"Ck, ck, ternyata kutukan Spancer itu benar adanya," gumam Vincent sambil geleng-geleng tak menyangka.
"Maksudmu?"
"Kau tidak tahu?"
"Tahu apa?"
***
"Selamat pagi," sapa seorang pria, menyapa Zeeya ketika gadis itu baru keluar dari rumahnya.
"Pagi, kau baru mau berangkat, Mark?"
"Iya, mobilmu mana?"
"Di bengkel."
"Ada masalah apa memangnya?"
"Entah, aku tidak mengerti. Hanya saja kemarin keluar asap dari bagian kap depan. Maklum, mobil tua."
"Mm, bagaimana kalau hari ini kau berangkat bersamaku?"
Zeeya tersenyum sopan pada tetangga sekaligus teman kuliahnya ini. Dia bekerja di salah satu bank swasta sebagai manajer. Tubuhnya tinggi, memiliki tahi lalat di dagu, dan berkaca mata. Meski begitu, pria yang selalu tampak formal sepanjang Zeeya mengenalnya tetap terlihat ideal untuk dijadikan kriteria para gadis. Dia baik, ramah, dan sangat perhatian, dan cukup menyenang
"Jangan macam-macam, ini di sekolah.""Berarti kalau di luar sekolah boleh?"***Kehidupan itu tentang pusaran waktu, menyeretmu ke setiap sudut situasi tanpa ingin bertanya apakah kau siap atau tidak untuk menghadapinya. Seperti aliran sungai yang tidak akan berhenti berjalan sampai ia bermuara di titik yang semestinya. Sekali pun kau memaksa, agar apa yang tak diinginkan menghilang dari pandangan namun waktu tahu kapan dia harus memanjakanmu. Waktu tahu kapan ia harus mengabaikanmu. Waktu tahu, kapan ia harus berada di sisimu atau menjauh darimu sampai batas yang dia inginkan. Kau harus bahagia hari ini, maka itu adalah waktumu. Dia akan sukses esok hari, maka itu adalah waktunya. Kau yang belum mencapai titik membanggakan dalam hidup bukanlah pecundang yang tak dibutuhkan. Waktumu belum tiba namun bukan berarti kau harus meregang asa. Bukan berarti kau harus menyurutkan usaha. Selagi menanti waktu, mari bekerja
"Pulanglah tuan Allendra, saya yakin kekasih Anda sedang menunggu di rumah.""Kekasihku sedang menunggu di sini."***Dua orang itu saling melempar tatap, bingung mau mulai dari mana dan dengan cara apa. Tepatnya, Liam yang merasakan hal itu sementara Alena hanya duduk tenang sambil memperhatikan sang kapten basket yang entah mengapa bisa duduk berhadapan dengannya di perpustakaan hari ini."Bisa kita mulai?" tanya Liam, Alena diam saja."Mohon kerja samanya karena ini juga bukan kemauanku.""Siapa yang menyuruhmu?""Ketua Yayasan."“Lo tahu gue enggak suka belajar, kan?""Tahu."Alena mengangguk kemudian bersiap pergi."Duduk," kata Liam penuh tuntutan.Gadis itu menoleh sambil mengernyitkan kening."Aku tahu kau benci belajar dan tugasku sekarang adalah membuatmu melakukan apa yang kau benci.""Dibayar berapa lo sama si Pak tua itu?""Bicara yang sopan,
"Kenapa diam saja, makan, aku sengaja memesan menu termahal untukmu.""Saya mau pulang, bukan mau makan di restoran!" protes Zeeya, enggan menyentuh satu pun sajian makan malam lezat yang sengaja dipesan Allendra.Pria itu memesan beberapa menu makanan western dengan porsi yang tidak manusiawi. Setiap sudut meja dipenuhi dengan makanan. Sebenarnya, jauh di lubuk hati, gadis itu mulai tergoda dengan lambaian asap beraroma sedap yang menguar dari hidangan itu. Kalau saja bukan Allendra yang menyajikan semua ini, pasti setengahnya sudah habis Zeeya lahap. Jangan salah, walau berbadan kecil tapi nafsu makannya luar biasa rakus. Kebiasaan itu didukung oleh satu fakta melegakan, sebanyak apapun makanan yang masuk ke usus Zeeya, tidak akan berpengaruh sama sekali pada bobot tubuhnya. Tanpa perlu diet dia bisa makan banyak sesuka hati. Keuntungan yang menjadi impian sebagian besar perempuan di muka bumi."Makan dulu baru pulang. Kau pasti lapar, kan, dari tadi belum mak
Hujan turun kian deras, membasahi bumi sambil membawa serta siur angin kencang. Kaki dan tangan Zeeya mulai terasa kebas, bibirnya menggigil hampir dibekukan rasa dingin. Zeeya mengutuk Allendra dan semesta yang sengaja berkonspirasi membuatnya tersiksa. Kesialan demi kesialan berdatangan, sudah dibuat kesal seharian, di sekolah pekerjaannya menekan tidak tertahan, makan malam diusik, menyaksikan adegan tidak pantas di depan matanya, sampai gagal mendapatkan taksi meski sudah berulang kali ia memberi kode berhenti. Setiap taksi yang melintas sudah terisi penumpang, halte bus tidak tahu seberapa jauh lagi.Tiga puluh menit berjalan, gadis itu tak menemukan tanda-tanda halte atau pemberhentian kendaraan lainnya. Ingin meminta bala bantuan, ponselnya mati tak berdaya. Oh, lengkap sudah. Mungkinkah ini bentuk nyata kutukan Spancer? Mengapa tidak ada satu pun yang berjalan lancar sejak tadi. Sekujur tubuh Zeeya mati rasa saking dinginnya. Meneduh pun percuma karena tidak ada lagi
Brak!Pintu kamar Allendra terbuka, pria itu menoleh ke samping begitu pun dengan Zeeya. Alena berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar, dia melangkah memasuki kamar pria itu dan menusuk mata kakaknya dengan tatapan sinis. Allendra menarik dirinya dari Zeeya, kemudian duduk tegap menyambut adiknya dengan seringaian."Apa yang membawa adik kesayanganku berkunjung ke kamar terlarang ini, hm?"Zeeya melotot kaget mendapati muridnya memberikan tatapan yang sulit ia definisikan. Seperti sorot kecewa dan tak menyangka mungkin. Gadis itu pun duduk dengan benar, menurunkan pandangan karena malu tertangkap basah di posisi yang bisa membuat semua orang salah paham."Bu Zeeya, saya ingin bicara," kata Alena tanpa memedulikan pertanyaan kakaknya."Oh iya, ayo.""Kau tidak bisa mengajaknya tanpa seizinku, anak manis." Allendra bermaksud wanitanya."Tidak masalah, ayo, Len, kita bicara,” ungkap Zeeya lebih memilih mengikuti Alena dibandi
"Green tea segar tanpa bubble, sesuai pesananmu," kata Mark sambil memberikan minuman pada Zeeya."Terima kasih," ucap Zeeya lantas menyeruput minuman itu."Suka?" tanya Mark lagi.Zeeya mengangguk sambil tersenyum."Kau suka dengan filmnya?""Suka."Mereka berjalan berdampingan keluar dari area bioskop yang ada di salah satu mall terbesar pusat kota."Bagian mana yang kau suka?""Mm, saat si pemeran pria mengorbankan dirinya demi gadis yang dia cinta. Aku cukup tersentuh melihat dia yang rela mati dengan membawa segenap kebencian orang-orang. Maksudku, apa mungkin ada orang sebaik itu di dunia nyata? Dia rela dibenci bertahun-tahun oleh wanita yang dia cinta untuk sebuah kesalahan yang tidak pernah dia lakukan. Dia tidak mencoba melakukan pembenaran atau sekadar membela diri. Membiarkan dunia mencapnya jahat sampai akhir hayatnya. Bukankah itu tindakan yang bodoh?""Sebagian penonton mungkin menganggapnya demikian. Tapi
Alena ingin muntah melihat drama picisan ini. Sialnya, dia terlibat dan agak sulit melarikan diri karena beberapa ucapan yang relate dengan keadaannya. Gadis itu tahu, semua orang yang mendekatinya itu tidak tulus. Ada banyak motif yang melatarbelakangi, begitu pun dengan Liam dan Sera, mungkin. Dia tidak ingin repot menebak atau mencari tahu alasan itu, tidak ada gunanya juga baginya. Dia sudah berusaha abai tapi anehnya orang-orang selalu memancingnya untuk bertingkah. Sialan sekali memang."Jangan sembarangan, Kak, kalau bicara. Aku dan kak Liam bukan orang seperti itu. Kami tulus berteman dengan kak Alena karena dia orang yang baik. Kakak saja yang tidak mau tahu dan selalu menutup mata dan hati kakak atas kebaikan kak Alena.""Diam, Sera, aku tidak butuh pembelaanmu.""Tapi Kak—""Kubilang diam!""Lihatlah, orang sepertinya yang mati-matian kau bela bahkan tidak menghargaimu sama sekali, Sera. Jadi berhentilah bergaul dengannya."
"Perempuan mana lagi yang sedang berusaha kau taklukkan?""Perempuan unik.""Masih betah bermain-main dengan perasaan orang?" ungkap dokter itu sambil menyiapkan jarum suntik yang sudah diisi obat."Masih, ini menyenangkan."Dokter cantik itu menyuntikkan obat tadi pada lengan Allendra sambil menyunggingkan senyum."Cepat atau lambat kau akan mendapat karmamu, Al.""Tahu, aku sudah tidak sabar menunggu momen itu datang.""Akal dan hatimu memang sudah rusak."Allendra menoleh pada dokter itu, dia mengambil tangan si dokter dan menggenggamnya erat."Maka dari itu aku membutuhkanmu. Jangan tinggalkan aku, ya?"Dokter itu mendecih, sudah teramat sering dia melihat Allendra seperti ini. Bukan hanya padanya, tapi pada siapa pun yang menjadi targetnya."Aku tidak akan meninggalkanmu karena kau berhutang banyak padaku. Segera lunasi atau kusita semua hartamu."Dokter itu menarik tangannya dari genggaman Alle