LOGINJam telah menunjuk pukul 00:01 dinihari waktu setempat, truk kontainer terakhir tiba di dermaga. Chen Yuan turun dari mobil mewahnya, di apit oleh empat pengawal bersenjata. Tawanya terdengar lantang saat ia menyambut para pembeli. Calvin menarik napas pelan, memastikan senapan serbu dengan peredam di tangannya terkokang dalam posisi sempurna.
CUZZZ!! Tembakan pertama memecah dinginnya malam. Kepala salah satu pengawal Chen Yuan pecah berdarah sebelum sempat mengerti apa yang terjadi. Kekacauan meledak bagai petir yang menyambar. Para sindikat dengan cepat bergerak mencari posisi teraman dari kemungkinan serangan selanjutnya. Calvin bergerak cepat, berguling, berlari dan melompat menghindari lesatan peluru yang menderu-- menghantam bagaikan petasan api ke arahnya. Namun, lesatan peluru tak satupun yang mengenai tubuhnya yang cepat. Calvin melompat tinggi dari atas atap dan menerobos masuk ke dalam gudang melalui jendela yang pecah akibat terkena peluru nyasar. Ia seperti bayangan angin topan - setiap lesatan pelurunya tepat sasaran, dan setiap gerakan terukur sempurna seperti badai yang membawa arus kematian. Salah satu anggota sindikat menyerangnya dengan deru senjata serbu--tanpa memberi kesempatan Calvin untuk menarik napas, Calvin berputar menghindar - peluru hanya tipis dari tubuhnya yang bergerak seperti bayangan pencabut nyawa. KREKKK... KREKK.. Suara senjata kosong terdengar dari tangan lawan yang memburu. - peluru senjatanya habis--dan sekarang giliran Calvin yang membidik--DOR--hanya satu peluru - tepat menembus kepala, musuh seketika tewas tanpa mampu berkata. Dari arah belakang seorang anak buah lagi datang menyerbu. Calvin melompat ke balik drum. Senjata serbu menghujam drum. Tapi Calvin tenang - dengan keberanian dan kepercayaan diri yang terlatih sempurna, ia mendorong drum hingga mengguling ke arah lawan--dan dengan presisi sempurna... Calvin melompat seperti macan yang berburu, menginjakkan kakinya di atas drum-drum yang bergelinding, dan bersalto sambil menembakkan senjatanya cepat--tepat... DORR! DORR!DORR! Tiga peluru melesat dari udara--menembus dada lawan yang tak sempat membalas. Tiga pengawal Chen Yuan telah tewas di tangan Calvin. Calvin berlindung di balik forklift. Tiba-tiba Chen Yuan bersama seorang pengawal yang tersisa menyerbu dari segala sisi. Calvin berkelit - memutar tubuh membalas tiga kali tembakan ke arah Chen Yuan. Namun Chen Yuan dengan tak kalah gesit melompat menghindar cepat. Chen Yuan berlari mundur kebelakang, memancing Calvin untuk mengejarnya. Tapi Calvin mengerti dan membaca setiap jebakan maut yang mengancam nyawanya. Dari balik Drum, tiba-tiba seorang pengawal yang tersisa melompat sambil mengayunkan golok yang mengkilap ke arah Calvin. Tapi, Calvin sudah membaca pergerakan itu dengan terukur. Calvin memutar tubuh cepat, menangkis golok dengan senjatanya--trang - baja dan senjata beradu. Senjata terlepas dari tangan Calvin, namun giliran kaki Calvin yang bergerak bagaikan magnet yang mengerti arah yang di tuju--Dukk--telak, tendangan Calvin menghantam perut lawan, membuatnya terhuyung kebelakang, belum sempat ia bergerak normal, bayangan Calvin memburu cepat seperti kilat - CEZZZ - mata lawan mendelik, sebuah pisau tempur milik Calvin menembus ulu hatinya--dia tewas seketika. Chen Yuan berlari ke arah belakang gudang, mencoba kabur melalui pintu darurat. Ia tinggal sendirian, empat orang anak buahnya telah tewas, sementara pembeli telah lari bersama truck yang membawa seluruh barang transaksi pergi. Dari arah belakang, Calvin mengejarnya, melompati kotak-kotak kayu. Chen Yuan melesatkan tembakan ke arah Calvin yang berlari gesit dan cepat. DOR! DOR! DOR! tiga peluru di lesatkan cepat namun meleset tipis dari tubuh Calvin yang bergerak lincah. Dan peluru yang ke empat dilesatkan kembali oleh Chen Yuan, namun terdengar suara--KRETT! KRETT! peluru pistol telah kosong. Chen Yuan mencoba lari ke arah mobil, tiba-tiba dari arah depannya Calvin telah berdiri menatapnya seperti singa yang siap menerkam mangsa. Keduanya diam sejenak saling menatap. CHEN YUAN: "Kau pikir bisa membunuhku mudah, Calvin? Aku jauh lebih hebat darimu!" Calvin masih menatap tajam dan berkata dengan nada datar. CALVIN: " Kau memang besar... sudah terlalu besar, namun hari ini kau akan menghilang bersama nama besarmu yang kau banggakan." Chen Yuan meraih balok kayu di dekatnya, lalu melompat menghantam sambil berteriak keras, "Mampuslah kau! pembunuh rendahan!" Chen Yuan dengan amarah membara, tapi Calvin sangat tenang dan cepat membaca situasi. Calvin berkelit ke arah sisi kanan sangat cepat, kemudian menginjak salah satu kotak kayu, menjadikan sebagai tumpuan, lalu ia melompat melepaskan tendangan memutar di udara--TRAKK! tendangan Calvin tepat mengenai pergelangan tangan Chen Yuan - kayu terlepas dari tangannya. Kini keduanya kembali berhadapan dengan tangan kosong. Chen Yuan menatap tajam, senyum sadis terlihat dari mulutnya, ia tertawa sinis. "Kau pikir kau sudah menang, bajingan! kau rasakan pukulan ku!" teriaknya melompat sambil menyerang dengan pukulan dan tendangan beruntun. Selanjutnya, pertarungan tangan kosong pecah. Calvin menghindar dengan memutar badan ketika sepakan Chen Yuan menghantamnya keras--BRAKK! suara kotak kayu pecah terkena tendangan Chen Yuan. Chen Yuan kembali menyerang dengan ganas - mengerahkan semua kemampuan beladirinya, namun lawannya sangat tenang - membaca setiap serangan dengan terukur, dan dalam pergerakan presisi--Calvin bergerak gesit seperti kilat - meloncat dan menghantam kepala Chen Yuan dengan tinjunya--BUKKK! tinju Calvin telak menghantam kepala Chen Yuan, ia terhuyung-huyung kebelakang, tapi sebuah tendangan lurus Calvin kembali mendarat telak di dadanya--PAKK! Chen Yuan terpental menghantam tong kayu hingga pecah, dari mulut Chen Yuan darah mengalir. Calvin mendekat perlahan, menjambak rambur Chen Yuan dan menghantamkan kepala Chen Yuan ke kotak besi yang telah berkarat--TANKK! Suara kepala beradu tong besi nyaring terdengar, Darah mengalir dari kepala yang retak. Wajah Chen Yuan tampak pucat, ia tak mampu lagi melakukan perlawanan. Ia menyadari bahwa malam itu adalah malam terakhir dari cerita gelapnya. CROTTT!--Sebilah pisau tajam menembus dada Chen Yuan dalam - menembus jantungnya. CALVIN: "Sampaikan salamku kepada semua yang telah pergi sebelum kau. Selamat jalan, Chen Yuan, semoga kau bahagia di sana." Chen Yuan terjatuh seperti kayu lapuk, nyawa terlepas meninggalkan raganya. Sebagian anak buah dan koleganya telah melarikan diri menyelamatkan diri masing-masing. Calvin berdiri di antara aroma darah dan bau mesiu, menatap lurus ke arah samudra luas. Walau wajah kelihatan lelah, namun nafasnya tenang. Ia tahu dengan pasti setelah malam ini, berita tentang pembantaian berdarah di Bangkok akan menyebar ke seluruh dunia kriminal. Namun satu hal yang pasti - Nama Chen Yuan sebagai salah satu bos mafia sindikat besar di kawasan Asia telah hilang untuk selamanya. Ia berjalan pelan, langkahnya tenang seperti biasa, hujan turun rintik-rintik bersamaan hilangnya bayangan Calvin Law di antara lorong-lorong gelap kota, menjadi bayangan yang tak mampu di sentuh.Sekitar dua kilometer dari desa nelayan itu, empat kendaraan tanpa plat nomor diam diam melintasi jalan tanah yang sunyi, tanpa lampu menyala. Di dalamnya, delapan orang polisi khusus dari unit anti teror India tengah mempersiapkan penyergapan. Dua di antaranya adalah pembunuh bayaran berdarah dingin yang sudah menerima instruksi dari Alvaro."Target harus hidup hanya untuk beberapa menit interogasi. Setelah itu, pastikan mereka lenyap untuk selamanya."Komandan unit, pria bernama Inspektur Dinesh Verma, telah menerima laporan dari seorang informan anonim, bahwa buronan internasional yang terlibat pembunuhan dua warga India dan sebagai penyusupan perairan nasional, tengah bersembunyi di sebuah rumah panggung tua di ujung desa pesisir.Dines mengecek jam tangannya. 03.24 dinihari. Waktu ideal untuk membekuk target tanpa menarik perhatian warga desa."Jangan bersuara. Gunakan peluru senyap. Tangkap mereka hidup-hidup jika bisa. Tapi kalau melawan..." Dinesh mengisyaratkan lehernya deng
Langit pagi di desa nelayan itu seakan selalu lebih lembut bahkan lebih dari yang lain. Kabut tipis masih menggantung di atas laut, dan bau asin yang bercampur aroma kayu bakar menyambut setiap langkah. Rumah rumah berdinding bambu dan beratap ilalang berdiri rapuh namun hangat, seperti masyarakatnya yang sederhana tapi penuh penerimaan. Valeri duduk di atas dermaga kayu kecil, kakinya menjuntai menyentuh air laut yang jernih. Wajahnya yang biasanya tegar tampak teduh, tersapu sinar matahari pagi. Di sampingnya, Badai memancing dalam diam, namun hatinya tidak tenang. Bukan karena ikan yang enggan datang, tapi karena dia tahu kedamaian ini bisa sewaktu waktu runtuh. Valeri berbicara pelan: "Badai....kalau hidup kita normal, mungkin pagi seperti ini seperti biasa ya. Tapi sekarang...rasanya seperti mimpi." Badai melirik sekilas: "Mimpi yang bisa runtuh kapan saja. Desa ini seperti jeda di antara dua peluru." Valeri tersenyum samar: "Tapi aku bahagia...kalau kamu ada di sisiku. Ba
Di tengah pelabuhan sepi yang hanya diisi suara debur ombak dan denting rantai kapal, Alfaro berdiri mengenakan mantel hitam panjang, wajahnya tersembunyi dalam bayang. Di hadapannya, seorang perwira polisi india berpangkat menengah dan dua pria bertubuh kekar, bertato, dengan mata seperti binatang pemburu.Dua orang itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah pembunuh bayaran yang dikenal dalam dunia hitam India selatan bernama Rajan dan Babu bersaudara, ahli dalam beladiri dan pembunuhan senyap.Alvaro berbicara dengan datar dan tenang dalam bahasa inggris:"Saya tidak bayar kalian untuk memastikan mereka hidup. Saya bayar kalian untuk memastikan....mereka mati. Kalau mereka sudah mati, bagus. Tapi kalau mereka masih bernapas....pastikan napas itu adalah yang terakhir."Babu, salah seorang dari pembunuh bayaran menyela:"Kami tidak membunuh anak anak atau wanita."Salah seorang pembunuh bayaran yang bernama Rajan ikut menyela sambil tertawa dingin. "Kecuali bayarannya bagus. Dan kam
Di balik dinding kaca vila yang megah dan taman tropis yang sempurna, Mellisa duduk sendiri di ruang kerja pribadinya. Senyap. Laptop tertutup. Telepon genggamnya tak berhenti bergetar. Pesan dari media, pengacara, bahkan wartawan luar negeri. Tangannya gemetar, tapi bukan karena takut. Karena marah. Karena bingung. Karena luka. Langit sore ubud berwarna tembaga, tapi hatinya abu abu. Mellisa berjalan pelan ke jendela besar yang menghadap kolam datar. Tapi pikirannya bukan di sana. Pikirannya kembali pada malam terakhir ia melihat Valeri sebelum putrinya itu berangkat liburan ke Raja Ampat. Dua minggu yang lalu. Saat mereka bertengkar karena Alvaro. Mellisa duduk kembali di kursi rotan antik warisan keluarganya. Ia membuka album Valeri lama. Tawa penuh cahaya. "Anakku tak mungkin pembunuh." Air mata jatuh. Bukan karena lemah. Tapi karena seorang ibu yang merasa kehilangan dan percaya pada suara hatinya sendiri. ***** Mellisa mengenakan gaun krem elegan dan mantel tipis.
Nelayan itu tak banyak bicara. Ia memberi mereka air minum dari botol usang dan sepotong roti kering, lalu menatap ke arah cakrawala, memastikan arah pulang. Diwajah tuanya terpahat ketenangan dan kebijaksanaan hidup yang panjang di lautan. Badai sempat bertanya namanya, tapi si nelayan hanya tersenyum samar, lalu menggeleng pelan, seolah mengatakan: namaku tak penting, yang penting kalian selamat. Sesampainya di sebuah desa nelayan kecil di pesisir india, Valeri dan Badai disambut oleh warga dengan tangan terbuka. Meski tempat itu sederhana, mereka diberi tempat untuk beristirahat, makanan hangat, dan pakaian bersih. Badai dan Valeri berterima kasih dalam diam pada kehidupan dan pada si nelayan tua yang menyelamatkan mereka tanpa meminta imbalan. Dalam remang cahaya lampu minyak, Badai duduk memandangi api kecil dari perapian buatan. Valeri mendekat, menyelimuti bahunya dengan selimut yang mereka bagi berdua. "Aku hampir tidak percaya dengan kejadian ini, dari terombang ambing d
Valeri dan Badai berdiri di bibir atap. Napas mereka memburu. Darah dan air hujan bercampur di wajah mereka. Laut mengamuk dibawah, gelap dan ganas. Tapi sebelum mereka melompat. ""Whoop whoop whoop...!!!" Sebuah helikopter tempur muncul dari balik badai! Lampu sorotnya menyorot wajah mereka. Suara bilahnya menampar udara seperti palu perang. Pintu heli terbuka. Empat pria bersenjata laras panjang mengarahkan senapan ke arah mereka. Pilot Heli berteriak melalui pengeras suara: "Letakkan diri anda!," angkat tangan!," kalian di kepung!" Valeri memicingkan mata melawan cahaya. Dari belakang, langkah kaki para penjaga menara mulai mendekat. Tangga bergetar. Mereka benar benar terjepit: Langit dan laut bersatu menjadi perangkap maut. Valeri berbisik kepada Badai: "Kalau kita bertahan di sini," kamu pasti ngerti apa yang akan terjadi." Badai menatap ke bawah dan kembali memandang Valeri. "Tapi setidaknya kalau kita melompat bersama, kita belum tahu apa yang akan terjadi n







