Share

Telepon Dari Mantan Karyawan

" Bapak yakin nggak apa-apa?"

Davian melirik perempuan cerewet di mejanya. Sudah berapa kali sejak tadi pagi dia bertanya seperti itu. Sampai-sampai Davian bosan mendengar suaranya dan juga melihat wajahnya.

" Harus berapa kali lagi yang bilang kalau saya baik-baik saja?"

Tiffany tampak terkejut dengan respon Davian kali ini. Membuat Davian jadi geli sendiri melihat perempuan di dekat jendela itu menundukkan kepala dalam-dalam dan memilih diam. Tak menanggapinya lagi.

Bagus deh. Setidaknya, di jam mendekati pulang kantor begini ia bisa sedikit tenang. Apalagi hari ini bisa dibilang hari tenang baginya. Tak ada rapat dan pertemuan di luar. Dengan begitu, Davian bisa pulang cepat. Jarang-jarang juga ia punya banyak waktu luang begini.

Davian bersin lagi.

Tisu di atas meja sudah habis hampir setengahnya hanya untuk mengelap hidungnya yang meler.

" Tiffany, sebaiknya besok kamu pakai masker. Kayaknya saya flu."

Lelaki itu berucap panjang lebar tanpa menoleh. Kepalanya pusing dan berat sekali. Hidungnya sudah memerah tak karuan. Bahkan bawah matanya terasa menghangat.

" Pak... dokumennya sudah saya tanda tangani semua," Tiffany berdiri di depan meja Davian. Meletakkan dokumen-dokumen yang sudah ia tanda tangani. Tanda tangan palsu Davian.

Davian membenarkan posisi duduknya, menggelengkan kepala yang pusing, kemudian mengecek dokumen-dokumen di depannya dengan cepat. Jika dilihat dari cara perempuan itu mengikuti tanda tangannya, terlihat cukup mirip. Meski pun ada beberapa bagian yang kaku. Tapi, tak masalah. Dengan begitu, Davian jadi bisa ngirit tenaga untuk tanda tangan dokumen-dokumen menyebalkan itu.

" Kamu taruh ini di kotak dekat meja kamu ya. Di kotak sesudah TTD."

Davian mengamati Tiffany yang kembali mengambil setumpuk dokumen tadi. Meletakkan kertas-kertas itu di atas kotak bertuliskan sesudah TTD. Tak sadar, ia mengulas senyum tipis. Jika posisi mereka ditukar, apakah Davian akan melakukan hal yang sama seperti Tiffany? Mungkin saja iya. Tapi, tak mungkin Davian akan melakukan tindakan bodoh bersujud di kaki atasannya. Meski pun terkenal angkuh dan sombong, sebagai manusia, Davian tak separah itu memperlakukan manusia lainnya. 

Mengamati Tiffany kembali duduk dan tampak bingung dengan apa yang akan dilakukannya lagi, membuat Davin geleng-geleng kepala.

" Besok setelah kamu datang, kamu bisa langsung beresin dokumen-dokumen di kotak sebelum TTD. Kalau saya belum datang, taruh di laci saya." Davian menjelaskan. Agar besok perempuan itu tak lagi bengong sambil menopang dagu.

" Kalau udah datang?"

" Taruh di atas meja."

Seharusnya perempuan itu sudah paham apa yang dilakukannya besok. Meskipun, Davian tahu ini adalah pengalaman pertama Tiffany bekerja, ia tak mau tahu. Seorang pekerja harus cepat tanggap dan punya inisiatif untuk belajar cepat.

" Jangan lupa, kalau ada telepon diangkat." Davian mengingatkan. Seolah menerima telepon adalah hal yang sangat penting. Jelas saja, kalau tidak ada komunikasi antar perusahaan, bagaimana perusahaannya bisa maju? Sama seperti manusia, perusahaan juga perlu bersosialisasi dengan perusahaan lain.

" Iy..." ucapan Tiffany terpotong ketika ponsel di atas meja meraung-raung. Nomor baru lagi? Investor atau penagihan hutang?

" Siapa?" Davian penasaran.

Tiffany menggeleng, tidak tahu, " nggak tahu, Pak."

" Angkat. Aktifkan loud speaker!" perintahnya paten sembari memijit-mijit keningnya.

Ragu, Tiffany mengangkat panggilan itu dengan jantung berdebar tak karuan. Semoga ini rekan kerja Davian.

" Halo... Benar ini Mbak Tiffany Anindita?" Suara laki-laki di telepon terdengar buru-buru.

" Iya, saya sendiri. Ada yang bisa saya b..."

" Mbak Tiffany anaknya Pak Dani, kan?"

Perasaan Tiffany semakin tak enak.

" Mbak tolong saya. Istri saya mau melahirkan. Tolong sekali... upah kerja saya selama tiga bulan yang belum dibayar segera dilunasi."

Davian membuka mata. Memandangi Tiffany yang sudah mengecilkan volume panggilan telepon itu dan berjalan keluar ruangan. Tak sampai lima menit, perempuan itu masuk lagi dengan wajah pucat pasi.

Davian tak bertanya sebelum perempuan itu membuka mulut untuk menjelaskan. Karena telepon tadi jelas bukan dari koleganya.

" Maaf, Pak. Itu tadi..." Tiffany menghentikan ucapannya. Ia menarik napas dalam-dalam. " ... nggak jadi." Lanjutnya sembari tersenyum simpul.

Setelah itu suasana hening. Baik Davian maupun Tiffany, tak ada yang berinisiatif untuk mencairkan suasana. Davian sendiri sebenarnya penasaran dengan apa yang sedang sekretaris barunya alami. Tapi untuk bertanya kenapa saja ia gengsi.

" Pak, sudah jam lima lewat. Bapak nggak mau pulang?"

Davian tersadar. Melirik jam, benar saja apa yang dikatakan Tiffany. Sudah waktunya pulang. Lelaki itu berdiri dan berjalan meninggalkan Tiffany lebih dulu. Namun, tubuhnya terasa berat sekali. Pandangannya pun berkunang-kunang. Sebelum melanjutkan, Davian bersandar pada dinding luar ruangannya. Melihat kanan-kiri siapa tahu ada yang lewat. Tapi, lewat jam kerja sedikit saja sudah sepi. Padahal ini baru lewat tiga puluh menit dari jam pulang. Meja resepsionis di bawah pun sudah kosong dan lampunya mati.

Memastikan jika pandangannya mulai membaik, Davian kembali berjalan. Namun, baru dua langkah ia hampir menabrak kursi tunggu di depan ruangannya.

" Bapak kenapa-kenapa, kan?"

Davian menoleh. Mendapati Tiffany sudah berdiri di sebelahnya. Nyaris menyentuhnya, tapi sebelum itu terjadi Davian memberi kode agar Tiffany tak menyentuhnya sama sekali.

" Oh, ya udah kalau nggak mau di tolongin."

Perempuan itu berjalan melewati Davian begitu saja. Berbanding terbalik dengan kelakuannya yang diam seribu bahasa seharian ini.

" Tiffany, tunggu!"

Davian tak mengerti, mengapa mulutnya mengatakan itu. Ia berlari-lari kecil dengan agak sempoyongan.

" Tolong telepon Raka. Suruh dia jemput saya." Perintahnya sembari memberikan ponsel kepada Tiffany.

Tiffany kebingungan memandangi ponsel mahal milik Davian. " Raka siapa? Bapak mabok ya?"

" Sembarangan kamu!"

Davian kembali berjalan sendiri. Meninggalkan Tiffany yang kebingungan dengan apa yang terjadi dengan atasannya.

" Pak..." Tiffany berlari kecil mengejar Davian yang sudah menuruni tangga. " Hape Bapak!"

Davian tersadar. Menghentikan langkah. Mengapa ia ling-lung begini? Sembari menunggu Tiffany sampai di tempatnya, Davian kembali mengingat makan apa ia hari ini? Mengapa bisa jadi seperti orang mabuk begini? Menggeleng. Tidak ada yang salah dengan makanannya. Yang salah adalah pangkal hidungnya yang tiba-tiba sakit ketika bangun tidur.

Ia bersin lagi. Berkali-kali. Membuat kepala Davian semakin pening.

" Pak, nih!" Tiffany memberikan ponsel Davian kepada pemiliknya, " Bapak itu flu. Badannya kerasa anget nggak, Pak?"

Davian mengerutkan kening, dan mengangguk, " fix. Bapak nggak enak badan. Ayo saya antar ke rumah sakit."

Davian mengikuti langkah Tiffany. Benar juga. Badannya terasa hangat. Tapi Davian tak mau ke rumah sakit. Sungguh, bau obat di rumah sakit akan membuat keadaannya semakin memburuk.

" Saya nggak mau ke rumah sakit."

" Kalau gitu ke klinik terdekat!"

Davian menimbang-nimbang. Kemudian menyerah karena kepalanya semakin tak bisa diajak kompromi. Seumur-umur, Davian tidak pernah berobat ke klinik. Semoga saja aroma ruangannya tidak separah aroma rumah sakit.

" Tiffany... tadi itu... yang telepon kamu siapa?" Davian mengejar Tiffany yang sudah mulai jauh.

Tiffany menghentikan langkah. Terkejut dengan pertanyaan yang Davian ajukan.

" Maaf, kalo saya kepo."

Tiffany menarik ujung bibirnya, berusaha tegar, " karyawan Ayah saya."

" Karyawan?"

Tiffany mengangguk, " iya. Tapi, sekarang perusahaan Ayah saya bangkrut..."

" ... Dan hutangnya banyak? Itu alasannya kamu jadi pelacur?"

Astaga. Lemes sekali mulut atasannya ini. Jika tak butuh pekerjaan ini, Tiffany pasti akan menapar mulut kurang ajar Davian. Sungguh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status