Share

Bab 6

Alena berbaring dan menatap lurus langit-langit kamarnya yang bertabur bintang. Interior ruangan di kamar gadis itu memang lebih futuristik dibanding ruangan lain yang ada di istana megah keluarganya. Jika kamar Allendra didominasi warna hitam dan abu, maka berbeda dengan kamar Alena meski kesan yang didapat sama-sama gelap. Di kamar gadis itu warna putih dan biru lebih dominan. Lampu yang berpijar di bawah tempat tidurnya yang berbentuk bundar menyala terang sejak tadi.

Tepatnya, sejak sang pemilik berbaring di atas kasur itu sambil merenungi kejadian demi kejadian yang telah terjadi hari ini. Sebelum benar-benar memeluk geming, Alena sempat memukul-mukul kasur dan meluapkan emosinya pada barang-barang di atas meja riasnya. Meja yang sama sekali tak menampung peralatan tempur perempuan ketika merias diri. Di sana hanya ada pelembap, bedak bayi, dan parfum kesukaan Alena. Selebihnya, tidak ada apa-apa lagi. Ah, mungkin di laci mejanya ada sisir dan hair dryer, itu pun jarang Alena gunakan. Karena biasanya, setelah keramas ia akan membiarkan rambut basah itu mengering dengan sendirinya.

Dalam hati kecil gadis itu, timbul sedikit kekhawatiran akan kejadian tadi siang di sekolah. Kini penduduk SMA Sevit sudah tahu latar belakangnya, ia yakin hal ini akan menimbulkan keributan yang sama sekali tidak Alena harapkan. Sejak awal dia benci menjadi pusat perhatian namun sikap pendiam dan cueknga yang berlebihan justru menarik perhatian banyak orang. Terlebih setelah gelar "Super Trouble Maker" dikukuhkan padanya sejak dua tahun lalu, orang-orang jadi begitu penasaran pada kehidupan pribadi Alena dan banyak yang penasaran tentang seperti apa kesehariannya sang pembuat onar.

Alena berbaring menyamping, mengingat dengan baik bagaimana tingkah arogan kakaknya ketika ia mengunjungi sekolah tadi. Seingat Alena, itu adalah kunjungan pertama Allendra ke SMA Sevit. Selama ini, segala sesuatu tentang pendidikan Alena selalu ditanggung dan ditangani oleh orang suruhan Allendra. Baik itu rapat, pembayaran, maupun hal-hal lain tidak pernah menjadi urusan Allendra.

Ketika Alena berbaring menyamping menghadap ke arah pintu bercat putih, pintu itu tiba-tiba terbuka. Sepatu kulit warna hitam menghentak ubin, membawa langkah seseorang memasuki area kamar Alena lebih dalam. Gadis itu menaikkan pandangannya dan mendapati sang kakak ada di sana. Ya, Allendra akhirnya kembali memasuki kamar itu setelah sekian lama. Kalau tidak salah kunjungan terakhir Allendra ke kamar gadis itu terjadi sekitar satu tahun lalu. Itu pun tidak lama, dan Allendra hanya memperingatkan adiknya untuk datang ke acara ulang tahun perusahaan keluarga mereka.

Kala itu, Allendra sudah menyuruh orang suruhannya untuk memanggil Alena namun tak kunjung digubris. Dihubungi belasan kali, tetap diabaikan, malah yang terakhir panggilan Allendra ditolak dan setelah itu ponsel Alena tidak aktif. Karena alasan mendesak itu, mau tidak mau Allendra mendatangi kamar adiknya langsung. Mereka terlibat perang dingin dulu namun pada akhirnya Allendra yang memenangkan perdebatan dan berakhir dengan Alena yang setuju untuk ikut ke acara perusahaan itu.

"Jika ingin berlaga sok jagoan, bertindaklah demikian. Lakukan yang benar dan jangan berakhir menjadi pecundang."

Allendra berkata sambil kedua tangannya bersembunyi apik di saku celana. Alena berbalik memunggungi kakaknya, harusnya tadi dia kunci pintu dulu sebelum berbaring.

"Bagaimana lukau, sudah menemui dokter Dito?"

Alena memejam, mengabaikan semua pertanyaan dan rasa penasaran Allendra.

"Alena jawab!"

Gadis itu mendengus lantas memasang posisi duduk dan balas menatap nyalang kakaknya.

"Berpura-pura baik di depanku tidak cocok untukmu. Tetaplah jadi iblis seperti biasanya dan jangan menunjukkan sisi munafik seolah-olah kau peduli padaku. Itu memuakkan!"

"Aku mendatangimu bukan untuk bertengkar denganmu. Kau tahu, sisi lemahmu tadi sudah mempermalukan nama baik keluarga kita. Kau membiarkan bedebah-bedebah itu menginjak-injak nama besar Spancer dan kau hanya diam seperti orang bodoh."

"Fuck off dengan nama besar keluargamu. Bukankah kita sudah menegaskannya sejak awal, tidak ada yang boleh melewati batas teritorial. Lakukan apa yang kau mau dan aku pun akan melakukan apa yang kumau. Mari hidup berdampingan tanpa saling bersinggungan. Kau sudah beberapa kali melanggarnya dan aku sudah cukup sabar."

"Aku tidak akan melewati batas jika kau tidak mengusikku lebih dulu. Jadi di sini, siapa yang melanggar kesepakatan sejak awal, hm? Kalau kau memang ingin jadi brengsek maka lakukan tanpa melibatkanku."

"Aku benar-benar membencimu, Allendra!"

"Aku tahu, benci aku sampai kau mati. Dengar, seberapa keras pun kau berontak dan melawan kenyataan, itu percuma. Selamanya kau akan menjadi adikku. Selamanya ada darah yang sama mengalir dalam tubuh kita. Kebencianmu tidak akan menghapus fakta bahwa kau adalah adik dari seorang pembunuh. Kau bukan siapa-siapa Alena, dunia akan mengusirmu jika kau tidak punya aku. Jadi berhenti membuatku emosi dan bertindak bodoh seperti tadi. Aku juga benci," kata Allendra dingin lantas berbalik--hendak pergi dari sana.

"Kenapa kau membunuh ibuku?"

Langkah Allendra terhenti, cih, pertanyaan itu lagi. Begitu sekiranya refleks hati pria itu menggumam.

"Karena aku mau."

Bugh!

Sebuah bantal menerpa punggung Allendra, lemparan keras disertai pekik amarah yang begitu melengking dari Alena. Prianitu menatap bantal yang baru saja menghantam punggungnya dengan nanar. Kemudian pergi tanpa memedulikan teriakan adiknya yang sedang mengucap sumpah serapah.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status