Share

6. Niat Jahat

last update Huling Na-update: 2023-05-17 20:19:56

"Eva, ini sudah terlalu larut. Menginap saja di asrama. Kamu bisa kembali besok pagi." Seorang dokter dengan name tag bertuliskan Arvin Faaz tampak khawatir menatap gadis bertubuh mungil di hadapannya. Sebagai senior sekaligus penanggung jawab koasisten, dia harus memastikan anggotanya tetap aman.

"Anda terlalu banyak berpikir, Dokter. Lagi pula, rumah saya tidak jauh, hanya lima menit berjalan kaki dari sini. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Lampu di ujung jalan rusak. Bisa saja—"

"Dokter Arvin, apa Anda lupa kalau saya bukan lagi anak kecil yang takut gelap?"

Pria berkacamata tebal itu tak lantas menjawab. Raut khawatir masih terlihat di wajahnya, bimbang antara mengantarkan Evalia sampai kamar kosnya atau tetap berjaga di ruang gawat darurat untuk mengantisipasi pasien yang datang tiba-tiba.

"Tunggu di sini. Aku akan mengantarmu, lagi pula sedang tidak ada pasien darurat sekarang."

"Tidak perlu, Dokter. Tugas Anda lebih penting di sini."

"Eva ...." Sekali lagi Arvin menatap arloji di pergelangan tangan kirinya. Sudah lewat tujuh belas menit dari jam satu dini hari. Bisa dipastikan tidak ada lagi manusia yang akan ditemui Eva selama perjalanan pulangnya. Akan sangat berbahaya jika ada oknum tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan itu.

Selagi Arvin masih bimbang, Eva sudah selesai melipat jas putih miliknya. Hanya butuh waktu tiga detik untuknya menukar sepatu dan membenahi ikat rambutnya yang sedikit melorot.

"Selamat bekerja, Dokter. Sampai jumpa besok."

Arvin belum sempat menjawab saat sosok Eva melangkah jauh dari jangkauannya. Dengan langkah cepat, gadis itu keluar gerbang rumah sakit sambil menyapa petugas keamanan yang berjaga di sana.

Eva merapatkan kedua tangan, memeluk tubuhnya yang tiba-tiba merasa kedinginan saat mendekati gang sepi yang padam lampu jalannya. Semilir angin terasa membelai tengkuk, juga menyusupkan rasa waspada yang tidak diketahui dari mana datangnya. Padahal, dia tidak pernah merasa seperti itu sebelumnya.

"Apa-apaan ini? Tidak mungkin ada hantu, kan?" kelakarnya mengusir hening.

Eva mengambil ponsel yang ada di saku sambil mempercepat langkahnya. Hanya dua ratus meter lagi dan dia sampai di jalan raya yang menghubungkannya dengan pemukiman penduduk. Suasana di sana terasa lebih hangat.

Belum sempat Eva menyalakan senter di ponselnya, dia merasa seseorang mengikutinya. Refleks dia menoleh ke belakang, tetapi tidak menemukan siapa pun di sana.

"Sejak kapan aku jadi penakut?" gumamnya lirih, kembali terfokus pada layar ponsel setelah menempelkan sidik jarinya pada sensor di belakang ponsel.

Bruk!

Satu sosok pria tinggi berbadan besar tiba-tiba menghadang, membuat Eva harus jatuh terduduk sambil menahan napasnya. Alarm tanda bahaya seketika menyala dalam kepalanya, baru menyadari kekhawatiran Arvin cukup beralasan.

"Hai, Manis. Kau sendirian saja? Mau kami temani?"

Belum habis keterkejutan Eva, dua orang muncul dari gang dengan cahaya remang-remang. Asap rokok menguar dari mulutnya, juga bau apak yang mungkin berasal dari jaket lusuh yang menempel di tubuh mereka.

Eva berusaha menguasai diri, tetap tenang sambil mencari kontak dokter Arvin. Di antara semua nama, hanya pria itu yang bisa dimintai tolong.

“Apa yang kalian inginkan?” tanya Eva saat para berandalan itu kembali melangkah mendekatinya. Rasa waswas semakin bertambah.

"Apa yang kami inginkan?"

Gelak tawa ketiganya saling bersahutan. Bahkan, salah satu menepuk bahu temannya.

"Tidak perlu dijelaskan, kurasa kau juga sudah tahu apa yang kami inginkan, Cantik." Seorang pria yang muncul pertama kali berjongkok di depan Eva dan mengangkat dagunya.

Seketika itu juga tangan Eva segera menepisnya. Tubuh mungilnya bangkit, menjauh dari tiga monster berwujud manusia yang pasti berniat jahat padanya.

"Menurutlah. Kami tidak akan menyakitimu jika kau mau bekerja sama."

"Pergi!" Ketakutan Eva semakin bertambah saat melirik layar ponsel yang menampilkan panggilannya pada dokter Arvin tak mendapat jawaban. Suasana di sekitarnya juga terlalu lengang, tidak ada orang lain kecuali mereka berempat.

"TOLONG!" teriak Eva sambil bersiap berlari saat tidak menemukan bala bantuan sama sekali. Hanya itu yang bisa dia lakukan, berharap ada orang yang masih mendengar teriakannya dan datang mendekat. Itu juga bisa untuk memecah konsentrasi para bedebah itu.

Melihat tindakan Eva yang tidak mereka pikirkan sebelumnya, salah satu pria langsung bergerak mendekat dan menahan tubuh mungil itu dengan kedua tangannya. Pria yang lain langsung mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku dan membekap mulut Eva.

Aroma obat yang mengandung anestesi segera tercium hidung. Sebagai praktisi medis, dia tahu efek buruk jika dia terus menghirup obat berbahaya itu. Sebisa mungkin dia menahan napas, juga terus meronta berusaha lepas dari cengkeraman di kedua lengannya.

"Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan sebenarnya?" batin Eva terus melawan. Satu kakinya berhasil menendang alat vital pria yang berdiri di depannya.

Namun, kepalanya mulai terasa pusing dengan pandangan yang mulai buram. Dia tahu, obat itu sudah masuk ke aliran darahnya dan akan segera mengambil alih kesadaran yang masih tersisa.

Satu-satunya cara bagi Eva untuk tetap sadar adalah menggigit ujung bibir sekuat-kuatnya. Aroma darah segera terasa di lidahnya, juga tertelan sampai pangkal tenggorokan.

Teriakan pemimpin preman itu terdengar samar di telinga Eva. Dia tidak bisa mempertahankan kesadarannya lebih lama lagi. Dalam waktu kurang dari satu menit, kesadarannya benar-benar akan dilumpuhkan oleh obat bius itu.

Usaha terakhir Eva lakukan. Sekuat tenaga meronta sambil mendorong pria yang menahannya, tetapi kekuatannya kalah jauh dari mereka. Hanya dalam hitungan detik, tubuhnya berubah lunglai dan langsung ditangkap oleh pria dengan bekas luka di wajahnya.

Semua berubah gelap. Eva tidak bisa melihat dengan jelas, tapi masih merasa tubuhnya diangkat ke udara. Salah satu pria itu membawanya seperti sekarung beras di atas bahunya.

Di saat yang sama, dokter Arvin baru menyadari adanya panggilan Eva di ponselnya. Saat dia menghubunginya kembali, tak ada yang menjawab. Kekhawatiran segera menyergapnya. Apa yang harus dia lakukan? Mungkinkah sesuatu yang buruk terjadi pada juniornya itu? 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 59. Perdarahan

    “Nyonya, ada tamu untuk Anda.”Eva mengangguk, menyangga perut besarnya sambil keluar dari kamar. Tampak Liliana tersenyum menyambutnya.“Apa kabar, Eva? Lama tidak bertemu,” sapanya sambil mendekati Eva dan memberikan pelukan hangat. Namun, tangan Eva tak menyambutnya.“Silakan duduk. Apa yang membawamu kemari?” tanyanya to the point.Liliana terbiasa mendapati sikap Eva yang cukup pendiam, tidak menyadari bahwa sandiwaranya telah terungkap. Hans sudah menceritakan semuanya, termasuk menegaskan bahwa Liliana ada di bawah pengawasan pria itu.“Sebentar lagi hari persalinanmu, bukan? Aku membawakan makanan enak untukmu selagi kamu bisa makan bebas. Setelah bersalin nanti, kamu nggak mungkin makan sembarangan.”Sebelum sempat Eva merespons, Liliana dengan tidak tahu diri langsung berjalan ke arah dapur dan mengambil mangkuk.“Cicipi sedikit saja, Eve. Kamu pasti suka,” ucap Liliana sambil mendekatkan sendok di tangannya ke arah Eva setelah keduanya duduk berdekatan di atas sofa.“Maaf,

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 58. Kepercayaan Hans dan Kuina

    "Tuan, ada kabar buruk!" Bram memasuki ruang kerja Hans tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ada hal lain yang lebih penting yang harus disampaikan kepada pria itu. Hans mengangkat wajahnya dan bertanya, "Ada apa?" Bram meletakkan lembaran foto yang tersebar ke seluruh karyawan ke atas meja, menampilkan foto-foto Arvin yang sedang menggenggam tangan Eva. Gosip segera merebak di antara ratusan karyawan Dirgantara Artha Graha itu. "Seorang anonim mengirimkan ini di web sebelum salah satu karyawan kita meneruskannya ke grup obrolan. Mereka mengira itu suami Nyonya Eva dan memberikan pujian karena melihat kemesraan keduanya." Hans bungkam, menyipitkan matanya demi menatap potret itu sekali lagi. Dilihat dari sudut pandang orang luar, memang tidak mungkin keduanya tidak memiliki hubungan. Pria dengan kacamata tebal itu sedang meniup luka di punggung tangan Eva yang sedang mengelus perut sambil menatap sayu ke arah si pria. "Apa yang harus saya lakukan, Tuan?" tanya Bram setelah men

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 57. Siasat Licik Liliana

    "Presdir, ini jadwal Anda hari ini," ucap Liliana sambil meletakkan komputer tablet di tangannya ke depan Hans setelah dipersilakan memasuki ruangan. "Aku sudah mendapat salinannya dari Bram, tidak perlu merepotkanmu. Untuk ke depannya, tidak perlu masuk ke ruangan ini tanpa panggilan dariku karena mulai hari ini kamu bukan sekretaris utama lagi." Liliana menelan ludah dengan paksa, menyadari sikap atasannya begitu dingin. "Kenapa masih di sini?" "Ah, maaf. Apa saya membuat kesalahan sampai Presdir memindahkan saya ke divisi lain?" "Kau tidak menyadari kesalahanmu?" Liliana menggeleng dengan wajah polos. Gadis itu tentu saja sadar, tapi dia ingin tahu sejauh mana Hanson menyadari rencana liciknya. Mungkin ada sedikit celah yang bisa dia manfaatkan. "Jangan pernah berpikir berlebihan. Istriku hanya Evalia Lesmana selamanya." Dengan wajah tertunduk menahan malu, Liliana meninggalkan Hans. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia membereskan barang-barangnya di meja dan men

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 56. Tidak Habis Pikir

    “Jadi, kalian bertiga berkomplot menipuku?” tanya Eva sambil menghempas tangan Hans yang sedari tadi menggenggam jemarinya erat-erat sambil menjelaskan hubungan Liliana dan Felix selama ini.“Eve, aku tidak pernah berniat untuk—”“Faktanya, dia mendekatiku karena membantumu!”“Ya, itu benar. Aku minta maaf karena memanfaatkan hubungan kalian, tapi saat itu aku sangat mengkhawatirkanmu dan kau menolak untuk bertemu denganku.”Eva mendengkus, mengubah posisi duduknya jadi membelakangi Hans. Kakinya terulur ke lantai yang dingin.Seketika itu juga, Hans turun dari ranjang dan mengambil sandal rumah milik Eva dan memakaikannya. Namun, wanita yang terlanjur emosi itu menendangnya dengan sengaja. Dia berjalan menjauh dari ranjang dengan bertelanjang kaki.“Eve, dengarkan dulu.”“Aku tidak ingin mendengar apa pun. Diam dan enyahlah dariku!”Hans tidak melawan saat Eva menyingkirkannya. Dia hanya bisa menatap punggung wanita itu keluar dari kamar dan menuju dapur.Segelas air putih langsung d

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 55. Runtuhnya Dinding Tak Kasat Mata

    Saat Hans membuka pintu kamar, semerbak aroma harum menyapa indra penciumannya. Seulas senyum terkembang di wajahnya yang tampan.“Selamat malam, Sayang,” sapa Hans sambil mendekap tubuh Eva yang sedang berdiri di depan lemari, mencari piyama. Tangannya melekat erat di perut buncit wanita itu sambil menyesap leher jenjang yang tak tertutup apa pun.Eva baru selesai berendam. Rambut panjangnya sengaja diikat tinggi di atas kepala agar tidak basah. Siapa sangka, Hans pulang sebelum dia bisa merapikannya.“Kamu sudah pulang,” ujarnya sambil menoleh, mendapati wajah tampan yang hampir bersentuhan dengan hidungnya.“Kenapa mandi di tengah malam begini, hmm?” bisiknya di telinga Eva sambil sesekali melumatnya.Degup jantung Eva tak terkendali mendapat perlakuan seperti itu, membuat wajahnya memerah. Bagaimanapun juga, meski masih belum mencintai Hans, dia tidak bisa menolak pesona pria itu. Terlebih, dirinya juga seorang wanita dewasa.Berbulan-bulan mencoba mengabaikan kebutuhan biologisny

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 54. Rencana Gagal

    “Hans, akhirnya kita bertemu lagi.”Pemilik resort sekaligus event organizer berusia awal empat puluh tahunan itu langsung menjabat tangan Hans, bahkan memeluknya seperti seorang sahabat yang lama tidak bertemu.“Apa kabar, Dam? Masih betah menyendiri seperti sebelumnya?” balas Hans, memicu tawa mereka berdua.Satu-dua obrolan mengalir lancar, tidak terasa canggung sama sekali. Sebaliknya, Liliana tercengang di posisinya. Dia tidak menyangka Hans dan Adam saling mengenal satu sama lain.“Sudah, kita lanjutkan obrolannya lagi nanti. Jangan sungkan. Ayo duduk.”Hans menempati sebuah kursi, menyisakan Liliana yang masih mematung di tempatnya. Dia terkejut, tidak pernah melihat Hans berpelukan dengan orang lain, terlebih rekan bisnis. Pria itu selalu menjaga jarak dengan orang lain.“Ah, Nona Liliana, kenapa masih diam di sana? Ayo silakan duduk.”Liliana tergagap, “Ba … baik,” jawabnya sambil melirik Hans setelah terpaksa mengulas senyum canggung. Jauh di lubuk hatinya, dia masih bertany

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status