Share

Problematika Hidup

" San, titip absen ya."

Panggilan diakhiri oleh Tiffany. Perempuan itu mengatur napas sebelum masuk ke ruangan di depannya. Ruangan tempatnya mulai bekerja hari ini. Bersama Direktur muda AMJ yang parfumnya memabukkan.

Tiffany mengetuk pintu, dua kali. Tak ada jawaban apa pun. Diliriknya jam yang melingkar di tangannya, masih jam setengah sembilan. Pasti atasannya belum datang. Membuka pintu, Tiffany melongo melihat Davian tidur pulas dengan mulut terbuka.

Perempuan itu menutup pintu di belakangnya. Berjalan mendekat ke arah Davian yang sedang terlelap. Ia berdiri di sebelah kursi Davian. Mengamati setiap inci wajah lelaki itu dengan seksama.

" Ganteng sih. Tapi... jutek!" komentar perempuan itu pelan sekali. Namun cepat-cepat Tiffany menutup mulut. Apa yang baru saja dia katakan?

" Siapa yang jutek?"

Tiffany mengerjapkan mata berkali-kali. Tiba-tiba jantungnya seperti merosot ke perut. Menoleh, ia mendapati Davian sudah tak lagi bersandar. Lelaki itu kini sedang sibuk mengeluarkan dokumen-dokumen dari dalam laci di bawah mejanya.

" Eh... itu... Sandra jutek." Tiffany berkilah, kemudian cepat-cepat menuju meja baru yang sengaja disediakan oleh kantor untuknya bekerja, di dekat jendela.

Sandra merupakan teman kuliah yang paling dekat dengan Tiffany. Sandra juga orang yang telah meracuni Tiffany untuk menjajakkan diri menjadi pelacur, karena katanya menjadi pelacur adalah pekerjaan yang sangat mudah. Tapi bagi Tiffany, menjual diri tak semudah kata Sandra. Dan Tiffany tak mau lagi menjual diri seperti Sandra. Kapok. Sungguh.

" Mulai hari ini, orang yang mau ketemu saya akan menghubungi kamu dulu."

What? Maksudnya bagaimana?

" Saya sudah kasih nomor kamu ke kolega-kolega saya dan bilang kalau butuh apa-apa dengan saya, bisa langsung hubungi kamu."

Mengapa Tiffany jadi merasa seperti manajer artis, dibanding sekretaris kantoran? Tapi, tak apa-apa. Mungkin memang beginilah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan besar.

" Nama email kamu apa?"

Tiffany yang masih bingung harus melakukan apa selain menjadi perantara pertemuan antara Davian dan koleganya, menyebutkan alamat email pribadinya.

" Kamu bawa laptop kan?"

Laptop? Sontak saja Tiffany kaget. Ia bahkan tak tahu jika harus menggunakan laptop pribadi. " Enggak, Pak."

Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya," gimana mau kerja kalau kamu nggak bawa laptop?"

" Kemarin nggak ada yang kasih tahu saya kalau harus bawa laptop. Saya kan baru, mana saya tahu!" Tiffany membela diri. Namun salahnya, ia malah nyolot. Membuat Davian semakin melotot.

" Kamu kalau ngomong sama atasan, harus pake etika!" balas Davian. Menatap tajam ke arah Tiffany. Kemudian lelaki itu berjalan melewati Tiffany sambari membanting pintu.

Bulu kuduk Tiffany meremang. Ia sungguh takut. Mengapa Davian semarah itu? Padahal ia sama sekali tak bermaksud menyentil perasaan atasannya sama sekali. Tiffany hanya membela diri!

Apa mungkin Davian adalah tipe orang yang sensitif? Atau memang dia arogan seperti dalam film-film? Perempuan itu menggelengkan kepala, membuang jauh-jauh pikiran ngawurnya.

Tiba-tiba, ponsel di atas meja berdering-dering, tanda ada panggilan masuk. Tiffany melirik ponselnya yang menampilkan sederet nomor tak dikenal. Siapa lagi yang menelponnya? Apakah orang yang ingin menagih hutang ayahnya lagi? Karyawan PHK yang gajinya belum dibayar?

Karena sedang malas berurusan dengan hutang, akhirnya Tiffany mengabaikan panggilan tersebut.

Tiffany sedang tidak mau berhubungan dengan rentenir, pihak Bank, debt collector atau mantan karyawan Ayahnya. Setidaknya untuk seharian ini saja. Mengingat sudah dua hari ia mendapat teror tagihan hutang yang sangat banyak. Dan nilainya pun tak tanggung-tanggung. Ada yang mencapai tujuh ratus juta. Bagaimana Tiffany dapat mencicil hutang segitu banyak?

Belum lagi beberapa hari ini Sandra mengatakan, jika beberapa dosen di kampus lumayan menyebalkan dan sulit untuk titip absen. Jadi, untuk beberapa mata kuliah, Sandra tidak bisa membantu Tiffany mengisi absennya.

Tiffany sangat bingung dengan semua yang terjadi padanya secara tiba-tiba begini. Musibah yang menimpa Ayahnya benar-benar diluar nalarnya yang dangkal. Ayahnya tak pernah pulang sejak sebulan yang lalu. Dan seminggu setelahnya, pihak Bank datang ke rumah mewahnya, menunjukkan surat penyitaan karena sudah lima belas bulan Ayahnya tak mencicil hutang pribadi yang bernilai lebih dari satu milyar. Untungnya masih ada apartemen yang sekarang menjadi tempat tinggalnya. Jika tidak begitu, barangkali Tiffany akan menjadi gelandangan di jalanan.

Tiffany yang sedang hanyut dengan pikirannya sendiri, sembari menopang dagu tiba-tiba melompat kaget saat mendapati Davian menggebrak mejanya cukup keras. Shock, Tiffany memegang dadanya yang berdebar tak karuan sembari mengatur napas.

" Kamu nggak angkat telepon dari investor perusahaan?" Davian bertanya dengan nada tenang namun tinggi.

Tiffany bergidik ngeri melihat ekspresi Davian yang menakutkan. Lebih seram dari debt collector.

" Investor apa?" Tiffany masih tak mengerti.

" Lihat hape kamu coba?" Pertanyaan yang diajukan Davian lebih mirip sebagai perintah yang harus segera dilaksanakan. Meski pun suaranya merendah, tapi aura yang menyelimutinya masih saja horor.

Tiffany menurut. Mengecek ponselnya. Memang ada panggilan tak terjawab... Tunggu. Tiffany mulai menyadari sesuatu dengan sederet nomor yang ada di kotak panggilan tak terjawab tersebut.

" Ini nomor Investor?" bukan nomor penagih hutang?

Davian tampak mengatur napasnya, dan berjalan menuju kursinya. Memijat-mijat pangkal hidungnya yang semakin lama semakin tak enak saja. Belum lagi, ulah sekretaris barunya yang membuat kepala Davian semakin berdenyut-denyut.

" Pak, Maafin saya ya. Saya janji, nggak akan ngulangin kesalahan yang sama," Tiffany berisiatif untuk meminta maaf. Karena kali ini ia memang bersalah telah mengabaikan panggilan dari orang penting. Ia berdiri di sebelah Davian sembari menunduk. Tapi, lelaki itu tak bereaksi apa-apa. Membuat Tiffany jadi merasa sangat bersalah. Akhirnya, Tiffany memutuskan berlutut di kaki Davian.

" Kamu ngapain?"

" Maafin saya, Pak. Kasih saya kesempatan buat memperbaiki diri." Tiffany merendahkan tubuhnya serendah-rendahnya.

Tiffany tak boleh membuat Davian membencinya. Kata orang, penilaian kerja itu tergantung dari kedekatan atasan dan bawahan. Semakin dekat atasan dan bawahan, semakin mudah juga untuk naik jabatan. Setidaknya begitulah kebanyakan sistem yang terjadi di Indonesia. Makanya, lebih banyak orang yang cari muka terhadap atasan dibanding mendalami ilmu yang bisa meningkatkan skill kerjanya.

" Bangun!" Davian memberi perintah dengan intonasi datar.

Tiffany menurut.

" Duduk di tempat kamu."

Tiffany menurut.

" Saya nggak mau kamu santai-santai seperti tadi kalau nggak ada saya."

Tiffany mengangguk. Berjanji dalam hati jika mulai detik ini ia akan menjadi sekretaris penurut. Agar bisa melunasi hutang-hutang Ayahnya, menghidupi diri sendiri dan adik lelakinya yang masih SMA.

Tiba-tiba Davian bersin tiga kali.

" Pak, mau saya beliin obat?" Tiffany menawarkan diri.

" Nggak usa..." Davian bersin lagi. Kali ini disertai cairan bening yang asin. Segera lelaki itu mengelap hidungnya dengan tisu.

" Bapak yakin baik-baik aja?" Tiffany memastikan. Menyadari lelaki itu tampak letih dan pucat.

" Saya baik-baik aja. Kamu ambil dokumen-dokumen di atas meja saya. Pelajari tanda tangan saya, kemudian tanda tangani dokumen yang ada di sebelah kiri."

Tiffany tak paham dengan instruksi tersebut, " maksudnya, Pak?"

" Mulai hari ini, kamu harus bisa bantu saya tanda tangan dokumen yang biasa saya tanda tangani."

Hah? Apakah maksudnya Tiffany harus bisa memalsukan tanda tangan atasannya?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status