamanya," gumam Hans sambil menatap wajah cantik yang masih terlelap di hadapannya.Dia berkali-kali terjaga, khawatir Eva akan menjauh dari tubuhnya. Rasa kantuk yang sempat mendera, entah ke mana rimbanya. Berjam-jam Hans memusatkan perhatiannya kepada wajah Evalia Ayu Lesmana yang benar-benar ayu itu, menikmati setiap jengkalnya seolah tak ada waktu esok maupun lusa.Dalam diam, Hans berkali-kali tersenyum. Dia hampir tidak pernah sakit selama ini, tapi entah kenapa pagi tadi merasa mual yang teramat sangat sampai membuatnya muntah. Meski merasa tidak nyaman pada awalnya, tapi dia justru bersyukur setelahnya.Eva menjadi orang pertama yang paling memedulikannya, menungguinya tanpa lepas perhatian sedetik pun darinya. Wanita itu bersikap lebih lembut, melunak dan tak mengarahkan tatapan sengit seperti sebelum-sebelumnya. Entah karena iba, atau yang lainnya. Tetap saja, Hans bahagia karena Eva bersedia menyuapinya s