Share

Kita Bertemu Lagi, Shela

Sedangkan Tino dan Tiano berlari ke dapur, kedua anak laki-laki itu mendekati Maminya yang tengah memasak di dapur.

"Mami..."

"Mam, di depan ada yang datang! Papi pulang!" pekik Tiano menarik lengan Shela.

Shela yang kaget dengan kedua putranya, segera ia mematikan kompornya dan menatap mereka bingung.

"Papi? Papi siapa, Sayang? Adik di mana?" Shela mencari-cari.

"Adik di depan, adik dipeluk Papi!" jawab Tino heboh.

Pikiran Shela sudah ke mana-mana, ia berlari cepat menuju ruang tamu. Bayangan kalau orang yang si kembar maksud adalah orang jahat!

Sedangkan di depan, Tiana bersama Sebastian, anak itu masih enggan melepaskan pelukannya.

"Papi kok tidak pulang-pulang? Tidak kangen Tiana, Kakak, sama Mami, ya?" tanya anak itu memeluk leher laki-laki yang dia anggap Papinya.

Sebastian mengerjap menatap anak ini, ia masih tak paham.

"Hei, anak manis... Kau ini sebenarnya siapa?" tanya Sebastian, ia malah mengalihkan pertanyaan Tiana.

Bocah itu terdiam sesaat. Tiana memasang wajah sedih, hingga Sebastian tersenyum tipis menggendongnya.

"Papi lupa sama Tiana, ya?" lirih anak itu sedih.

"Aku bukan Papimu, aku-"

"Tiana!"

Suara pekikan keras seorang perempuan membuat Sebastian menoleh ke belakang.

Di sana, langkah Shela benar-benar terhenti di tempat. Kedua kakinya bagai membeku bersama lantai, napasnya tercekat dengan kedua mata membola lebar melihat sosok laki-laki yang amat Shela takuti dan ia jauhi lima tahun ini, kini berada di depannya, menggendong Tiana!

Sebastian, juga tak kalah terpaku menatap gadis cantik berambut cokelat panjang dengan balutan dress merah muda sebawah lutut.

"Shela," ucap lirih Sebastian terpaku.

"Mami! Papinya Tiana sudah pulang!" pekik Tiana dalam gendongan Sebastian.

Suara anak itu menyadarkan Shela dari segala keributan di hati dan pikirannya. Shela berusaha kembali menekan kuat kegugupan, ketakutan, dan keterkejutan yang menerjangnya.

Gegas ia mendekati Sebastian dan mengambil cepat Tiana dari gendongan laki-laki itu tanpa berkata apapun.

"Mami," lirih Tiana dengan nada protes.

"Sayang, jangan sembarang begitu," tutur Shela memeluk Tiana dan meminta dua anaknya merapat padanya.

Tatapan mata Sebastian benar-benar dalam, bukan hanya pada Shela. Tapi pada dua bocah kembar laki-laki yang memiliki miniatur pahatan wajah rupawan mirip dirinya! Mirip dengan Sebastian, bahkan iris mata mereka!

"Shela," ucap Sebastian kaku tatapan dalam. "Ke-ketiga anak ini... Mereka-"

"Om Sebastian, lama tidak bertemu, ya..."

Shela menyela ucapan Sebastian dengan cepat dan mengulurkan tangannya seraya tersenyum manis.

Laki-laki itu menghela napasnya pelan, ia menjabat tangan Shela yang terasa dingin dan bergetar.

"Ternyata selama ini kau tinggal di sini?" Sebastian menatap Shela tanpa melepaskan jabatan tangannya.

Tidak ada jawaban dari Shela, wanita itu malah menoleh pada Tino yang menarik ujung rok yang Maminya pakai.

Shela pun langsung menunduk. "Mi, Paman ini siapa? Bukan Papi, ya?" tanya Tino dengan nada lirih.

"Bukan Sayang, ini Paman Sebastian. Paman kalian," jelas Shela terkekeh manis. "Ayo kenalan satu-satu..."

Tino dan Tiano berdiri di hadapan Sebastian, mereka berdua mengulurkan tangannya. Sebastian tersenyum tipis, perasaan apa ini? Kenapa rasanya ada sesuatu yang begitu bergetar di dadanya?

"Halo Paman, namaku Tino, ini adikku Tiano, kita kembar tiga! Rame-rame lahirnya!" seru Tino tersenyum canggung.

Tiano memegangi lengan Sebastian dan kedua mata lebarnya mengerjap memperhatikan wajah Sebastian dari dekat sebelum dia tersenyum lebar.

"Paman, mata kita sama! Tapi punya Mamiku beda!" seru Tiano, dia terlihat sangat senang.

Laki-laki dewasa itu mengangguk dan mengusap pucuk kepala Tiano dan Tino, dengannya yang sesekali melirik Shela. Gadis itu masih sama, dia mengalihkan tatapannya dari Sebastian.

"Hem, kita punya mata yang sama," ujar Sebastian terkekeh.

"Warna mata memang semua orang beda-beda, Sayang," ujar Shela menarik lengan Tiano, seolah ia meminta anaknya mundur dan menjaga jarak dari Sebastian.

Perhatian Sebastian tertuju pada Tiana, anak perempuan itu menunjukkan wajah masam dalam pelukan sang Mama.

"Kau tidak mau berkenalan dengan Paman?" Sebastian mengulurkan tangannya mengusap punggung mungil Tiana.

"Tidak mau, bukan Papi!" pekiknya marah.

Shela merasa kesulitan baginya untuk menata perasaan yang kalut. Gadis itu mendekap erat tubuh Tiana, perhatian Shela teralih pada Sebastian yang datang ke sana dengan koper besar dan juga anak buahnya yang berdiri di belakang.

Seolah paham dengan tatapan Shela, laki-laki itu berdehem pelan dan berjalan mendekati sofa.

"Aku akan tinggal di sini untuk melanjutkan pengembangan perusahaanku di sini, Shela. Kau jangan khawatir, aku tidak akan memintamu pergi," ujar Sebastian menjelaskan.

Satu tangan Shela terkepal tanpa disadari, dadanya begemuruh berharap Sebastian salah bicara.

'Tinggal? Dia akan tinggal di sini denganku dan anak-anak? Aku... Satu atap dengan Sebastian Morgan? Ya Tuhan... Takdir apa lagi ini?'

**

"Tiana kira tadi itu Papi, ternyata bukan! Tiana marah sama Mami! Tiana tidak mau makan!"

Anak itu menangis sesenggukan di dalam kamar ditemani dua kembarannya. Shela merasa amat sangat pusing dengan si bungsu yang begitu rewel.

Tino dan Tiano menatapnya dengan dengkusan kesal.

"Tiana, nanti Papi pulang kok. Jangan gitu dong, tidak sayang Mami lagi, ya?" Tino menatap kesal adik kembarannya.

"Tiana tidak mau pokoknya!" Tiana malah menjerit keras-keras dan menangis hebat.

Shela diam di tepi ranjang, ia berkaca-kaca menatap Tiana yang marah. Dia sedang sakit, tapi Tiana terus mengamuk karena merasa dibohongi kalau Sebastian ternyata bukanlah Papinya, dan Maminta bohong!

Di sana, Shela menyeka air matanya dan ia menggendong Tiana. Ditatapnya wajah Tiana dalam-dalam oleh Shela.

"Adik Sayang tidak, sama Mami?" tanya wanita itu lembut.

"Sayang, Tiana sayang Mami!" jawabnya kesal.

"Kalau sayang jangan menangis, lihat Kakak, Kak Tino dan Kak Tiano tidak marah-marah seperti Tiana. Jangan menangis, Sayang..." Shela mengusap pipi Tiana dengan sangat lembut.

Anak itu masih sesenggukan. Shela benar-benar merasa kacau dan tidak betah di rumah ini lagi. Kedatangan Sebastian membuatnya was-was.

"Kapan Papi pulang, Mi? Mami bohong-bohong terus!" Tiana menangkup kedua pipi Shela dan menangis.

"Sayang sudah, Mami capek, Tiana!" Shela mendekapnya erat.

Semantara di ruang keluarga, Sebastian mendengar tangisan dan amukan anak perempuan itu yang terus bertanya tentang Papinya, dan hanya itu yang sejak tadi diributkan.

Lantas Sebastian langsung bangkit dari duduknya, ia berjalan menaiki anak tangga dan mendengar tangisan Tiana yang kian kuat. Juga Shela dengan nada sama menangisnya, namun tak terlalu.

"Jangan seperti ini Tiana, dua Kakakmu tidak begini. Mami capek nak, Mami capek, Tiana..." Shela menangis memeluk anaknya, dan benar Tiana memang sedang mengalami tantrum.

Pintu kamar Shela terbuka, tangisan Shela sontak terhenti. Ia menatap Sebastian dengan kedua mata berkaca-kaca.

Laki-laki itu mendekat tanpa ekspresi dan mengulurkan kedua tangannya pada Tiana.

"Ayo Sayang, ayo ikut Papi..." Sebastian mengangkat tubuh Tiana dari gendongan Shela dan membawanya keluar diikuti dua kembarannya.

Sedangkan Shela, ia membeku di tempat. Apa telinganya barusan salah dengar? Mendadak tubuh Shela sangat lemas.

"A-apa katanya barusan? Pa-papi...!'

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Agus Roma
buat anak yang tidak mengerti apa-apa harus Terima kenyataan ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status