Share

Paman Cocok Menjadi Papi Kami

Si kembar tertidur di kamar tamu yang berada di lantai satu, dan kamar itu milik Sebastian.

Sedangkan Shela duduk diam di ruang keluarga, pikirannya sangat cemas. Malam ini terasa amat sepi menyekat pikiran Shela.

"Shela," sapa Sebastian muncul tiba-tiba.

Sontak Shela menoleh dengan ekspresi kagetnya.

"Om... Si kembar tidur di man-"

"Mereka tidur di kamarku," jawab Sebastian duduk di hadapan Shela dengan tatapan penuh intimidasi.

Apa yang harus Shela lakukan saat ini? Bagaimana kalau Sebastian bertanya yang aneh-aneh lagi?

Tatapannya membuat Shela tertunduk diam.

"Jadi selama ini kau tinggal di sini? Kak Ferdi yang menyembunyikanmu di sini?" tanya Sebastian dengan nada dingin dan penuh ingin tahu.

"Ya Om," jawab Shela singkat.

"Lalu, di mana suamimu? Maksudku... Papa si kembar?"

Sesuai dengan apa yang Shela duga kalau Sebastian pasti menanyakan hal ini. Lantas Shela menatapnya dan tersenyum tipis.

"Itu... Papa mereka, emm... Dia-"

"Papa mereka benar-benar pergi atau kau membohongi mereka?" tebak Sebastian, kali ini dia sedikit mencondongkan badannya.

Iris cokelat mata Shela bertabrakan dengan iris mata hitam kelam milik Sebastian.

Gemetar tubuh Shela detik itu, tak ada kalimat yang tersusun dalam otaknya untuk menjawab pertanyaan Sebastian yang membuatnya sakit hati.

"Shela..."

"Om Sebastian, ini sudah malam, aku ngantuk. Besok aku harus bekerja. Aku ambil anak-anak ya... Om juga harus istirahat kan, permisi..."

Tanpa pikir panjang, Shela langsung berdiri dari duduknya dan berjalan cepat masuk ke dalam kamar Sebastian menggendong si kembar satu persatu membawanya masuk ke dalam kamarnya yang berada di lantai dua.

Shela juga langsung menutup pintu kamarnya dengan cepat. Gadis itu masih sama, dia terlihat takut dan canggung di hadapan Sebastian.

"gadis itu," lirih Sebastian merasa tak tenang.

Di dalam kamar, Shela diam duduk di tepi ranjang menatap jendela kamarnya yang masih terbuka. Di sana Shela diam memikirkan Sebastian, ia semakin tidak tenang.

"Tidak... Aku tidak boleh terus di sini, aku harus mengumpulkan uang yang banyak dan membeli rumah sendiri!" seru Shela meneriaki dirinya sendiri. "Ya, aku harus menjauhkan si kembar dari Sebastian, apapun caranya!"

Tegas Shela memutuskan, satu atap bersama Sebastian hanya akan membuatnya merasa tidak tenang dan terus merasa seperti dihantui.

**

Pagi-pagi sekali, Shela sudah memboyong tiga anaknya di toko roti miliknya. Tidak biasanya ia pergi sangat pagi, bahkan Tino sampai belum mandi dan melanjutkan tidur di kamar Morsil, rekan kerja Shela.

Wanita berambut ikal itu, sudah sangat dekat dengan Shela hingga semua masalah yang terjadi pada Shela, cukup ia ketahui.

"Shel, are you okay?" Morsil menepuk pelan pundak Shela. "Aku perhatian kau dari tadi melamun terus, kenapa? Tiana sakit lagi, ya?"

Shela menggelengkan kepalanya, ia meletakkan kepalanya di atas meja kaca dan Shela menangis tanpa suara.

"Morsil," lirih Shela menyeka air matanya, dia terus memperhatikan Tiano dan Tiana yang tengah bermain.

"Shel, ngomong dong! Jangan tiba-tiba nangis begini, mana aku paham apa masalahmu, Shela!" pekik Morsil menepuk pundak Shela pelan.

Shela menundukkan kepalanya. "Laki-laki itu di sini," ujar Shela dengan punggung bergetar.

"Wait! Laki-laki? Oh God... Laki-laki?!" Morsil mendekatkan wajahnya dengan Shela. "Laki-laki... Sebastian?! Papanya si kembar?!" Morsil mendelik tak percaya.

Anggukan Shela berikan sebagai jawaban. Ia menatap Morsil dengan tatapan sedih, dan sahabatnya itu pun langsung memeluk Shela.

"Bagaimana bisa laki-laki itu ada di sini, Shel?!" pekik Morsil menatap Shela lekat-lekat.

"Rumah yang selama ini aku tempati adalah rumah keluarga Morgan. Dan sekarang, pemilik rumah itu datang, Morsil." Shela tersenyum tipis. "Aku harus bekerja lebih giat dan membeli rumah sendiri, aku tidak mau satu atap dengan laki-laki itu."

Morsil tersenyum kecil, ia menepuk pundak Shela dan menganggukkan kepalanya.

"Jangan khawatir Shela, aku akan membantumu."

"Terima kasih."

Di tengah kegiatan Shela dan Morsil, tiba-tiba saja pintu toko terbuka hingga dentingan lonceng berbunyi.

Shela dan Morsil sontak menoleh ke depan sana.

"Paman!" pekik Tiana dan Tiano berlari mendekati laki-laki tampan berbalut pakaian formal tuxedo abu-abu yang kini berdiri di depan toko.

"Wahh, Paman mau ke mana? Kok rapi sekali? Mau jalan-jalan ya?" tanya Tiano memeluk kaki Sebastian.

"Paman... Tiana gendong!" Anak perempuan itu mengulurkan kedua tangannya.

Sebastian menggendong Tiana dan mengusap pucuk kepala Tiano.

"Paman mau pergi ke kantor," jawab Sebastian tersenyum.

Laki-laki itu masuk ke dalam toko, dia berjalan mendekati Shela dan Morsil. Terlihat jelas di sana Morsil yang terpaku menatap seorang Sebastian. Tak habis pikir saja, kakau Sebastian Morgan, laki-laki tampan berkarisma yang memiliki tubuh gagah sempurna.

"Kedai ini milikmu?" tanya Sebastian menatap Shela.

"Ya, Mama yang membelikan untukku, aku akan membeli apapun yang aku mau dari hasil pekerjaan ini, Om. Emm... Termasuk membeli rumah suatu saat nanti," jawab Shela dengan wajah canggung.

Sebastian menarik satu kursi dan memangku Tiana.

"Rumah?" Laki-laki itu terdiam sesaat, sebelum ia memesan satu minuman hangat pada Morsil.

"Ya Om, aku ingin punya rumah sendiri," jawab Shela.

"Kenapa? Apa karena aku ada di sini, kau langsung ingin membeli rumah baru dan pindah?" tebak Sebastian benar sekali. "Bukannya aku sudah bilang padamu, kau bisa tinggal di rumah itu sampai kapanpun dan besarkan anak-anakmu di sana!"

Tidak ada jawaban apapun dari Shela, namun wajahnya menunjukkan betapa ia resah dan sedih. Sulit baginya berada dalam situasi ini.

"Mami, Tiano tiak mau pindah! Tiano sekarang punya Paman Bastian, katanya Paman Bastian tidak papa kok kalau dianggap seperti Papinya kembar," seru Tiano memeluk lengan kiri Sebastian.

"Iya, sayang Paman banyak-banyak!" pekik Tiana memeluk leher Sebastian.

Dari belakang Shela, muncul Tino memeluk wanita itu. Shela pun sontak menoleh ke belakang, ia tersenyum manis mengusap pucuk kepala Tino dan menggendongnya.

"Sayang, kok sudah bangun? Katanya tadi pusing?" tanya Shela mengusap rambut hitam putranya.

Tino meletakkan kepalanya di pundak Shela dan diam di sana.

"Mami, Tino mau sarapan sama telur kecap. Putihnya dibuang, terus dikasih sosis, sama minum susu cokelat," pinta anak itu.

"Iya Sayang, tunggu sebentar ya," ujar Shela pada si sulung.

Anak itu diam, ia menatap Sebastian yang memangku Tiana dan Tiano. Hingga tiba-tiba Tino terkekeh pelan menyaksikan mereka.

"Paman cocok deh jadi Papi kita," ujar Tino tiba-tiba dia memutari etalase dan berlari ke arah Sebastian. "Paman mau tidak gantiin Papi buat kita, habis kata Mami menunggu sepuluh tahun lagi. Kan sepuluh tahun itu lama, Paman."

Sebastian terkekeh. "Tidak bisa Sayang, kalian sudah punya Papi sendiri, okay!"

"Iya, tapi Papi kami pasti seperti Paman!" pekik Tiana keras-keras.

Dari arah dapur, Shela menoleh ke depan saat mendengar obrolan mereka, sontak Morsil menatapnya.

Wanita itu tahu betapa sedihnya Shela.

"Shel, kalau kau merasa tidak suka dengan semua ini, cobalah untuk membuka hati, untuk laki-laki lain!"

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Syahira Azzahra
buka episode slanjut nya
goodnovel comment avatar
Mardiana
sidah kita ga tau cara buka dan bayar nya bikin jengkel baca novel ini
goodnovel comment avatar
Eleonora Mamapaian
malas,,, lebih baik apk dihapus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status