Home / Romansa / Baby Sitter Tuan Bos / 3. Mau Kasih Napas Buatan

Share

3. Mau Kasih Napas Buatan

Author: Ika Armeini
last update Last Updated: 2023-08-13 12:05:41

Maunya Satya menghindari pemandangan indah di depan matanya, tapi tak tahu mengapa Satya malah betah pada posisinya saat ini. Menonton kegiatan Binar, si asisten rumah tangga semlehoy yang saat ini sedang cosplay menjadi mermaid di kolam.

Tak cuma Satya yang betah melihat gadis berkulit sawo matang—ciri khas perempuan Indonesia itu, tapi sepertinya si bocil Davi pun betah nempel-nempel sama Binar. Davi yang dipeluk dalam kolam, tapi Satya yang ngilu dari kejauhan. Berasa empuknya sampai sini.

"Daddy, sinih ...." Davi memanggil Satya untuk ikut bergabung bersamanya dan Binar.

Satya yang awalnya masih bengong melihat yang enak dilihat dalam kolam, tiba-tiba jadi tersadar dari kegiatan bengong tersebut.

Seketika Satya menggelengkan kepalanya. "Nggak, aku mau ke kantor, biar kamu aja sama Binar berendem mirip ikan," tolak Satya.

"Ayok, Daddy!" Lagi Davi memanggil Satya.

Satya masih belum terbiasa dengan panggilan Daddy untuknya itu. Sangat tidak terbiasa.

Agak aneh mendengar bocil memanggilnya dengan sebutan tersebut. Biarpun sudah berkali-kali gonta-ganti perempuan, sepertinya Satya memang belum siap mental untuk mempunyai anak. Mungkin Davi adalah salah satu cobaan yang dititipkan untuk Satya. Masalahnya mau balikin ke emaknya yang tadi juga Satya tidak tahu balikin ke mana.

Bocah berumur tiga tahun itu terlihat naik ke permukaan, dengan kondisi tubuhnya yang basah itu ia malah mendekati Satya.

"Ayok, ayok ... Daddy uga belenang—Daddy juga berenang!"

"Udah dibilangin nggak mau, aku mau ke kantor. Kamu tahu kantor, nggak? Tempat aku cari duit! Tuh ... kamu main berenang-berenangan sama baby sitter kamu yang itu, ya! Nah, dia udah biasa mandi di empang, jadi kamu aman sama dia."

"Mbak Binal?" tanya Davi menunjuk Binar yang masih di dalam kolam.

"Astogeh, kenapa nama orang jadi Binal? Binar, nama dia tuh Binar, Mbak Binar! Kamu main sama Mbak Binar dulu, oke? Aku mau ke kantor," jelas Satya ke Davi.

Si Mbak Binal, eh, maksudnya Mbak Binar pun terlihat naik dari dalam kolam renang. Ala-ala model yang biasa pemotretan di pinggir kolam, pakai kibas-kibas rambut basah.

Binar lantas berjalan mendekati Davi yang masih berada di sebelah Satya.

"Den Davi, ayo berenang lagi sama Mbak! Itu Tuan Bos mau berangkat kerja, bilang sampai ketemu lagi sama Bapak, ya ...." Binar memberi arahan ke Davi.

"Bocil ini manggil aku Daddy, bukan Bapak! Memangnya kamu pikir Bapak kamu?" protes Satya. Biarpun masih belum terima kalau punya anak, tapi terdengar nama 'Daddy' lebih keren dipanggil ketimbang Bapak. Berasa setingkat lebih ganteng aja buat Satya.

"Kan artinya sama aja, Tuan, sama-sama Bapak, kan?"

"Ck ... dikasih tahu, dia manggil aku Daddy, lebih keren Daddy lah!"

Binar menghela napas pelan. Daripada berdebat, ya udah sih suka-suka si Tuan Bos aja. "Oke, Tuan Daddy!"

Binar lantas berjongkok menghadap ke Davi, menawarkan bocah tersebut untuk kembali berenang dengannya.  

Masalahnya, gaya berjongkok si Binar ini bikin otak traveling. Seketika Satya ingat dengan adegan perempuan-perempuan yang berjongkok di bawahnya.

"Dapi mau tama Daddy, kita belenang baleng—Davi mau sama Daddy, kita berenang bareng." Davi kembali menarik tangan Satya, masih tetap ingin mengajak Satya untuk ikut berenang bersama.

"Issshh ... udah dibilangin, aku mau ke kantor, kamu sama Mbak Binar aja!" bentak Satya.

Davi seketika mewek, tangisnya langsung pecah begitu dibentak oleh Satya tadi.

Binar dengan cepat memeluk Davi, mencoba menenangkan bocah tersebut.

Satya pun kaget melihat reaksi Davi barusan, perasaan Satya ngebentaknya pelan, nggak pakai urat-urat di leher. Ternyata bisa bikin anak kecil nangis tersedu-sedu. Ini Satya yang salah, atau memang bocilnya aja yang cengeng? Sepertinya sih Satya memang belum cocok punya anak, nggak ada empatinya.

"Nggak apa-apa, Den Davi, biar Den Davi sama Mbak Binar aja, ya? Tuan Daddy harus kerja ke kantor." Binar mencoba menenangkan Davi sambil mengelus-elus punggung bocah itu.

Sementara tangisan Davi bukan makin mereda, malah makin menjadi-jadi, ini karena Satya agak melotot ke arahnya.

Lama-lama Satya jadi capek sendiri. Telinganya belum terbiasa mendengar suara bocil menangis, mau berangkat ke kantor pun kaos kaki dan tali sepatunya belum sempat diketemukan oleh Binar. Ini gara-gara Binar barusan muncul langsung diberi tugas negara lagi oleh Satya untuk menjaga si bocil Davi.

"Ya udah, aku minta maaf udah ngebentak kamu barusan." Satya mengalah.

Davi pun langsung melepas pelukan dari Binar, tangisannya terhenti. Seketika bocah yang berusia tiga tahunan itu menempel di kaki Satya, memeluk kaki si Daddy dengan penuh sayang.

Ya ampun, biarpun risih sama kelakuan bocil ini, tapi ternyata nggak terlalu buruk juga. Davi bisa jadi manis, bisa jadi asem, bisa jadi pahit, pokoknya nano-nano.

"Kamu ngapain, sih?" tanya Satya, kali ini nadanya agak pelan supaya Davi tidak nangis lagi.

"Daddy baik!" jawab Davi. Anak itu lantas mendongakkan kepalanya. "Ayok kita belenang, Daddy ajalin Dapi belenang, ya—ayok kita berenang, Daddy ajarin Davi berenang, ya!"

Satya tepuk jidat, beneran kalau ngomong sama bocil itu kesabaran harus tingkat provinsi. Ngomong sama Binar aja udah bikin tensi Satya setingkat lebih tinggi, ditambah kemunculan Davi yang sepertinya bikin Satya perlu obat hipertensi. Lengkap sudah. Mungkin memang Satya harus nyebur ke kolam supaya bisa mendinginkan badan sekaligus kepalanya yang mulai panas. 

Pada akhirnya Satya pun melepas pakaiannya, bodo amat dengan urusan kantor, biar saja dua sahabat Satya yang lain yang mengurus kerjaannya. Telat dikit nggak apa-apa.

"Eh, eh ... Tuan mau ngapain?" tanya Binar yang bingung melihat majikannya melucuti pakaian.

"Mau masak! Ya nggak mungkin aku masak dong, Binar! Aku buka baju mau ikutan berenang. Dari tadi telingaku sakit denger nih bocil ngerengek terus-terusan."

"Katanya Tuan Bos mau ke kantor."

"Nggak jadi, nanti aja, kelar berenang sama nih bocil. Kenapa? Kamu mau temenin aku berenang juga?" Mata nackal Satya tak sengaja memperhatikan bagian tubuh Binar yang menonjol. Ah, sialan!

"Kalau Tuan Bos udah temenin Den Davi berenang, berarti Binar nggak perlu lagi buat—"

"Mbak Binal itut belenang—Mbak Binar ikut berenang!" Davi menarik tangan Binar di sisi kanannya, kemudian bersamaan menarik tangan Satya di sisi kirinya.

Binar dan Satya pun terpaksa mengikuti si bocil untuk menemaninya berenang.

Beruntung kolam renang di rumah Satya ada yang tidak begitu dalam, biarpun kaki Davi masih belum sampai, tapi anak itu cukup cerdik dengan berpegang erat di pinggir kolam.

Davi terlihat menggemaskan karena rambut mangkoknya jadi lepek akibat basah. Satya pun akhirnya mendekati anak itu, takut juga kalau tuh bocil kelelep di kolam.

"Naik ke punggungku!" perintah Satya. "Kita berenang bareng."

Satya menyerahkan punggungnya ke Davi, terlihat tatto berbentuk naga lagi kedip mata di punggung laki-laki tersebut.

"Daddy nggak puna buku gambal—Daddy nggak punya buku gambar?" tanya Davi.

"Duh, sekarang berenang aja dulu, jangan minta buku gambar! Bikin pusing kepala."

"Ini loh ... Daddy kenapa gambal cacing di cini—Daddy kenapa gambar cacing di sini?" Davi memegang punggung Satya yang ada tatto naga lagi kedip mata.

Satya tepuk jidat. "Ampun dah, nih bocil nggak tahu perbedaan naga sama cacing."

"Apa itu naga?"

"Ya itu, yang ada di punggungku, itu gambar naga, bukan cacing!"

"Naga maem apa?" tanya Davi lagi.

"Naga makan anak kecil yang nakal, yang nggak bisa diem. Nah nanti kalau kamu nakal di caplok tuh sama naga, mau?"

Davi seketika geleng-geleng kepala, terlihat takut. "Nggak mau, Dapi takut naga. Biar naga maem Daddy aja, ya!"

"Lah? Napa makan aku? Naga tuh nggak doyan sama orang dewasa, doyannya sama kamu. Tapi kalau kamu bisa jadi anak baik, nanti naga bakalan takut sama kamu! Makanya kamu harus jadi anak baik kalau mau sama aku, daripada kamu dimangsa naga."

Davi manggut-manggut. "Oke, Daddy!"

"Kamu ngerti kata-kataku?" Satya memastikan.

"Enggak, Daddy!" jawab Davi polos.

Maunya Satya mengumpat nama-nama hewan. Ya sudahlah ... bocil umur tiga tahun nggak mungkin dipaksa buat ngertiin kata-kata penuh ancaman dari Satya tadi.

Binar yang memperhatikan interaksi mereka berdua seketika tertawa terbahak. Tertawanya juga puas banget, itu gara-gara melihat si Tuan Bos seperti dikerjain sama si bocah.

"Ngapain kamu ketawa? Ngeledek?" protes Satya.

"Nggak, Tuan, Binar nggak ngeledek Tuan Bos. Cuma lucu aja lihat Davi yang polos dan jujur."

Satya memutar kedua bola matanya. "Ya sama polos dan jujurnya seperti kamu, tapi bedanya kamu nggak ada lucu-lucunya."

Binar mengerucutkan bibirnya, kakinya berjalan di dasar kolam, hendak menjauh sebelum kena semprot dari Satya lagi. Gara-gara keenakan menjauh, tanpa sadar kaki Binar malah sudah tembus ke kolam yang dalamnya dua meter.

Binar yang keahlian berenangnya agak terbatas pun akhirnya berusaha untuk terus menggerakkan tubuhnya supaya tak tenggelam. Kepalanya hilang timbul di dalam air, sambil berusaha minta tolong.

Satya sadar kalau ada yang tidak beres dengan si asisten rumah tangga slebor itu. Dengan cepat Satya mengajak Davi ke pinggir kolam, meminta ke anak kecil itu untuk duduk diam di sana dan jangan ke mana-mana. Satya juga mengingatkan bahayanya kalau Davi berenang sendirian tanpa pengawasan. Davi terlihat mengangguk paham dengan ucapan Satya, mudah-mudahan sih kali ini beneran paham.

Setelah memberi arahan singkat ke Davi, Satya bergegas membantu Binar yang mungkin sudah kenyang minum air kolam.

Pinggang gadis itu ditangkap oleh tangan Satya, kemudian dibawa ke pinggir kolam.

"Binar ... Binar, bangun, woy!" Satya berkali-kali memukul pelan pipi Binar.

Asisten rumah tangga itu lemas. Beneran udah banyak minum air kolam kalau begini ceritanya. Apakah Satya harus memberikan napas buatan dengan segera supaya bibir mereka bisa menyatu? Oh salah, maksudnya apakah Satya harus memberikan napas buatan supaya Binar bisa segera sadar?

Satya hendak membawa naik tubuh Binar dari dalam air kolam, tapi ternyata gadis itu badannya berat juga. Agak kewalahan Satya mengangkatnya ditambah karena dari dalam air, jadi berasa makin berat.

"Uhuuuk, uhuuuk ...." Binar batuk berkali-kali, napasnya mulai kembang kempis.

"Kamu udah sadar, Bi?" Satya khawatir, takutnya anak orang koit di tempat. Laki-laki itu masih tetap memegang tubuh gadis itu, belum juga dinaikkan ke pinggiran kolam.

Binar tak menjawab, ia masih terbatuk-batuk, kepalanya bersandar di dada Satya. Sementara satu tangan Satya menepuk-nepuk punggung Binar, siapa tahu air kolam yang tadi masuk ke mulut dan hidung Binar mau ikutan keluar.

"Kamu ada merasa sesak atau gimana? Bilang ke aku, aku nggak mau terjadi hal yang enggak-enggak di rumah ini. Aku nggak mau kamu meninggoy di sini, nanti takutnya kamu malah gentayangan."

"Hidung, hidung ...." Binar berkata pelan.

"Hidung kamu kenapa?"

"Air, kemasukan air!"

Satya pun menjauhkan Binar dari dadanya, kemudian memperhatikan hidung gadis itu.

"Untung hidung kamu pesek, jadi nggak lebih banyak aer yang masuk!"

"Issshhh ... Tuan Bos, Binar minum aer kolam barusan. Kalau Binar keracunan gimana?" Binar sudah bisa bicara dengan normal.

Awalnya sih Satya memperhatikan hidung Binar yang katanya pesek itu, padahal nggak pesek-pesek amat kok! Namun lama-lama Satya jadi gagal fokus ke bibir Binar yang ... menggoda.

Sifat alamiah laki-lakinya, sekaligus aligator daratnya malah muncul secara tiba-tiba. Satya makin menempelkan tubuhnya ke Binar. Binar pun berusaha mundur, tapi Satya lagi-lagi menempel. Hingga punggung Binar mentok di dinding kolam, bingung mau kabur ke mana lagi. Sementara Satya terus mendekat.

"Tu-Tuan Bos, ma-mau ngapain?" Binar jadi takut-takut.

"Mau kasih napas buatan," jawab Satya.

Dalam hitungan detik, bibir Satya sudah menempel pada bibir Binar. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
~ Sari
kan mbak binal nya udh sadar bang sat modus aja ya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Baby Sitter Tuan Bos   31. Ayo Kita Nikah Besok!

    Setelah seharian puas bermain dengan Davi, akhirnya Satya pun mengantar Davi kembali ke rumah papanya. Tentu saja papa Davi sudah menanti kedatangan mereka."Nggak mampir dulu?" tawar Rendy―papanya Davi."Nggak deh, mungkin lain kali. Kasihan juga Davi sepertinya capek dan mau istirahat," tolak Satya dengan halus."Dapi nggak capek kok," jawab Davi yang masih semangat. Sepertinya anak ini punya banyak batrai cadangan di badannya, tidak pernah merasa capek padahal sejak tadi sibuk tidak bisa diam. "Tapi Daddy nanti jangan lupa minum obat bial nggak cakit lagi yah―tapi Daddy nanti jangan lupa minum obat biar nggak sakit lagi yah!""Sakit?" Rendy mengernyit, ia pun memperhatikan Satya. "Apa iya kamu sakit, Sat?" "Ummm ... sedikit, sih! Sakitnya bagian sini." Satya menunjuk dadanya."Apa kamu punya penyakit jantung?" tebak Rendy.Satya terkekeh. "Amit, amit deh ... syukurnya aku selalu rutin medical check up, dan hasilnya selalu baik dan sehat. Kalau yang sekarang sakitnya di sini ya gar

  • Baby Sitter Tuan Bos   30. Mbak Binar Yang Jahatin Daddy

    Hari-hari Satya rasanya makin bertambah galau dan sepi. Ternyata begini rasanya ditolak, sungguh seumur hidup Satya belum pernah ditolak perempuan. Begini kalau punya hak istimewa wajah yang tampan dan rupawan, kan? Memang tidak pernah ditolak perempuan, tapi sekalinya beneran jatuh cinta malah sakitnya sampai ke tulang-tulang. Gara-gara galau akhirnya`Satya memutuskan untuk menghubungi papanya Davi, meminta izin untuk mengajak Davi keluar jalan-jalan. Memang cuma ini satu-satunya hiburan Satya saat ini.Si bocah rambut mangkok tentu saja sangat senang bukan main saat dijemput oleh Daddy Satya. Biarpun Satya cuma sebentar merawat Davi, tapi ternyata anak kecil itu tetap merasa nyaman dan senang dengan Satya, apalagi mau diajak jalan-jalan."Kita mau maen ke temzon kan, Dad―kita mau main ke Timezone kan, Dad?" tanya Davi saat dirinya sudah duduk manis di dalam mobil Satya.Satya mengangguk. "Mau ke mana aja nanti Daddy temenin. Mau seharian di Timezone juga nggak apa-apa, kan Daddy ud

  • Baby Sitter Tuan Bos   29. Ngancam Untuk Menikahiku

    "Iya, aku memang gila! Aku gila gara-gara kamu, Binar!" kata Satya dengan serius. "Kamu ingat kalau aku berkali-kali nyatain cinta ke kamu? Kamu ingat nggak kalau aku terus-terusan nawarin komitmen ke kamu, tapi kamu nggak pernah jawab? Jadi daripada ngulur waktu, aku mau kamu langsung jadi istriku aja, Bi!"Binar menggelengkan kepalanya, lalu mendorong tubuh Satya agar menjauh dari dirinya. Binar pun merapikan dirinya yang sedikit berantakan gara-gara kejadian tadi. "Nggak segampang itu!""Segampang itu kok!" jawab Satya dengan cepat, ia juga ikut merapikan diri seadanya dan secepatnya. "Aku tahu kalau kamu juga punya perasaan yang sama denganku, Binar! Mungkin mulut kamu bisa bohong, tapi nggak dengan bahasa tubuhmu. Kamu nggak pernah menolak santuhan dari aku, dan aku tahu kalau kamu juga menikmatinya."Satya kembali mendekat lalu mengelus rambut Binar dengan lembut. Matanya menatap intens kepada Binar. "Tugas kamu untuk mencuri file-file milikku udah selesai, artinya tugas kamu de

  • Baby Sitter Tuan Bos   28. Maksudnya Jangan Berhenti?

    "Ja-jangan!" Binar tiba-tiba saja menahan pergerakan tangan Satya di bawah sana. "Please, jangan!""Jangan?" Satya menyeringai jahat. "Maksudnya jangan berhenti?""Huh, please ... a-aku nggak bisa!" Bibir Binar terus-terusan mengucapkan kata penolakan. Namun sudah pasti gestur tubuhnya berkata lain, Binar memang merindukan sentuhan Satya. Terbukti mata Binar terpejam, napasnya mulai tak beraturan, belum lagi ada suara desahan-desahan pelan yang keluar dari bibirnya. Ditambah pinggul Binar seakan ikut bergerak, sinyal bahwa ia menyukai sentuhan jari Satya pada miliknya di bawah sana."Aku kangen banget sama kamu, Binar! Aku yakin kamu juga begitu, kan?" bisik Satya tepat di telinga Binar, yang berlanjut Satya menggigit daun telinga perempuan itu dengan lembut. Binar kegelian, tubuhnya bergidik pelan. Bibir Satya pun perlahan turun ke leher Binar, mengecup leher itu sambil meninggalkan cap tanda merah di sana. Satya tidak peduli mau tanda merah itu nanti akan terlihat jelas atau tidak

  • Baby Sitter Tuan Bos   27. Aku Kangen Banget Sama Kamu, Bi!

    Tentu saja Satya langsung bergerak menuju ke tempat bisnis baru yang didirikan oleh mantan kekasihnya itu. Tidak sulit bagi Satya untuk menemukannya, sudah pasti juga berkat bantuan para staf di perusahaannya yang ikut mencari informasi terkait brand pesaing itu.Ternyata kantornya belum sebesar milik Satya. Mungkin karena masih baru dibuat, bukan seperti milik Satya yang sudah dirintis bertahun-tahun bersama dua sahabatnya hingga kini bisa menjadi brand terkenal.Satya langsung menghampiri salah satu staf dan mengatakan ingin bertemu dengan pemilik bisnis tersebut. Lama rasanya Satya menunggu, hingga akhirnya Satya pun dihampiri oleh seorang perempuan."Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" sapa perempuan itu kepada Satya.Seketika perempuan itu syok saat menyadari siapa tamu yang datang ke tempatnya tersebut. Ia pun langsung mengalihkan pandangannya, tidak mau melihat wajah Satya."Apa kabar, Prita? Masih ingat sama aku? Oh, maksudnya masih ingat sama kenangan denganku?" sapa Sa

  • Baby Sitter Tuan Bos   26. Wanita Racun Dunia

    Jelas Satya tidak baik-baik saja dengan keadaan ini. Air matanya secara otomatis mengalir, sejarah sendu terulang lagi dalam hidupnya.Memang ini bukan momen pertama kali Satya menangis. Saat kedua orang tua Satya meninggal, adalah momen di mana Satya benar-benar kehilangan dan benar-benar hancur. Apalagi saat itu Satya masih sangat muda, masih SMA. Sepertinya momen saat ini adalah pengulangan yang akan membuat Satya kembali hancur. Belum selesai kehilangan Binar, malah Satya akan kehilangan Davi lagi."Daddy ... jangan nanis, kan Dapi udah jadi anak baek—Daddy jangan nangis, kan Davi udah jadi anak baik." Davi mengusap air mata Satya. Sungguh Davi jadi anak baik, tapi kenapa sikap baik Davi ini seperti sinyal kalau ini adalah pertemuan terakhir mereka?"Ke-kenapa Davi bohongin Daddy? Kenapa Davi nggak bi-bilang ka-kalau Davi punya papa?" Satya menangis sesenggukan. Rugi Davi menghapus air mata Satya, kalau ujung-ujungnya tetap banjir juga. Davi hanya menggelengkan kepalanya. Entah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status