Share

Bab 2. Tak Diakui Sebagai Menantu

"Ini siapa, Mbak? Temen Mbak Mayang?" tanyanya pada Ibu mertua sembari memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sampai dia lupa menyalamiku.

"Oh, itu...anu...."

"Saya istrinya Bang Ridwan, Bu," sahutku cepat memotong kata-kata Ibu yang sepertinya ragu-ragu mengenalkan diriku sebagai menantunya.

"Istrinya Ridwan!?" ucapnya kaget, lalu menunduk ke dekat telinga Bang Ridwan.

"Gak salah pilih istri, Wan? Masak model begitu, seleramu?" bisiknya, namun masih dapat kudengar.

"Kamu kerja di mana?" tanyanya lagi padaku.

"Gak kerja, Bu," jawabku singkat.

"Bude, saya budenya Ridwan," sambarnya lekas.

"Iya, Bude. Saya di rumah aja, gak kerja." Aku berkata sembari tersenyum simpul.

"Walah, gak kerja? Sini, Bude bilangin ya! Kalau kita cuma ngarep gaji suami, sebagai perempuan harus pinter-pinter merawat diri. Lihat Bude, sudah tua begini, bobot tubuh masih ideal, wajah harus glowing, penampilan harus selalu paripurna di mana pun dan kapan pun. Jangan sampai, suami kita melirik cewek lain yang tampilannya lebih memukau. Hampir saja tadi Bude manggil kamu, Ibu, karena kamu kayak ibu-ibu. Maaf loh, ya. Bude pikir kamu temennya Mbak Mayang."

Bude Bang Ridwan tertawa cekikikan. Aku tertunduk diam sembari tersenyum getir. Sudah sering aku menerima kata-kata hinaan seperti itu dari ibu dan ibu-ibu di warung Bu Susi, dekat rumah kami. Namun, tak pernah aku hiraukan. Beda kali ini, rasanya kok sampai ke ulu hati. Nyeri. Apa sejelek itu kah penampilanku?

Mimik wajah Bang Ridwan berubah. Dia menarik napas dalam lalu mengeluarkannya dengan kasar seraya mengerling dengan kesal ke arahku. Apa dia setuju dengan pendapat budenya barusan, ya?

"Sudah ya, Bude tinggal dulu, banyak tamu yang belum disalami. Oh, ya, kalau mau makan, ambil sendiri, ya! Tapi jangan banyak-banyak! Dijaga makannya, jangan sampai tambah lemaknya," ucapnya sedikit pelan di telingaku. Lalu beliau pergi untuk menemui tamu-tamu lainnya.

Perkataan Bude terus terngiang di telingaku. Aku jadi salah tingkah. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, sepertinya orang-orang di sini juga memperhatikan penampilan dan mengejekku. Aku jadi merasa tak percaya diri. Rasanya ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini.

"Ayo, cepat makan! Setelah itu kita pulang!" Bang Ridwan bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menuju meja prasmanan, tanpa memperdulikan aku.

Aku menatap nanar punggung Bang Ridwan yang berubah jadi jutek dan acuh. Sepertinya Bang Ridwan termakan oleh kata-kata Bud nya tadi. Aku harus bagaiman? Mau pulang sendiri, aku tidak tahu jalannya. Bertahan di sini, kok, rasanya tidak enak sekali. Aku harus menguatkan hati untuk beberapa waktu, di sini.

"Ayo, Ris, ambil makananmu!" seru Ibu membuatku kaget karena aku masih menatap nanar Bang Ridwan, sikapnya jadi sedikit berubah.

Aku bangkit lalu mengikuti Ibu untuk mengambil makanan. Bang Ridwan sudah selesai mengambil makannya lalu kembali duduk di tempatnya semula. Dia jadi seperti orang asing yang tak mengenalku.

Setelah mengambil sepiring nasi beserta lauk dan teman-temannya, aku kembali ke tempat dudukku tadi. Namun, langkahku terhenti ketika kulihat Bang Ridwan tengah berbincang dengan seorang wanita cantik, langsing dan, ya...memukau.

Aku seperti pernah melihat wanita itu. Tapi, di mana, ya? Oh, iya, aku baru ingat. Sebelum menikah denganku Bang Ridwan sering memosting foto berdua dengan dia.

"Mantan pacar Bang Ridwan," gumamku.

Mengingat ucapan Bude tadi, aku jadi enggan melangkahkan kakiku ke sana. Takut mendapatkan perlakuan yang sama dari wanita itu. Aku jadi minder.

Bang Ridwan tampak akrab sekali dengannya. Senyum mengembang tak lepas dari bibir mereka saat berbicara. Tapi, kenapa perempuan itu ada di sini? Bukankah dia seharusnya sudah menikah, karena perjodohan, sesuai dengan status Bang Ridwan terakhir kali di wall pribadinya. Dia galau karena kekasihnya dijodohkan dengan orang lain. Dimana suaminya?

"Ayo, Ris! Nunggu apa lagi? Kok malah jadi patung di sini?" teguran Ibu membuyarkan lamunanku.

"Iy—iya, Bu." Aku berjalan membuntuti Ibu dari belakang.

"Eh...ada Nak Gita. Apa kabar?" Ibu menegur wanita yang duduk di tempat aku duduk tadi, di sebelah Bang Ridwan.

"Baik, Tante. Tante apa kabar? Makin cantik aja, nih, Tante Mayang." Dia menyalami Ibu seraya bercipika cipiki ria.

"Duduk, Ris! Dari tadi kok jadi patung terus." titah Ibu membuatku gugup dan salah tingkah. Aku duduk di sebelah Ibu.

"Oh, iya, Ris. Ini Gita, pacarnya Ridwan," ucap Ibu mertua mengenalkan wanita itu padaku. Aku jadi salah tingkah menghadapi wanita ini. Kenapa pula Ibu mengatakan kalau dia pacar Bang Ridwan. Maksudnya apa, coba? Mereka kan sudah putus.

"Mantan Tante. Jangan salah ngomong, dong. Takutnya istri Bang Ridwan dengar, kan jadi berabe urusannya." Gita tersenyum malu-malu. Nah benar, mantan pacar Bang Ridwan. Waduh, gawat. Aku jadi speechless di sini.

"Suamimu mana, Git? Gak ikut?" tanya Ibu lagi sembari menyendok nasi ke mulutnya. Tak adakah niat Ibu atau Bang Ridwan untuk mengatakan kalau aku ini istri Bang Ridwan? Aku hanya dapat ter

"Suami? Gak ada, Tante. Aku batal kawin," sahut perempuan berkulit putih, dan berwajah oval itu dengan senyum merekah.

"Loh, kenapa?" tanya Bang Ridwan sepertinya sangat penasaran. Aku mengerling tajam ke arahnya, tapi, Bang Ridwan sepertinya pura-pura tak tahu.

"Waktu itu, Papa ngasih pilihan ke aku. Aku boleh menolak pernodohan itu kalau aku mau melanjutkan pendidikan S2 ku. Ya, aku pilih lanjut S2 lah, sambil berharap dapat melanjutkan hubungan dengan Abang. Tapi...ternyata Abang menikah dengan wanita lain. Pupus deh harapanku untuk menikah dengan Abang."

"Uhuk! Uhuk!" Aku tersedak saat meneguk air minum. Kata-kata perempuan itu seperti menusuk-nusuk hatiku. Sabar...sabar, Ris!

"Minum aja sampai batuk, Ris...Ris," gerutu Ibu sembari mengerling tajam ke arahku.

"Oh, ya! Ini siapa, Tan? Dari tadi belum kenalan," ucap Gita, seraya tersenyum padaku. "

"Oh, ini Risa. Tetangga Tante, sering bantu-bantu di rumah!"

Deg!

Dadaku bergemuruh hebat. Seketika mataku memanas. Hampir saja bulir bening itu menetes di sudut mata. Cepat kutahan karena aku tak ingin menangis di depan mantan pacar suamiku. Bisa besar kepala dia nanti.

Apa sebenarnya maksud ibu mertuaku? Mengapa dia mengenalkanku sebagai orang lain? Dan mengapa Bang Ridwan diam saja, sama sekali tak membelaku? Apa dia juga malu mengenalkanku sebagai istri kepada mantan pacarnya itu? Baiklah, akan kucari tau apa tujuan mereka. Kalau mereka ingin bermain-main denganku, akan kuikuti permainan mereka.

Bersambung ya...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status