"Dia ... selingkuhanmu, kan?" tuduh Zulfa dengan tatapan tajam dan mata merah usai menangis.
Rio membuang muka. Ia merasa malas berdebat tengah malam, khawatir jika ada tetangga yang lewat lalu mendengarnya. Orang yang tidak menyukainya akan menyebarkan gosip yang tidak-tidak jika perdebatannya dengan Zulfa didengar.
"Jangan menuduhku selingkuh. Aku tak akan pernah melakukan itu padamu!" jawab Rio dengan tegas dan penuh penekanan.
"Jangan bohong, Mas! Aku merasa selama beberapa hari ini sikapmu berubah! Kamu berangkat sebelum aku bangun, terus aku sudah lelah memasak malah kamu nggak makan sedikit pun! Menoleh pun tidak! Apa kamu tau gimana rasanya, Maaass?" Zulfa meraung sambil menepuk-nepuk dadanya. Mengungkapkan amarah dan sesak dalam dadanya.
Rio bergeming. Ia hanya menatap istrinya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Sejujurnya ia iba, namun ia tak bisa apa-apa.
"Lalu, sekarang ... kenapa rambutmu basah? Kamu nggak pernah loh mandi tengah malam," selidik Zulfa dengan tatapan menyipit.
"Em ... aku memang baru saja mandi. Kamu ... eh, aku nggak mungkin tidur seranjang denganmu dengan tubuh bau, kan?" jawab Rio dengan bercampur kekehan.
Zulfa berdecih, menurutnya jawaban Rio tak masuk akal. Mengapa Rio sangat peduli dengan wangi tubuhnya, padahal ketika kentut saja tak tahu tempat.
Ia juga ingin bertanya juga perihal lingerie merah yang ditemukannya dalam koper. Namun, ia urungkan. Siapa tahu, Zulfa akan menemukan siapa wanita yang akan menerima pakaian minim bahan seperti itu. Mungkin saja ... wanita yang pernah menelponnya.
"Sudahlah, Sayang ... jangan bicara yang tidak-tidak. Aku tidak akan mengkhianati kamu. Aku lelah sekali .. jangan marah, ya," bujuk Rio. Kini, ia mencoba memeluk Zulfa. Namun, dengan sigap, Zulfa menepis tangan Rio dan meninggalkannya sendiri.
Zulfa telah merebahkan tubuhnya saat Rio masuk ke kamar mereka. Rio berganti pakaian dan ikut membaringkan tubuh di sebelah Zulfa.
"Maafkan aku, ya jika aku tidak pernah makan masakanmu beberapa hari ini," ucap Rio sambil menyentuh pipi Zulfa.
Zulfa yang semula terpejam, seketika membuka mata. "Iya. Lupakan saja," ucapnya cuek.
"Sungguh, aku tidak bermaksud menyakitimu." Rio berusaha bersikap manis.
"Hentikan, Mas ... Aku sudah memaafkanmu. Jangan mengulangi kalimat yang sama, aku bosen dengernya," ketus Zulfa.
Rio tersenyum, namun Zulfa malah muak melihatnya. Ia memutuskan membuang muka dan memejamkan mata.
"Sayang ... aku pengen ...," ujar Rio, ia meraba bagian sensitif Zulfa.
"Aku ngantuk!" ketus Zulfa sambil mengempaskan tangan Rio, lantas berbalik membelakangi Rio.
Rio mengusap wajahnya kasar. Mungkin, saat ini Zulfa benar-benar marah padanya. Malam ini, ia harus rela tidur tanpa mendapat jatah dari sang istri.
Sedangkan Zulfa, ia menahan tawa karena menolak ajakan Rio. Ia tahu jika hal itu salah, namun entah mengapa ia merasa enggan untuk melakukannya. Seperti ada sesuatu yang membuatnya jijik melakukan hubungan dengan Rio.
Mengingat rambut basah Rio, membuatnya berpikir jauh. Apakah dia baru saja mandi junub? Entahlah ...
Tak butuh waktu lama, Rio sudah terlelap menuju alam mimpi. Zulfa yang sedari tadi masih terjaga bangkit dan melirik nakas sebelah suaminya. Benda pipih yang selalu menyita waktu Rio itu teronggok di sana.
Dengan gerakan perlahan, Zulfa bangkit dan berjalan perlahan ke samping Rio untuk mengambil ponsel. Ia sampai menahan napas, takut jika Rio terbangun karena merasa ada pergerakan yang mencurigakan.
"Aku akan mendapatkan buktinya di sini!" ucap Zulfa dalam hati sambil mengotak-atik ponsel Rio di kursi sudut kamar.
Sesekali, matanya melirik ke arah Rio. Ia takut jika Rio tiba-tiba terbangun.
Tujuan utamanya adalah galeri foto. Dengan teliti, ia berselancar, turun ke bawah melihat satu persatu foto di sana. Tanpa terlewat. Kedua matanya tetap fokus, meski rasa kantuk kian hebat mendera.
Selang bebepa menit, ia membuang napas kesal. Zulfa harus menelan kekecewaan karena tak mendapati foto yang mencurigakan. Dalam galeri ponsel Rio, hanya ada fotonya dan juga foto Rio.
Apakah Rio sudah menghapusnya? Pertanyaan itu melintas dalam benaknya.
Ia kembali fokus pada ponsel Rio. Kini, ia beralih mencari bukti ke pesan w******p, massanger, ataupun i*******m. Dan hasilnya pun tetap sama. Ia tak menemukan hal ganjil dalam semua pesan-pesan Rio. Apa Rio sudah menghapusnya juga?
Zulfa memejamkan mata, lantas menarik napas panjang untuk mengusir rasa kesal yang semakin besar. Diletakkannya ponsel Rio ke tempat semula. Mungkin, ia harus mencari siasat lain untuk membongkar rahasia Rio.
Ketika kedua mata hendak terpejam sempurna, Zulfa mengingat satu hal. Nomor ponsel wanita itu. Ya, dia akan menyocokkan nomor ponsel wanita yang menelponnya dengan kontak di ponsel suaminya. Dengan begitu, ia akan membongkar satu rahasia Rio.
Zulfa melirik Rio yang masih terlelap. Tak menunggu lama, ia menyahut kembali ponsel Rio. Ia mencari nomor wanita itu di ponselnya dan mengetikkannya di ponsel Rio. Dan ternyata ...
Saat Zulfa menekan tombol panggil, tertera nama ... Azka.
Ia berdecih menutup panggilan telepon yang sudah tersambung. Ia lantas bangkit dan menatap Rio dengan penuh kekecewaan.
"Aku akan mencari tau semuanya. Lakukan saja apa yang bisa membuatmu senang," ujar Zulfa sambil meletakkan kembali ponsel milik Rio.
***
Zulfa bangun dengan kedua mata yang terasa berat, karena ia tidur saat pagi menjelang. Gegas ia membersihkan diri dan menyiapkan sarapan. Sedangkan, Rio. Pria itu masih meringkuk di atas ranjang.
Zulfa menatap sekilas ke arah Rio. Lantas, ia kembali melangkah keluar ke arah pintu.
Rio mengerjapkan mata perlahan-lahan saat mendengar suara penggorengan dari lantai bawah. Ia menyisir pandang ke samping dan seluruh ruangan. Ternyata, Zulfa sudah lebih dulu bangun.
Pagi ini ... ia kesiangan.
"Kenapa tidak membangunkan aku?" todong Rio sambil berjalan menuruni tangga. Kedua tangannya membenarkan letak krah kemejanya.
"Aku lihat kamu terlalu lelap. Biasanya, kalau kamu tidur sampai mendengkur begitu, kamu terlalu ... lelah karena terlalu puas bermain." Zulfa tersenyum sinis.
Rio tampak gelagapan.
"Maksud kamu apa, sih, Yang?"
"Memang aku salah, ya, Mas? Kan kamu pulangnya larut malam habis main sama temen-temenmu. Tentu kamu capek, dong," kata Zulfa melihat gelagat aneh dari wajah Rio.
Rio terkekeh. "Iya. Kamu memang istri pengertian. Aku capek memang habis ngabisin waktu sama temen-temen," ucapnya dengan senyum yang berbeda menurut Zulfa.
Jika biasanya Zulfa luluh dengan mendengar Rio melontarkan kalimat pujian. Sekarang, ia merasa ... muak. Jijik!
"Kamu sarapan dulu!" titah Zulfa tanpa menoleh. Ia sedang menyelesaikan tugasnya mencuci piring dan peralatan dapur yang baru ia gunakan.
Alis Rio saling bertaut. "Kamu gak sarapan juga?"
"Nanti saja. Aku masih harus menyelesaikan ini."
Suara gesekan piring dan panci membuat Rio tak bertanya lagi. Ia menyendok nasi dan lauk ke atas piringnya. Lalu, makan dalam diam seraya menatap Zulfa yang mendiamkannnya.
"Aku berangkat, ya. Jaga dirimu," ucap Rio. Ia mendekati Zulfa. Mengulurkan tangannya. Zulfa menyambut dan mencium tangannya tanpa ekspresi.
"Aku harap kamu nggak marah lagi," kata Rio sebelum berangkat.
"Iya," sahut Zulfa.
Untuk pertama kalinya, Zulfa tak mengantar Rio sampai ke pintu. Hatinya terlalu kecewa dengan sikap Rio. Bisa-bisanya, nomor seorang wanita diberi nama Azka dalam ponselnya.
Mengapa?
"Apa kamu takut jika aku mengecek ponselmu?!"
Aku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.
Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m
"Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m
Fikri mengernyit heran saat melihat Zulfa masih terbaring di tempat tidur. Tidak biasanya Zulfa bangun telat, bahkan sampai Fikri selesai sholat. Didekatinya istri tercintanya itu, kemudian menepuk-nepuk kedua pipinya."Egghh ...." Zulfa mengerang. Lalu, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya semakin terasa pening. Entah, mengapa rasanya perutnya mual."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Fikri dengan begitu lembut."Jam berapa ini?" Zulfa membalas dengan memberi tanya."Sudah hampir jam enam. Kamu sakit? Tumben sampai siang begini?" Fikri merasa khawatir.Zulfa berusaha bangkit. Ia melihat sekelilingnya seperti berputar. "Kepalaku pusing, Mas," lirinya sambil memegangi kepala.Fikri menempelkan tangannya di kening dan pipi Zulfa. Normal. Tidak ada tanda-tanda demam."Kamu mungkin k
Sesuai kesepakatan dengan Dokter Diana. Rio kini sudah berada di rumah sakit Melati. Ia sudah mengambil nomor antrian dan mengisi data diri. Sepanjang menunggu namanya dipanggil, tak henti-hentinya ia komat-kamit, merapal doa agar hasilnya sesuai dengan keinginannya.Tak berselang lama, namanya dipanggil. Rio segera bangkit dan menemui Dokter Diana. Wanita berjas putih itu menatap Rio, sesekali, melihat berkas-berkas di mejanya."Cepat sekali kau datang," celetuknya."Sudahlah, jangan basa-basi. Cepat segera periksa aku," sahut Rio.Dokter Diana mengangguk. Ia menjelaskan beberapa tahap pemeriksaan kepada Rio. Rio mendengarkan setiap kalimat Dokter Diana, meski ia tidak mengerti maksudnya."Jadi gini, langkah pertama untuk pemeriksaan adalah analisis sperma, gunanya untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan s
"Mas, aku mau jualan lagi, ya?" Zulfa membuka obrolan pagi saat mereka sedang berdua di meja makan. Menikmati sarapan dengan sayur dan telur dadar, serta ditemani oleh dua cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul."Jualan masakan?" sahut Fikri sambil mengernyitkan dahi.Zulfa mengangguk. Ia bosan melakukan aktivitas di rumah yang cuma itu-itu saja. Apalagi ia merasa kesepian, karena di rumah sebesar itu, hanya dia dan Fikri saja yang tinggal. Jika Fikri pergi bekerja, maka Zulfa hanya sendirian."Kenapa?" Fikri menghampiri sang istri. Menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Dibelainya kepala Zulfa dengan penuh kasih."Aku ... bosan," cicit Zulfa. Fikri mengangguk. Ia pun paham bahwa istri tercintanya itu sering kesepian."Jangan jualan. Nanti kita ke rumah Ibu. Ngajak Ibu tinggal di sini biar kamu a