“Sayang, Hans bicara denganmu. Apa kamu ingin membiarkannya terus berlutut seperti itu?”
Berbagai pemikiran Eva segera terjeda, menatap Kuina yang kembali memeluk lengannya seperti saat mereka bergabung kembali ke tempat itu.
“Tidak ada yang memaksamu menerima pernyataan cinta bocah itu, tapi setidaknya kamu bisa membuatnya berdiri,” bisiknya lebih lanjut.
Hans merendahkan dirinya, mengungkapkan perasaan yang tidak bisa disembunyikan lagi. Dia ingin Eva tahu bahwa dirinya adalah seseorang yang spesial.
Semua gadis yang ada di sana melihat adegan romantis di depan mereka dengan tatapan iri. Tidak sedikit yang berharap bisa bertukar posisi dengan gadis yang sampai saat ini masih bungkam seribu bahasa.
Hans Dirgantara memiliki semua yang diidam-idamkan wanita. Tampan, pekerja keras, lembut, juga masa depan yang cemerlang sebagai pemilik sekaligus pendiri sebuah perusahaan multinasional. Belum lagi ayah dan ibunya yang terkenal dengan kebaikan hatinya, tidak memandang orang lain berdasarkan harta maupun strata sosialnya.
Namun, semua itu justru membuat Eva tidak bisa membuat keputusan dengan mudah. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa baiknya seorang Kuina saat mendampinginya berganti pakaian. Tatapan matanya, juga senyum tulusnya sama seperti senyum Hans. Mereka sedikit dari kalangan orang berada yang memiliki hati seluas samudera. Bukan penggila harta.
Detik itu juga Eva mengambil sekuntum bunga mawar merah muda yang Hans berikan dan melahirkan senyum bahagia di kedua sudut bibir pria itu. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju Felix yang langsung memberikan mikrofon di tangannya.
“Hans, terima kasih karena sudah mengundangku ke sini,” ucap Eva mulai bicara yang dijawab anggukan oleh Hans.
“Selamat datang kembali ke Indonesia dan selamat atas peresmian perusahaan milikmu. Itu sesuatu yang membanggakan.” Eva menarik napas dalam, berusaha tetap tenang menyampaikan maksud dan tujuannya tanpa membuat Hans atau keluarganya tersinggung.
“Maaf jika membuat keributan di hari spesialmu ini, aku benar-benar tidak bermaksud demikian.”
“Eva, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Ini kesalahanku.”
Eva menggeleng. “Ada sesuatu yang ingin aku katakan, Hans.”
Detak jantung Hans berdegup kencang, berpikir Eva akan menerima pernyataan cintanya sesaat lalu.
“Apa yang teman-temanku katakan benar adanya. Aku seharusnya tidak ada di sini. Rasanya terlalu berlebihan karena kamu menganggapku begitu spesial. Aku yang tidak tahu diri ini, bergabung dengan kalian tanpa berkaca sebelumnya.”
Hans mengepalkan tangan, menyadari ke mana arah pembicaraan Eva. Euforia yang belum sepenuhnya tercipta, perlahan harus berganti menjadi rasa kecewa.
“Aku sangat beruntung berada di sini, tetapi maaf Hans, aku tidak bisa menerima perasaanmu. Kamu akan mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku.” Eva mengembalikan bunga mawar di tangannya kepada Hans dan menundukkan badan, pamit undur diri.
Ketenangan yang semula terukir di wajah pria itu, kini musnah seketika. Eva, gadis pertama yang membuatnya jatuh cinta, menjadi orang pertama yang menolak ketulusannya. Tak hanya itu, harga dirinya seolah diinjak-injak begitu saja.
Tiga puluh menit yang lalu, dia membela Eva di depan teman-temannya. Bahkan tidak segan memberi perhitungan untuk orang yang sudah menyakitinya. Namun sekarang, justru Eva sendiri menolak mentah-mentah pernyataan cintanya.
“Nyonya Kuina, terima kasih atas kebaikan Anda. Saya akan segera mengembalikan gaun ini setelah mencucinya. Sekali lagi terima kasih dan maaf atas kelancangan saya datang ke tempat ini dan membuat semuanya kacau.”
Eva menundukkan badannya sekali lagi dan benar-benar pergi dari sana tanpa memedulikan tatapan Hans yang tengah terluka. Penolakannya membuat pria yang selalu tersenyum itu jadi banyak diam dan bertanya-tanya apa yang keliru dengannya. Kenapa Eva menolaknya begitu saja?
Hans mencoba fokus bekerja, mengesampingkan rasa sakit hati yang datang tanpa diminta. Sayangnya, setiap ada waktu luang, dia kembali mengingat penolakan Eva. Waktu tidurnya jadi terhambat, bahkan konsentrasinya juga ikut terganggu.
“Hans, kamu masih memikirkan gadis itu?” Felix yang khawatir dengan keadaan Hans, mengajaknya ke kelab malam. Sebagai kawan karib, dia tidak tega melihat sahabatnya terlalu larut dalam kesedihan karena ditolak seorang wanita. Dia berusaha menghiburnya.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Hans mengangkat botol minuman kerasnya dan mengisi seloki mungil di tangan sampai penuh sebelum menghabiskannya sekali teguk, berharap rasa mabuk bisa membuatnya lupa pada Eva.
Felix yang tahu tingkat toleransi alkohol Hans cukup rendah, tidak sampai hati mencegahnya. Tidak ada obat sakit hati yang lebih manjur dibandingkan menenggelamkan diri dalam minuman keras. Itu juga yang pernah dia lakukan saat ditinggal mati kekasihnya beberapa tahun yang lalu. Satu yang pasti, dia harus terus ada di sana, menjaga agar Hans tidak kehilangan kendali dan membahayakan dirinya sendiri.
“Kenapa dia menolakku? Apa kurangku?”
Hans mulai kehilangan kesadarannya dan meracau tidak jelas. Wajahnya yang putih kini mulai bersemu merah, terasa sedikit panas. Matanya sudah terasa berat, tapi dipaksa terbuka demi menjaga kesadarannya yang tak seberapa.
"Kau tahu, aku tidak pernah tertarik pada wanita mana pun selama di Inggris ataupun Indonesia. Banyak gadis cantik yang ingin berkencan denganku, bahkan menawarkan diri naik ke ranjangku, tapi aku tetap menjaga hatiku."
Satu seloki lagi kembali diteguk dalam hitungan detik. Tak puas dengan hal itu, Hans minum langsung dari botolnya sampai Felix merebutnya. Pria 178 cm itu terbatuk-batuk, tidak terbiasa minum seperti sahabatnya. Kalaupun mencoba, hanya satu gelas kecil saja, bukan menghabiskan beberapa botol seperti sekarang. Malam ini, Hans benar-benar butuh pelampiasan.
Melihat Hans terkapar di meja, pemikiran jahat merasuki Felix yang tak pernah lepas dari hal-hal berbau erotika.
"Bagaimana jika Hans dan Eva terjebak dalam satu ruangan? Mungkinkah dia akan mengambil kesempatan langka itu untuk menaklukkan wanita kesayangannya?"
Senyum miring terbit di wajah Felix. Dia tahu bagaimana membantu pria yang tengah patah hati itu.
"Hans, akan kubuat gadis itu tidak bisa menolakmu!"
“Nyonya, ada tamu untuk Anda.”Eva mengangguk, menyangga perut besarnya sambil keluar dari kamar. Tampak Liliana tersenyum menyambutnya.“Apa kabar, Eva? Lama tidak bertemu,” sapanya sambil mendekati Eva dan memberikan pelukan hangat. Namun, tangan Eva tak menyambutnya.“Silakan duduk. Apa yang membawamu kemari?” tanyanya to the point.Liliana terbiasa mendapati sikap Eva yang cukup pendiam, tidak menyadari bahwa sandiwaranya telah terungkap. Hans sudah menceritakan semuanya, termasuk menegaskan bahwa Liliana ada di bawah pengawasan pria itu.“Sebentar lagi hari persalinanmu, bukan? Aku membawakan makanan enak untukmu selagi kamu bisa makan bebas. Setelah bersalin nanti, kamu nggak mungkin makan sembarangan.”Sebelum sempat Eva merespons, Liliana dengan tidak tahu diri langsung berjalan ke arah dapur dan mengambil mangkuk.“Cicipi sedikit saja, Eve. Kamu pasti suka,” ucap Liliana sambil mendekatkan sendok di tangannya ke arah Eva setelah keduanya duduk berdekatan di atas sofa.“Maaf,
"Tuan, ada kabar buruk!" Bram memasuki ruang kerja Hans tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ada hal lain yang lebih penting yang harus disampaikan kepada pria itu. Hans mengangkat wajahnya dan bertanya, "Ada apa?" Bram meletakkan lembaran foto yang tersebar ke seluruh karyawan ke atas meja, menampilkan foto-foto Arvin yang sedang menggenggam tangan Eva. Gosip segera merebak di antara ratusan karyawan Dirgantara Artha Graha itu. "Seorang anonim mengirimkan ini di web sebelum salah satu karyawan kita meneruskannya ke grup obrolan. Mereka mengira itu suami Nyonya Eva dan memberikan pujian karena melihat kemesraan keduanya." Hans bungkam, menyipitkan matanya demi menatap potret itu sekali lagi. Dilihat dari sudut pandang orang luar, memang tidak mungkin keduanya tidak memiliki hubungan. Pria dengan kacamata tebal itu sedang meniup luka di punggung tangan Eva yang sedang mengelus perut sambil menatap sayu ke arah si pria. "Apa yang harus saya lakukan, Tuan?" tanya Bram setelah men
"Presdir, ini jadwal Anda hari ini," ucap Liliana sambil meletakkan komputer tablet di tangannya ke depan Hans setelah dipersilakan memasuki ruangan. "Aku sudah mendapat salinannya dari Bram, tidak perlu merepotkanmu. Untuk ke depannya, tidak perlu masuk ke ruangan ini tanpa panggilan dariku karena mulai hari ini kamu bukan sekretaris utama lagi." Liliana menelan ludah dengan paksa, menyadari sikap atasannya begitu dingin. "Kenapa masih di sini?" "Ah, maaf. Apa saya membuat kesalahan sampai Presdir memindahkan saya ke divisi lain?" "Kau tidak menyadari kesalahanmu?" Liliana menggeleng dengan wajah polos. Gadis itu tentu saja sadar, tapi dia ingin tahu sejauh mana Hanson menyadari rencana liciknya. Mungkin ada sedikit celah yang bisa dia manfaatkan. "Jangan pernah berpikir berlebihan. Istriku hanya Evalia Lesmana selamanya." Dengan wajah tertunduk menahan malu, Liliana meninggalkan Hans. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia membereskan barang-barangnya di meja dan men
“Jadi, kalian bertiga berkomplot menipuku?” tanya Eva sambil menghempas tangan Hans yang sedari tadi menggenggam jemarinya erat-erat sambil menjelaskan hubungan Liliana dan Felix selama ini.“Eve, aku tidak pernah berniat untuk—”“Faktanya, dia mendekatiku karena membantumu!”“Ya, itu benar. Aku minta maaf karena memanfaatkan hubungan kalian, tapi saat itu aku sangat mengkhawatirkanmu dan kau menolak untuk bertemu denganku.”Eva mendengkus, mengubah posisi duduknya jadi membelakangi Hans. Kakinya terulur ke lantai yang dingin.Seketika itu juga, Hans turun dari ranjang dan mengambil sandal rumah milik Eva dan memakaikannya. Namun, wanita yang terlanjur emosi itu menendangnya dengan sengaja. Dia berjalan menjauh dari ranjang dengan bertelanjang kaki.“Eve, dengarkan dulu.”“Aku tidak ingin mendengar apa pun. Diam dan enyahlah dariku!”Hans tidak melawan saat Eva menyingkirkannya. Dia hanya bisa menatap punggung wanita itu keluar dari kamar dan menuju dapur.Segelas air putih langsung d
Saat Hans membuka pintu kamar, semerbak aroma harum menyapa indra penciumannya. Seulas senyum terkembang di wajahnya yang tampan.“Selamat malam, Sayang,” sapa Hans sambil mendekap tubuh Eva yang sedang berdiri di depan lemari, mencari piyama. Tangannya melekat erat di perut buncit wanita itu sambil menyesap leher jenjang yang tak tertutup apa pun.Eva baru selesai berendam. Rambut panjangnya sengaja diikat tinggi di atas kepala agar tidak basah. Siapa sangka, Hans pulang sebelum dia bisa merapikannya.“Kamu sudah pulang,” ujarnya sambil menoleh, mendapati wajah tampan yang hampir bersentuhan dengan hidungnya.“Kenapa mandi di tengah malam begini, hmm?” bisiknya di telinga Eva sambil sesekali melumatnya.Degup jantung Eva tak terkendali mendapat perlakuan seperti itu, membuat wajahnya memerah. Bagaimanapun juga, meski masih belum mencintai Hans, dia tidak bisa menolak pesona pria itu. Terlebih, dirinya juga seorang wanita dewasa.Berbulan-bulan mencoba mengabaikan kebutuhan biologisny
“Hans, akhirnya kita bertemu lagi.”Pemilik resort sekaligus event organizer berusia awal empat puluh tahunan itu langsung menjabat tangan Hans, bahkan memeluknya seperti seorang sahabat yang lama tidak bertemu.“Apa kabar, Dam? Masih betah menyendiri seperti sebelumnya?” balas Hans, memicu tawa mereka berdua.Satu-dua obrolan mengalir lancar, tidak terasa canggung sama sekali. Sebaliknya, Liliana tercengang di posisinya. Dia tidak menyangka Hans dan Adam saling mengenal satu sama lain.“Sudah, kita lanjutkan obrolannya lagi nanti. Jangan sungkan. Ayo duduk.”Hans menempati sebuah kursi, menyisakan Liliana yang masih mematung di tempatnya. Dia terkejut, tidak pernah melihat Hans berpelukan dengan orang lain, terlebih rekan bisnis. Pria itu selalu menjaga jarak dengan orang lain.“Ah, Nona Liliana, kenapa masih diam di sana? Ayo silakan duduk.”Liliana tergagap, “Ba … baik,” jawabnya sambil melirik Hans setelah terpaksa mengulas senyum canggung. Jauh di lubuk hatinya, dia masih bertany