"Ini siapa, Mbak? Temen Mbak Mayang?" tanyanya pada Ibu mertua sembari memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sampai dia lupa menyalamiku.
"Oh, itu...anu....""Saya istrinya Bang Ridwan, Bu," sahutku cepat memotong kata-kata Ibu yang sepertinya ragu-ragu mengenalkan diriku sebagai menantunya."Istrinya Ridwan!?" ucapnya kaget, lalu menunduk ke dekat telinga Bang Ridwan."Gak salah pilih istri, Wan? Masak model begitu, seleramu?" bisiknya, namun masih dapat kudengar."Kamu kerja di mana?" tanyanya lagi padaku."Gak kerja, Bu," jawabku singkat."Bude, saya budenya Ridwan," sambarnya lekas."Iya, Bude. Saya di rumah aja, gak kerja." Aku berkata sembari tersenyum simpul."Walah, gak kerja? Sini, Bude bilangin ya! Kalau kita cuma ngarep gaji suami, sebagai perempuan harus pinter-pinter merawat diri. Lihat Bude, sudah tua begini, bobot tubuh masih ideal, wajah harus glowing, penampilan harus selalu paripurna di mana pun dan kapan pun. Jangan sampai, suami kita melirik cewek lain yang tampilannya lebih memukau. Hampir saja tadi Bude manggil kamu, Ibu, karena kamu kayak ibu-ibu. Maaf loh, ya. Bude pikir kamu temennya Mbak Mayang."Bude Bang Ridwan tertawa cekikikan. Aku tertunduk diam sembari tersenyum getir. Sudah sering aku menerima kata-kata hinaan seperti itu dari ibu dan ibu-ibu di warung Bu Susi, dekat rumah kami. Namun, tak pernah aku hiraukan. Beda kali ini, rasanya kok sampai ke ulu hati. Nyeri. Apa sejelek itu kah penampilanku?Mimik wajah Bang Ridwan berubah. Dia menarik napas dalam lalu mengeluarkannya dengan kasar seraya mengerling dengan kesal ke arahku. Apa dia setuju dengan pendapat budenya barusan, ya?"Sudah ya, Bude tinggal dulu, banyak tamu yang belum disalami. Oh, ya, kalau mau makan, ambil sendiri, ya! Tapi jangan banyak-banyak! Dijaga makannya, jangan sampai tambah lemaknya," ucapnya sedikit pelan di telingaku. Lalu beliau pergi untuk menemui tamu-tamu lainnya.Perkataan Bude terus terngiang di telingaku. Aku jadi salah tingkah. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, sepertinya orang-orang di sini juga memperhatikan penampilan dan mengejekku. Aku jadi merasa tak percaya diri. Rasanya ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini."Ayo, cepat makan! Setelah itu kita pulang!" Bang Ridwan bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menuju meja prasmanan, tanpa memperdulikan aku.Aku menatap nanar punggung Bang Ridwan yang berubah jadi jutek dan acuh. Sepertinya Bang Ridwan termakan oleh kata-kata Bud nya tadi. Aku harus bagaiman? Mau pulang sendiri, aku tidak tahu jalannya. Bertahan di sini, kok, rasanya tidak enak sekali. Aku harus menguatkan hati untuk beberapa waktu, di sini."Ayo, Ris, ambil makananmu!" seru Ibu membuatku kaget karena aku masih menatap nanar Bang Ridwan, sikapnya jadi sedikit berubah.Aku bangkit lalu mengikuti Ibu untuk mengambil makanan. Bang Ridwan sudah selesai mengambil makannya lalu kembali duduk di tempatnya semula. Dia jadi seperti orang asing yang tak mengenalku.Setelah mengambil sepiring nasi beserta lauk dan teman-temannya, aku kembali ke tempat dudukku tadi. Namun, langkahku terhenti ketika kulihat Bang Ridwan tengah berbincang dengan seorang wanita cantik, langsing dan, ya...memukau.Aku seperti pernah melihat wanita itu. Tapi, di mana, ya? Oh, iya, aku baru ingat. Sebelum menikah denganku Bang Ridwan sering memosting foto berdua dengan dia."Mantan pacar Bang Ridwan," gumamku.Mengingat ucapan Bude tadi, aku jadi enggan melangkahkan kakiku ke sana. Takut mendapatkan perlakuan yang sama dari wanita itu. Aku jadi minder.Bang Ridwan tampak akrab sekali dengannya. Senyum mengembang tak lepas dari bibir mereka saat berbicara. Tapi, kenapa perempuan itu ada di sini? Bukankah dia seharusnya sudah menikah, karena perjodohan, sesuai dengan status Bang Ridwan terakhir kali di wall pribadinya. Dia galau karena kekasihnya dijodohkan dengan orang lain. Dimana suaminya?"Ayo, Ris! Nunggu apa lagi? Kok malah jadi patung di sini?" teguran Ibu membuyarkan lamunanku."Iy—iya, Bu." Aku berjalan membuntuti Ibu dari belakang."Eh...ada Nak Gita. Apa kabar?" Ibu menegur wanita yang duduk di tempat aku duduk tadi, di sebelah Bang Ridwan."Baik, Tante. Tante apa kabar? Makin cantik aja, nih, Tante Mayang." Dia menyalami Ibu seraya bercipika cipiki ria."Duduk, Ris! Dari tadi kok jadi patung terus." titah Ibu membuatku gugup dan salah tingkah. Aku duduk di sebelah Ibu."Oh, iya, Ris. Ini Gita, pacarnya Ridwan," ucap Ibu mertua mengenalkan wanita itu padaku. Aku jadi salah tingkah menghadapi wanita ini. Kenapa pula Ibu mengatakan kalau dia pacar Bang Ridwan. Maksudnya apa, coba? Mereka kan sudah putus."Mantan Tante. Jangan salah ngomong, dong. Takutnya istri Bang Ridwan dengar, kan jadi berabe urusannya." Gita tersenyum malu-malu. Nah benar, mantan pacar Bang Ridwan. Waduh, gawat. Aku jadi speechless di sini."Suamimu mana, Git? Gak ikut?" tanya Ibu lagi sembari menyendok nasi ke mulutnya. Tak adakah niat Ibu atau Bang Ridwan untuk mengatakan kalau aku ini istri Bang Ridwan? Aku hanya dapat ter"Suami? Gak ada, Tante. Aku batal kawin," sahut perempuan berkulit putih, dan berwajah oval itu dengan senyum merekah."Loh, kenapa?" tanya Bang Ridwan sepertinya sangat penasaran. Aku mengerling tajam ke arahnya, tapi, Bang Ridwan sepertinya pura-pura tak tahu."Waktu itu, Papa ngasih pilihan ke aku. Aku boleh menolak pernodohan itu kalau aku mau melanjutkan pendidikan S2 ku. Ya, aku pilih lanjut S2 lah, sambil berharap dapat melanjutkan hubungan dengan Abang. Tapi...ternyata Abang menikah dengan wanita lain. Pupus deh harapanku untuk menikah dengan Abang.""Uhuk! Uhuk!" Aku tersedak saat meneguk air minum. Kata-kata perempuan itu seperti menusuk-nusuk hatiku. Sabar...sabar, Ris!"Minum aja sampai batuk, Ris...Ris," gerutu Ibu sembari mengerling tajam ke arahku."Oh, ya! Ini siapa, Tan? Dari tadi belum kenalan," ucap Gita, seraya tersenyum padaku. ""Oh, ini Risa. Tetangga Tante, sering bantu-bantu di rumah!"Deg!Dadaku bergemuruh hebat. Seketika mataku memanas. Hampir saja bulir bening itu menetes di sudut mata. Cepat kutahan karena aku tak ingin menangis di depan mantan pacar suamiku. Bisa besar kepala dia nanti.Apa sebenarnya maksud ibu mertuaku? Mengapa dia mengenalkanku sebagai orang lain? Dan mengapa Bang Ridwan diam saja, sama sekali tak membelaku? Apa dia juga malu mengenalkanku sebagai istri kepada mantan pacarnya itu? Baiklah, akan kucari tau apa tujuan mereka. Kalau mereka ingin bermain-main denganku, akan kuikuti permainan mereka.Bersambung ya...Setelah menjalani kehidupan di panti, mereka diajarkan tentang kesopanan dan hal-hal baik lainnya. Makanya mereka sudah terbiasa jika dengan ketertiban.Setelah mendapatkan paper bag masing-masing, anak-anak panti kembali duduk ketempat semula. "Udah, Wi, silakan dilanjutkan," ujarku pada Tiwi setelah aku selesai membagikan souvenir yang sengaja kupesan beberaa hari yang lalu. "Oke, Mbak," sahut Tiwi singkat."Tama, duduk di sini, Nak," ujar Bang Ardi memanggil Tama agar duduk di kursi yang telah disediakan. Sedangkan Adinka duduk dipangku oleh Bang Ridwan.Tiwi meminta MC yang tak lain adalah temannya sendiri untuk memandu jalannya acara. Dimulai dengan pembacaan doa oleh seorang ustadz yang biasa memberi ceramah di panti. lalu, acara dilanjutkan dengan ucapan syukur dan terima kasih yang disampaikan oleh Bang Ridwan. Lagi dan lagi kalimat itu keluar dari mulut Bang Ridwan. Kalimat yang berisi ucapan terima kasih yang tulus, yang ditujuakn untukku dan Bang Ardi karena telah membe
POV RISADua tahun kemudian.Aku sedang menemani anak-anak menonton tayangan film kartun di televisi sembari menantikan Tama dan Mayra pulang dari sekolah. Mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.Tama dan Mayra bersekolah di sekolah yang sama, agar mereka dapat saling melindungi dan bahu membahu sebagai satu keluarga. Aku tidak pernah membeda-bedakan dalam memperlakukan mereka, walaupun Mayra dan Farel bukan anak kandungku. Tapi, mereka adalah amanah yang dititipkan Gita kepadaku. Aku tak bisa menyia-nyiakan mereka. Perlakuan buruk yang pernah Gita lakukan kepadaku, tak serta merta membuatku membenci kedua anaknya. Bagiku, masa lalu hanyalah masa lalu, kita tak perlu mengungkit kenangan buruk yang ada di sana karena itu akan menyakiti diri kita sendiri. Jadikan semua kejadian di masa lalu sebagai pelajaran, pasti ada hikmah dibalik sebuah cobaan yang kita hadapi. Contohnya aku, karena Gita merebut suamiku akhirnya aku dipertemukan dengan laki-laki yang jauh lebih baik,
"Tunggu dulu! Jadi Tama sudah tau kalau Bang Ridwan, Papa kandungnya?" tanyaku dengan wajah penasaran."Iya, Wi. Sebelum berangkat ke sini, Risa sudah mengatakan semuanya kepada Tama. Tama memang anak yang baik, dia tidak marah sedikit pun baik kepada Risa maupun Ridwan. Dia dapat memahami keadaan yang sudah terjadi dan memaafkan kedua orang tuanya.""Sykurlah, akhirnya mimpi Bang Ridwan jadi kenyataan. Semua ini berkat kebaikan Bang Ardi dan Mbak Risa. Lagi-lagi kalian menjadi pahlawan di keluarga kami. Entah dengan apa kami membalas kebaikan kalian. Demi Bang Ridwan, Kalian meninggalkan acara yang sudah digelar dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit," ujarku terharu."Demi Tama, apa pun akan aku lakukan, jangankan uang, nyawaku pun akan kupertaruhkan. Aku takut, kalau Tama tak sempat bertemu dengan ayah kandungnya. Makanya, aku segera mengantarnya ke sini. Dan ternyata, Allah berkehendak, kalau kehadiran Tama merupakan berkah untuk ayahnya, Ridwan bisa sadar dari koma.""Abang be
Tampak wajah mereka sangat serius ketika berbicara. Setelah dokter itu pergi, wanita itu kembali menangis. Kak Suci ikut menenangkannya.Satu jam sudah kami menunggu di tempat ini. Tidak ada yang buka suara untuk sekedar ngobrol. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, ada dokter dan perawat yang berjalan tergopoh masuk ke dalam ruangan. Napasku jadi terasa sesak. Hatiku bertanya-tanya, ada apa di dalam. Kami tak dapat lagi melihat ke dalam karena jendela kacanya sudah tertutup tirai.Tak lama, seorang perawat keluar dan memanggil keluarga Pak Hasan, suami wanita yang sejak tadi bersamaku. Aku lega, tapi, kasihan juga melihat wanita itu. Suaminya kritis di dalam sana. Dia terduduk lemas di lantai sembari menangis tersedu-sedu. Dalam waktu tiga puluh menit, seorang doter keluar dari ruangan dengan wajah sedih."Bagamana suami saya, Dok?" tanya wanita itu."Anda istri Bapk Hasan?' tanya dokteritu balik. waita itu mengangguk, mengiyakan."Mohon Maaf, Bu. Kami gagal menyelama
Aku masuk ke dalam ruangan tempat Bang Ridwan dirawat, setelah mendapat izin dari dokter. Aku berdiri di samping brankar tempatnya berbaring sembari mengusap lembut wajah suamiku. Satu kecupan lembut kuberikan di keningnya sembari berbisik, "Bangunlah Bang, calon bayi kita merindukan suaramu."Seketika air mata menetes di sudut mata ini. Cepat-cepat aku menyapunya agar tak jatuh menimpa wajah Bang Ridwan. Aku tak mau dia melihat aku menangis.Kulantunkan ayat-ayat Alquran di telinganya. Aku yakin, walaupun dia tidak sadar, dia dapat merasakan kehadiranku di sini.Setelah selesai kubaca surat Alfatihah di telinganya, sudut matanya meneteskan air mata. "Abang bisa dengar Tiwi, Bang? Buka mata Bang, kami merindukanmu. Abang harus kuat, Kami selalu mendoakan, Abang. Cepatlah sadar, Bang!" ujarku mencoba membangunkan Bang Ridwan.Kuraih tangan Bang Ridwan, lalu menempelkannya ke perutku. Calon bayi di perut ini pasti merindukan hal ini. Biasanya seusai salat Subuh, Bang Ridwan selalu meng
Sudah pukul lima subuh, aku baru saja selesai melaksanakan sala Subuh di Mushollah. "Bu, Ibu mertua dan Kakak ipar saya sudah datang. Jadi, bukan berniat mengusir. Bu Hindun kelihatan lelah sekali. Ibu pulang saja, ya. Ibu tidak perlu khawatir, sudah ada yang menemani saya di sini," ujarku pada wanita yang telah menemaniku menjaga Bang Ridwan sejak kemarin."Ya, sudah kalau begitu. Saya akan pulang, nanti sore saya kembali lagi membawakan pakaian ganti untuk Bu Tiwi. Pasti gerah kan, sejak kemarin belum ganti baju," sahut Bu Hindun. "Saya tidak enak, jadi merepotkan Ibu.""Tidak, Bu, saya tidak merasa direpotkan. Saya permisi ya, Bu." Aku memberikan uang kertas berwarna merah sebanyak dua lembar kepadanya, untuk ongkos taxi dan pegangan di jalan. Irfan, sudah pulang sejak kemarin, karena ada yang ingin menyewa mobilnya.Aku kembali ke ruangan Bang Ridwan. Kak Suci dan Ibu masih tertidur di kursi, di depan ruangan. Dengan hati-hati aku membangunkan mereka agar salat Subuh. Mereka se
Dengan usaha yang gigih, akhirnya anak itu datang ke acara pernikahan kami bersama ibunya, mantan istri Bang Ridwan yang dulu dia buang demi seorang wanita bernam Gita. Wanita itu sangat cantik dan anggun, Mbak Risa namanya. Setelah mendapatkan maaf dan restu darinya, Bang Ridwan merasa lega dan siap menghadapi masa depan bersamaku. Tujuh tahun sudah kami berumah tangga. Baru sekarang Allah menitipkan seorang anak di rahimku. Baru saja kami merasa bahagia akan menyambut kelahiran anak pertama kami. Namun, Bang Ridwan mengalami kecelakaan seperti ini. Akankah kebahaiaan itu harus terenggut sekarang? Tak adakah kesempatan untuk Bang Ridwan melihat wajah anaknya? entahlah, dadaku semakin sesak setiap memikirkan hal ini. Ya, Allah, izinkan anakku bertemu dengan ayahnya, digendong ayahnya, tumbuh dan berkembang dibawah asuhan ayahnya. Cukuplah Tama yang merasakan kehilangan ayah kandungnya sejak kecil. Aku tahu, Bang Ridwan sangat bersalah kepada Tama. Ampuni dia ya, Allah! Izinkan dia
Malam sudah menjelma. Namun, Bang Ridwan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadarkan diri. Aku semakin cemas melihat kondisinya. Sejak tadi aku belum menelan nasi sedikit pun. Entahlah, rasanya aku tak ingin meninggalkan Bang Ridwan barang sedetik pun. Kami berada di ruang tunggu dekat dengan ruang ICU. Tak seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam sana tanpa seizin dokter. Aku hanya bisa melihat suamiku dari jendela kaca. "Bu Tiwi, makan dulu, Bu! Sejak tadi siang Ibu belum makan apa pun. Kasian calon bayi Ibu. Pikirkan dia, Bu! Jangan sampai dia kenapa-kenapa." Bu Hindun yang baru datang membawa nasi bungkus berkata memelas."Tapi, saya tidak selera makan sebelum melihat Bang Ridwan sadar, Bu," sahutku lirih. "Pikirkan calon bayi Ibu! Pak Ridwan pasti juga tidak ingin calon bayinya kenapa-kenapa. Makanlah, Bu, sedikit saja!" ujarnya lagi sembari membuka nasi bungkus untukku.Benar kata Bu Hindun. Aku tidak boleh egois. Calon bayiku tidak harus ikut tersiksa karena kesedihanku
POV TIWIAku dan Bu Hindun mempercepat langkah agar cepat sampai ke ruangan itu. Begitu aku sampai di depan ruangan tempat Bang Ridwan diobati, seorang wanita datamg menghampiri."Anda Ibu Tiwi?" tanyanya. Aku mengangguk."Saya yang menelepon tadi. Ayo ikut saya, kita harus segera menemui dokter. Ibu harus segera menandatangani surat persetujuan dilakukanya operasi pada suami Ibu. Ada pembekuan darah di kepalanya, dan harus segera dioperasi."Aku mengikuti wanita itu menuju salah satu ruangan di rumah sakit ini. Setelah menandatangani surat persetujuan itu, Para perawat langsung memindahkan Bang Ridwan ke ruang operasi. Operasi terhadap Bang Ridwan segera dilakukan.Diluar ruang operasi aku menunggu dengan cemas. Mulutku serasa terkunci, aku tak mampu berbicara apa pun selama Bang Ridwan masih di dalam sana. Wanita yang meneleponku tadi juga masih di sini bersama suaminya. Aku belum sempat bertanya apa-apa pada mereka. Nanti sajalah, setelah operasinya selesai, pikirku. Sekitar sat