Share

Kenyataan yang Pahit

Tiga hari berjalan sangat cepat, hari demi hari Shela semakin tersiksa dengan banyak kenyataan pahit dalam hidupnya.

Hari ini adalah hari pernikahan Mamanya, hari sakral itu digelar di sebuah hotel berbintang milik Stevani. Shela menjadi satu-satunya yang sangat tidak bahagia dengan pernikahan Mamanya.

"Shela jangan murung terus, Sayang. Tidak bisakah kau ikut turut bahagia di hari pernikahan Mama, hem?" Stevani menangkup pipi Shela. "Senyum dong Sayang, tidak enak dilihat semua tamu-tamu Mama."

Gadis itu menepis pelan tangan sang Mama.

"Ini hanya kebahagiaan Mama, bukan kebahagiaan Shela."

"Astaga anak ini..."

Shela melepaskan cekalan tangan sang Mama dan pergi, namun langkahnya terhenti begitu seorang laki-laki selalu ingin Shela hindari, kini berdiri tegap melangkah hendak menghampirinya.

Takdir yang pahit membuat Shela akan sering berjumpa dengannya.

Sebastian berjalan semakin dekat, Shela berniat menjauh sebelum satu lengannya ditahan oleh laki-laki itu dengan cepat.

"Tunggu Shela!" Sebastian menatapnya lekat tanpa melepaskan cekalan tangannya. "Ada yang ingin aku tanyakan padamu."

Shela mengerjapkan kedua matanya gugup, di satu sisi Shela mencoba membebaskan tangannya dari cekalan Sebastian.

"A-ada apa? Apa yang ingin Om tanyakan?"

Wajah Sebastian dipenuhi dengan rasa penasaran. Ia sedikit memangkas jarak antara dirinya dan Shela sampai benar-benar berhadapan sangat dekat dan menelisik.

"Apa kau gadis malam itu?" tanya Sebastian lirih memastikan.

Shela menelan ludah. "Malam itu? Ma-malam apa? Aku tidak mengerti apa yang Om maksud," jawab Shela mengelak.

"Kau gadis mabuk yang masuk ke dalam kamar hotelku beberapa hari yang lalu, kan?"

Shela berusahan menekan ketakutan yang menjalar di sekujur tubuhnya mendengar pertanyaan yang Sebastian lontarkan.

Sekali lagi Shela menggelengkan kepalanya tegas dan menyentak tangan Sebastian.

"Aku tidak mengerti apa yang Om bicarakan,. Aku tidak pernah bertemu dengan Om Sebastian sebelumnya, jadi tolong jangan bertanya yang aneh-aneh. Permisi!"

Detik itu juga, Shela berlalu meninggalkan Sebastian. Laki-laki itu menyergah napas kasar. Entah kenapa perasaannya mengatakan bahwa ia tidak mungkin salah mengenali Shela. Tetapi, ia tidak punya bukti apapun. Apalagi malam itu ia mabuk berat.

Di sisi lain, Shela berjalan keluar dari hall pesta untuk menghindar dari Sebastian. Ia berdiri di dekat pintu dan diam di sana menenangkan dirinya yang terus diliputi rasa takut dan cemas.

"Ya Tuhan... Jadi dia mengingat aku? A-apa kira-kira dia percaya dengan apa yang aku katakan barusan? Astaga..." Terus Shela merutuki dirinya sendiri.

Di tengah kekalutan yang kini melanda hatinya, tiba-tiba saja kedua mata Shela menyipit mendapati siluet seorang laki-laki yang begitu tak asing baginya

Shela melebarkan kedua matanya terkejut begitu laki-laki itu menoleh ke arahnya.

"Apa yang dia lakukan di sini?"

Saat itu juga Shela melangkah mendekati mantan kekasihnya yang tiba-tiba muncul di tengah pesta pernikahan Mamanya.

"Apa yang kau lakukan di sini?!" seru Shela dengannya yang sesekali melirik ke arah Mamanya di dalam pesta.

"Aku mencarimu, Shela. Aku... Aku merindukanmu dan ingin bertemu denganmu," jawab Vano, ekspresi wajahnya seolah-olah dia tidak pernah menyakiti perasaan Shela.

Shela menoleh ke belakang di mana sang Mama menatap mereka, Stevani terlihat curiga. Tidak mau ada keributan di pesta itu, Shela pun menarik lengan Vano dan diajaknya pergi menjauh.

Ia membawa Vano ke arah taman samping hotel megah itu. Di sana hanya ada mereka berdua saja.

"Aku peringatkan sekali lagi padamu, jangan pernah muncul lagi di hadapanku, Vano!" Shela membentak laki-laki berbalut jaket denim tersebut.

"Kenapa? Karena kejadian malam itu? Asal kau tahu, Sayang... Malam itu temanmu yang menggodaku! Percayalah, aku hanya mencintaimu, Shela." Vano berusaha meraih tangan Shela, ia berucap dengan nada suara yang dia lembutkan.

Namun, itu semua hanya tipu muslihatnya, Shela tidak akan lagi semudah itu percaya pada laki-laki modelan Vano!

Perlahan Shela mundur dan ia menjaga jarak dengan Vano. Shela menatapnya jijik, andai tidak di pesta pernikahan Mamanya, ia tidak sudi melihat wajah laki-laki ini lagi.

"Berhenti memanggilku Sayang! Jangan berharap kalau aku akan memaafkanmu, Vano. Kali ini aku sudah tidak punya kesempatan untuk laki-laki brengsek sepertimu! Aku dan kau, sudah berakhir!" tegas Shela dengan kedua mata berkaca-kaca.

Laki-laki itu malah tertawa sumbang menggelengkan kepalanya, menganggap remeh apa yang Shela ucapkan.

"Kau pikir kau siapa, Shela? Kau tidak bisa memutuskan hubungan ini secara sepihak! Kau tidak berhak menyudahi hubungan kita kalau aku belum menginginkannya," desis Vano menyahut dan mencengkeram erat pergelangan tangan Shela dengan ekspresi tak terima.

"Lepas Vano! Apa yang kau lakukan?!" pekik Shela, kesakitan.

"Ikut denganku!" ajak laki-laki itu menarik lengannya kuat.

Shela berusaha melepaskan cengkeraman kuat tangan Vano. Rasa ngilu itu di pergelangan tangannya membuat Shela meringis sakit.

Tiba-tiba saja seorang muncul menepis tangan Vano kuat hingga terlepas cengkeramannya pada pergelangan tangan Shela.

Sebastian berdiri tegap di tengah mereka, menunjukkan ekspresi wajah dingin dan aura yang menyeramkan pada Vano.

"Siapa kau hah?! Jangan ikut campur urusan-"

"Urusanmu denganku sekarang. Pergi kau dari sini sebelum aku menghabisimu," ujar Sebastian dengan nada dingin menusuk. Tatapan matanya nyalang dan tajam seolah siap menerjang siapapun yang berani melawannya.

Vano mundur perlahan, merasa terintimidasi dengan aura menyeramkan pria itu. Ia memperhatikan Shela yang bersembunyi di belakang Sebastian. Tidak berani lagi Vano mendekatinya hingga ia memutuskan pergi dengan perasaan kesal.

Shela masih berdiri dengan tubuh gemetar. Ia tidak tahu kenapa Sebastian bisa ada di sini dan menolongnya. Laki-laki itu membalikkan badannya menatap Shela lekat-lekat.

"Kau tidak papa?" Sebastian meraih tangan Shela dan mengusap bagian yang memerah.

Dia juga menatap wajah cantik gadis di sampingnya yang nampak ketakutan. Shela menarik lengannya cepat dari tangan Sebastian.

"Aku tidak papa," jawabnya tertunduk menghindari tatapan Sebastian.

"Dia tidak akan kembali ke sini lagi, jangan khawatir," ucap Sebastian menyentuh pucuk kepala Shela.

"Te-terima kasih sudah menolongku," ucap Shela tertunduk sambil mengusap pergelangan tangannya sendiri.

Sebastian tak begitu merespon, melainkan ia malah menarik pundak Shela dan diajaknya pergi dari tempat itu.

"Sudahlah, ayo kembali masuk ke dalam. Mamamu pasti bingung mencarimu."

Mereka kembali berjalan menuju ke ruangan pesta, Shela berjalan di belakang Sebastian. Ia menatap punggung tegap di hadapannya dengan perasaan yang sulit diartikan.

Shela masih tidak menyangka laki-laki itu tadi muncul menolongnya dari Vano. Bahkan dia mengancam dan berhasil membuat Vano pergi.

Sesampainya di ruangan pesta, Shela melangkah mendekati sang Mama yang tengah berbincang dengan seorang perempuan cantik di sana.

"Ini dia Sebastian sudah kembali," ujar Stevani saat melihat kedatangan mereka. 

Seketika wanita cantik berambut pirang panjang, berbalut gaun satin biru di samping Stevani, dia bergegas mendekat dan memeluk Sebastian dengan erat.

"Siapa dia, Sayang?" tanya wanita itu pada Sebastian sambil menatap Shela.

"Dia Shela, putri tunggal Kak Stevani," jelas Sebastian, sebelum ia beralih menatap Shela. "Shela, perkenalkan ini Bella."

Wanita bernama Bella itu tersenyum manis pada Shela, dia sangat cantik dan sepertinya dia juga wanita yang baik.

"Senang bertemu denganmu, Shela," sapa wanita itu ramah. "Aku Bella, calon istri Sebastian." 

Saat itu juga, seperti ada petir yang menggelegar di siang bolong. Shela tak tahu harus mengatakan apa. Lidahnya terasa begitu kelu. 'Bagaimana aku menjalani kehidupanku selanjutnya, Ya Tuhan...'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status