Share

Membuntuti Rio

"Kenapa nomor hape wanita itu kamu beri nama Azka? Kenapa?" 

Zulfa menatap kepergian suaminya. Entah pergi berkerja atau ... berselingkuh. 

Ia sudah menyiapkan rencana untuk hari ini. Dirogohnya hape dalam saku roknya, lantas menghubungi seseorang untuk bekerja sama menjalankan misinya.

"Aku tunggu. Berangkatlah sekarang!" titah Zulfa pada seseorang di seberang telepon.

Zulfa bergegas ke kamarnya untuk berganti baju. Ia memakai celana jeans, kecamata, dan juga topi. Rambut yang biasa ia ikat kini dibiarkan tergerai. 

Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Cukup berbeda. Tak akan ada orang yang tau jika itu dirinya. Zulfa tersenyum, merasa senang  karena sebentar lagi ia bisa membongkar kebusukan suaminya. Semoga saja!

Saat suara bel terdengar, Zulfa bergegas turun setelah mengenakan sweater merah yang telah lama tersimpan dalam lemari. Rio tak akan curiga, karena ia tak pernah teliti dengan baju yang dimiliki Zulfa.

"Cepat sekali!" seru Zulfa setelah mengetahui orang yang baru saja ditelponnya sudah berdiri di depan rumahnya.

"Tentu saja. Kalau bukan kamu yang minta aku nggak bakal mau," sahutnya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya.

Zulfa tertawa renyah. Sebenarnya, ia enggan meminta tolong pada pria di hadapannya. Karena selain sungkan, ia juga tak enak hati karena mereka pernah punya suatu hubungan masa lalu.

"Maaf, ya. Habis aku bingung mau minta tolong sama siapa," kata Zulfa seraya menggigit bibir bawahnya.

"Aku cuma bercanda. Naiklah, keburu kita nggak bisa mbuntutin suamimu itu!" ucapnya.

Zulfa mengangguk antusias. Setelah semua kondisi rumah dinyata aman, ia segera menutup pintu dan menguncinya. Lantas, mengikuti pria itu masuk ke dalam mobil.

"Pakai sabukmu!" Zulfa mengangguk.

Hening menyelimuti perjalanan mereka. Sesekali Zulfa melirik pria di samping dengan ekor matanya. 

"Kalau mau tanya-tanya, ngomong aja. Jangan main lirik-lirikan begitu. Ntar bintitan!" 

Zulfa melotot. "Ih, siapa juga yang ngelirik kamu?" 

Pria itu hanya terkekeh.

Zulfa memainkan jemarinya demi mengusir rasa gugup. "Ehmm ... makasih banget ya, Fik. Kamu memang teman yang baik," ucapnya, segan.

"Belum apa-apa kamu sudah terima kasih. Bagaimana nanti kalau misi kita berhasil?" kata pria yang dipanggil Fik itu. 

Namanya Fikri. Ia pria berusia tiga puluh tahun dan bekerja sebagai staff keuangan di salah satu kantor di pusat kota. Namun sayangnya ia belum menikah. Di saat semua orang bertanya alasannya, ia hanya menjawab bahwa ia belum menemukan orang yang tepat.

"Aku akan bayar kamu, deh," sahut Zulfa setelah sekian detik berlalu.

Fikri tertawa lebar mendengar jawaban Zulfa. Ia tidak menyangka bahwa Zulfa masih sama seperti dulu. Menjawab gegabah tanpa berpikir panjang.

"Bercanda, kok. Yang penting kamu bisa mengetahui apa yang disembunyikan suamimu itu sudah cukup membayarku."

Zulfa menoleh. Ditatapnya pria di sampingnya. Tiba-tiba debaran aneh timbul dalam dadanya. Perasaan itu kembali muncul. Setelah bertahun-tahun ia mencoba meredamnya.

"Kamu pasti masih tau bagaimana perasaanku ke padamu, kan?" Fikri bertanya tanpa menatap Zulfa. Ia masih fokus pada kemudi dan jalanan di hadapannya.

Zulfa bergeming. Ia tak suka dengan pembicaraan tersebut. 

"Dan sampai sekarang ... rasa itu masih sama ... untukmu," sambungnya dengan suara pelan.

Zulfa berpaling menatap jendela. Sejujurnya, ia tak bisa memahami Fikri. Mengapa bisa Fikri berkata demikian meski ia tahu bahwa Zulfa sudah menikah?

"Aku hanya ingin mengutarakan isi hatiku, Fa. Dengan begitu aku akan lebih tenang. Kamu jangan merasa canggung. Aku akan bersikap seperti biasa. Seperti teman. Seperti apa yang kamu ucapkan."

"Jangan mengatakan hal bodoh, Fik! Kamu seharusnya tidak merayuku setelah beberapa tahun yang lalu meninggalkanku."

Dahi Fikri mengernyit. "Maksudmu?" 

"Sudahlah, lupakan saja. Semua itu masa lalu," sahut Zulfa yang tak mau meneruskan pembicaraan.

Zulfa merasakan ada yang tertancap dalam hatinya, dan itu membuatnya merasa sakit. Ia dapat melihat wajah Fikri dari kaca spion. Fikri terlihat muram, seperti tak ada menahan perih yang begitu dalam.

'Kenapa jadi begini, sih?' batin Zulfa.

"Baiklah, kita fokus pada rencana semula. Semua masa lalu itu akan kita bahas nanti," ujar Fikri seolah memahami apa yang Zulfa pikirkan.

"Eh?" 

Fikri tertawa. "Kamu memang masih sama seperti dulu. Oh, ya mobil suamimu silver itu, kan?" 

Zulfa mengikuti arah telunjuk Fikri dan mengangguk. Memang itu adalah mobil Rio. Ia sudah hafal dengan nomor plat mobilnya.

"Ikuti saja kemana pun mobil itu jalan," ucap Zulfa. Kini, ia kembali fokus pada tujuan awal saat melihat mobil Rio sudah berada di depannya.

"Sebegitu curiga, ya kamu sama suamimu itu?" 

Zulfa mendesah pelan. "Iya, dan aku harus tahu kemana ia pergi sekarang. Aku ingin tahu, siapa wanita yang dinamai Azka dalam ponselnya. Dia pasti tahu aku akan mengecek ponselnya. Makanya dia menamai wanita itu dengan nama lelaki! Semua ini benar-benar membuatku muak!" ucapnya dengan dada kembang kempis. Ia menghantamkan kedua tangannya yang mengepal ke pahanya. Emosinya kembali memuncak.

Fikri hanya tersenyum mendengar ocehan Zulfa. Wanita itu benar-benar menarik perhatiannya. Sejak lama.

"Luapkan semua emosi dalam hatimu, Fa. Ada aku di sini yang mendengarnya. Jangan memendamnya sendiri. Akan sakit rasanya. Jika perlu menangis ... menangislah," ujar Fikri.

Rasa sesak dan kesal dalam hati Zulfa perlahan mereda. Pria yang memiliki mata tajam seperti elang itu selalu bisa membuatnya merasa nyaman. Bahkan, sekarang air mata Zulfa luruh tanpa aba-aba.

Sejak dulu, Zulfa selalu kuat saat berhadapan dengan siapa pun. Namun, saat bersama Fikri, ia bisa memperlihatkan sisi lemahnya sebagai wanita. Karena rasa nyaman dan tenang yang ia rasakan. Ia bisa menjadi dirinya sendiri.

Zulfa segera menghapus air matanya saat melihat mobil yang dikendarari Rio berbelok ke arah restoran cepat saji. "Ikuti dia!" ucapnya dengan tanpa sadar memegang lengan Fikri.

"Kita tunggu di sini dulu. Melihat perkembangan selanjutnya," kata Fikri setelah menepikan mobil kala Rio sudah turun dari mobilnya.

"Aku yakin, pasti dia janjian bertemu dengan perempuan itu!" desis Zulfa.

"Tunggu dulu. Jangan langsung menilai. Dari dulu kamu tidak berubah."

Zulfa menoleh cepat. "Maksudmu apa?" 

"Nggak papa. Aku salah karena bilang begitu. Kita harus menunggu sekitar lima belas menit. Setelah itu kamu masuk. Lihat siapa yang ditemui suamimu di dalam sana," jelas Fikri.

"Iya. Baiklah."

Mereka menunggu dalam diam. Zulfa sudah merasa lebih tenang setelah mengeluarkan isi hatinya melalui tangisan. Memalukan, tetapi juga melegakan.

"Masuklah sekarang!" ucap Fikri.

Zulfa mengangguk. Ia membenarkan poni rambutnya dan tak lupa mengenakan kacamata untuk menyamarkan wajahnya. Setelah dirasa cukup, ia keluar mobil.

"Aku pergi dulu," kata Zulfa lewat jendela mobil. Fikri menjawab dengan anggukan.

Zulfa melangkah dengan was-was. Takut jika ada orang yang menyapanya. Padahal di tempat itu tak ada orang yang mengenalnya.

Ketika kakinya melangkah masuk, ia disambut oleh alunan musik yang merdu. Untuk sesaat ia terbuai, mengingat kenangan saat datang ke restoran bersama Rio. Kenangan di saat Rio melamarnya dan mengajaknya mengarungi bahtera rumah tangga bersama-sama.

Namun ... itu dulu. 

Zulfa menyipitkan kedua matanya, agar pandangannya semakin jelas. Ia menyisir pandang ke setiap sudut restoran, mencari Rio dalam banyaknya orang yang berkumpul.

Ia berjalan pelan, siapa tahu ada yang terlewat hingga tak menemukannya. 

"Rio?" lirih Zulfa mendapati Rio sedang tertawa lebar bersama seorang wanita. Wanita itu begitu menarik dan cantik.

Saat hendak menghampiri, sebuah tangan kekar menariknya hingga ia terkejut.

"Mengapa kamu selalu gegabah, Fa? Setidaknya kamu harus mencari tahu siapa wanita itu," Fikri berucap dengan tangan yang tetap menggenggam tangan Zulfa.

"Ikuti aku. Kita harus menjalankan misi ini tanpa ada kata gagal!" Ditariknya tangan Zulfa. Mereka pu  duduk di belakang tempat duduk Rio.

Zulfa yang merasa was-was hanya menunduk. Ia takut jika Rio tahu dia di tempat yang sama, maka rencananya akan sia-sia. Apalagi posisi Zulfa dan Rio saling membelakangi.

"Aku akan memesan makanan," pamit Fikri.

Zulfa tak menjawab. Ia hanya fokus mendengarkan obrolan Rio dengan wanita itu.

"Rio, apa kamu masih mencintai Zulfa?"

Jantung seolah berhenti berdetak. Serta aliran darah yang berhenti mengalir, membuat Zulfa tiba-tiba merasa dingin kala mendengar namanya disebut.

"Entalah ... aku bingung."

"Bingung kenapa? Memangnya kamu nggak pengen punya anak?" Suara wanita itu begitu manja dan mendayu. Seperti dibuat-buat.

Tangan Zulfa mengepal erat.

"Aku ingin sekali, Amara. Tapi, nyatanya kami masih belum dikaruniai keturunan sampai sekarang."

Kedua mata Zulfa terpejam. Rahangnya kian mengeras. Diremasnya sweater yang ia kenakan.

"Aku siap, jika kamu menjadikan aku ... istri keduamu jika kamu tidak bisa menceraikannya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status