Memiliki seorang suami, namun hidup bagaikan seorang janda. Itulah yang Zulfa rasakan kini. Ia merasa bahwa ada jarak yang terbentang lebar di antara ia dan Rio.
"Sebenarnya kamu kenapa, Mas?" lirih Zulfa berucap. Ditatapnya wajah Rio yang terlihat tenang dalam dengkuran halusnya. Dadanya naik turun secara teratur, pertanda ia benar-benar terlelap. Mungkin, ia memang kelelahan.
Sesekali, senyum di bibir Rio terukir seolah ia tengah memimpikan hal yang bahagia. Wajahnya begitu tampan. Hal yang membuat Zulfa takut jika ketampanan yang dimiliki suaminya itu akan menjadi bumerang untuknya.
Mungkin, sekarang.
'Apa kamu sedang memimpikanku, Mas?' batin Zulfa bertanya sendiri. Pikiran negatif selalu melintas dalam kepalanya. Apakah sekarang ia tengah terbuai mimpi sedang bersama wanita lain?
Entahlah, ia hanya bisa menebak-nebak.
Ia teringat tentang pesan-pesan sang Ibu. Agar tak menjadi wanita yang lemah ketika berhadapan dengan suami.
"Jika kamu merasa benar, teruskanlah! Jangan takut. Ibu tidak mau melihat kamu menjadi wanita lemah!" tutur Bu Umi sore tadi sebelum beranjak pulang.
Zulfa termenung kembali. Sepanjang menjalani rumah tangga dengan Rio, tak sekali pun ia membahas tentang kehamilan Zulfa. Bersikap buruk pun tak pernah. Namun, kini ia bimbang. Apalagi mendapati sikap Rio yang kini seolah menjaga jarak dengannya.
Ia merebahkan diri, memandang langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu remang-remang di setiap sudut. Ingatannya berputar kembali pada waktu mereka baru menempati rumah ini. Begitu membahagiakan.
"Gimana, kamu suka rumahnya?" Rio merangkul Zulfa sambil memperlihatkan seluruh ruangan rumah berlantai dua dengan cat putih dan merah muda yang mendominasi. Rio baru membelinya sebagai kado untuk Zulfa karena bersedia menjadi istrinya.
"Suka sekali, Mas. Indah! Perpaduan warnanya pun sangat luar biasa. Aku suka," sahut Zulfa. Ia menghadiahi Rio dengan kecupan bertubi-tubi.
"Untuk penataannya, kamu urus sendiri, ya. Apa pun yang kamu inginkan bilang saja. Pokoknya, kamu harus betah tinggal di sini," kata Rio sambil mencium kening sang istri.
Zulfa tersenyum senang, menimbulkan lesung pipit di kedua pipinya terlihat dan membuatnya semakin cantik.
Zulfa ingat, bahwa semua dekorasi yang ada di rumah ini adalah atas kemauannya. Dulu, ia sangat nyaman. Akan tetapi, sekarang ia merasa asing dan ... dingin.
***
Zulfa terbangun dari tidurnya dan tak mendapati Rio di sampingnya. Ia bergegas bangun, melangkah ke jendela dan benar, mobil Rio sudah tidak ada.
Tempo hari, Rio pulang tanpa membawa mobil. Namun, semalam ia pulang dengan menaiki mobil itu. Sepertinya tak ada perubahan dalam mobil itu. Dan entah mengapa ia masih merasa ada yang janggal. Tapi ... entahlah, ia tak memahami apa yang tengah terjadi dalam ketidak tahuannya.
Zulfa terkekeh pelan, menertawakan dirinya sendiri. Memikirkan semua ini, bisa membuatnya depresi. Menurutnya, Rio sekarang sudah benar-benar keterlaluan. Malam ini, ia akan memutuskan untuk menuntut penjelasan kepada Rio.
"Awas kamu, Mas!" geram Zulfa. Ia bergegas membersihkan diri dan membersihkan seluruh rumah.
Suara dering ponsel menghentikan Zulfa yang kini tengah bersantai membaca buku. Ia selalu menghabiskan waktu dengan tumpukan buku karena Rio melarangnya bekerja dengan alasan agar ia tak kelelahan. Tentu, agar ia cepat hamil. Alasan klise!
Zulfa mengernyit saat melihat nomor di layar ponselnya. Nomor yang tak ia kenal.
[Halo?], ucap Zulfa setelah menggeser icon berwarna hijau.
[Zulfa?], sahut seseorang di seberang telepon. Kedua mata zulfa melebar saat mendengar bahwa itu suara perempuan.
[Siapa ini?], tanya Zulfa dengan rasa penasarannya yang membuncah.
Wanita itu terkekeh.
[Dalam waktu dekat kau akan tahu siapa aku. Tunggu saja!]
Klik.
[Halo? Halo?]
Zulfa menatap layar ponselnya. Sambungan telepon telah terputus. Zulfa bertanya-tanya dalam hati. Siapa wanita itu, mengapa dia menelponnya, dan mengapa nada bicara wanita itu seolah mengenal Zulfa.
Seketika kepalanya terasa pening. Semua yang terjadi belakangan ini ia coba hubungkan. Hingga akhirnya, ia menyimpulkan jika wanita yang baru saja menelponnya ada hubungan dengan Rio.
Dengan perubahan sikap Rio padanya.
***
"Zulfa? Zulfa?!" Zulfa bergegas ke ruang tamu saat mendengar suara ibu mertuanya memanggil.
"Oh, Ibuk. Silakan duduk, Buk. Aku buatin minum dulu," ujar Zulfa dengan senyum ramah.
Bu Salma mengangguk. "Ini, buah zuriyat dan madu. Buat promil." Beliau menyodorkannya kepada Zulfa.
"Terima kasih, Bu. Semoga sebentar lagi Allah mengabulkan keinginan kita semua," kata Zulfa setelah menerima pemberian Bu Salma. Dalam hati, ada sayatan tipis yang terasa menyakitkan.
"Iya, Zul. Kamu kan juga tahu, semakin hari aku semakin tua. Pingin sekali aku nggendong cucu. Pernikahan kalian itu bukan baru lagi. Udah lawas. Tentunya sudah waktunya kalian punya anak," kata Bu Salma sambil duduk di sofa dan menyalakan TV.
Zulfa tersenyum getir. Entah kata apa yang harus ia gunakan sebagai jawaban. Ia tak tahu, ucapan Bu Salma hanya sekadar keinginannya ataukah semacam ... sindiran.
"Bapak kerja, Buk? Kok gak ikut ke sini?" Zulfa mengalihkan pembicaraan. Sakit ia rasakan jika pembahasan hanya berputar pada masalah kehamilan. Padahal Ibu mertuanya juga seorang wanita. Apa beliau tidak ikut merasakan kepedihan menantunya?
"Iya, Zul. Kan hari ini hari kerja. Oh, ya. Kenapa Rio belum ke rumah ibuk? Kan dia baru pulang dari Kalimantan, iya, kan?"
"Iya, Bu. Tapi, akhir-akhir ini Mas Rio sibuk. Dia jarang di rumah. Katanya banyak klien yang mau ngajak bisnis," jawab Zulfa sambil mengaduk teh dalam cangkir.
Bu Salma mengangguk-angguk. Beliau kembali fokus menonton berita. Sesekali beliau menggerutu dan menyalahkan pelaku yang ada dalam berita. Zulfa yang melihat hanya geleng-geleng kepala.
"Kalau udah pulang, bilang sama suamimu. Suruh datang ke rumah ibu. Masa sama ibunya sendiri lupa," omel Bu Salma.
"Iya, Bu. Oh, ya, Ibu sarapan dulu, ayo. Aku sudah masak aseman sama nggoreng bandeng." Zulfa meletakkan secangkir teh di meja depan Bu Salma.
"Iya, nanti saja kalau ibu mau pulang. Jangan lupa loh, ya buah zuriyatnya dikonsumsi! Harus rajin minum air rebusannya. Sama madunya juga jangan ketinggalan! Biar cepet jadi," cetus Bu Salma mengulangi perkataanya lagi. Zulfa membalas dengan senyum dan anggukan.
Zulfa memahami, pasti semua orang dalam keluarganya begitu menantikan kehadiran buah hati yang terlahir dari rahimnya. Bukan hanya keluarganya, tetapi ia juga.
***
Zulfa menunggu Rio di halaman rumah. Tak peduli dengan desiran angin yang menerpa wajah dan tubuhnya, ia masih menanti. Meski kini, tubuhnya mulai menggigil menahan dingin.
Ia butuh penjelasan. Sejelas-jelasnya.
Memahami jika yang ditunggu tak kunjung tiba, Zulfa menelpon Rio melalui Whatssap. Status, Rio sedang online. Tentu Zulfa tak akan menunggu terlalu lama agar Rio mengangkat teleponnya.
Namun, ternyata ia salah. Rio tak mengangkat panggilan darinya. Sudah kesekian kalinya, ia merasa dikecewakan.
Zulfa memutuskan masuk, karena tubuhnya semakin tak bisa menahan dinginnya angin malam. Ia menunggu di sofa ruang tamu, menahan diri agar tak terlelap seperti waktu itu.
Satu jam ... dua jam ... ia masih menunggu.
"Apakah aku sekarang sudah tak ada dalam memori otakmu walau hanya secuil saja?" batin Zulfa bergejolak kala detik jam masih terus berdetak.
"Zulfa? Kamu belum tidur?" Rio sudah sampai di rumah dengan rambut yang basah bak baru saja selesai keramas. Aroma sabun pun menguar menusuk indra penciuman Zulfa.
Kedua mata Zulfa menyipit. Gejolak dadanya tak dapat lagi dibendung.
"Dari mana kamu?" todong Zulfa tanpa mempedulikan pertanyaan Rio.
"Aku baru selesai meeting, Sayang," jawab Rio dengan lemah lembut namun dalam dada, jantungnya berpacu begitu cepat.
"Meeting apa sampai tengah malam begini? Siapa wanita itu? Siapa wanita yang berhasil membuatmu berpaling dariku?" cecar Zulfa. Wajahnya mengeras, disertai air mata yang telah luruh akibat ia tak kuasa menahan.
Rio menarik napas kasar, mengusap wajahnya dan melangkah ke arah Zulfa. Ia menangkup kedua pipi Zulfa agar kedua pasang mata mereka saling bertemu.
"Kamu habis mimpi? Aku baru pulang kerja. Tapi kamu malah nuduh aku selingkuh?" ujarnya.
Zulfa menatap nanar. Air matanya kian deras mengalir. Ia benar-benar ragu jika yang Rio ucapkan adalah kejujuran.
"Aku tahu, Mas. Kamu menghindariku selama beberapa hari ini! Apa kamu tahu gimana perasaanku, Mas? Bahkan tadi ada wanita yang menelponku! Dia seperti mengenalku!" Zulfa berkata dengan memunggungi Rio.
Mata Rio melebar mendengar penuturan Zulfa. Degup jantungnya semakin berpacu lebih cepat.
"Dia ... selingkuhanmu, kan?"
Aku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.
Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m
"Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m
Fikri mengernyit heran saat melihat Zulfa masih terbaring di tempat tidur. Tidak biasanya Zulfa bangun telat, bahkan sampai Fikri selesai sholat. Didekatinya istri tercintanya itu, kemudian menepuk-nepuk kedua pipinya."Egghh ...." Zulfa mengerang. Lalu, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya semakin terasa pening. Entah, mengapa rasanya perutnya mual."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Fikri dengan begitu lembut."Jam berapa ini?" Zulfa membalas dengan memberi tanya."Sudah hampir jam enam. Kamu sakit? Tumben sampai siang begini?" Fikri merasa khawatir.Zulfa berusaha bangkit. Ia melihat sekelilingnya seperti berputar. "Kepalaku pusing, Mas," lirinya sambil memegangi kepala.Fikri menempelkan tangannya di kening dan pipi Zulfa. Normal. Tidak ada tanda-tanda demam."Kamu mungkin k
Sesuai kesepakatan dengan Dokter Diana. Rio kini sudah berada di rumah sakit Melati. Ia sudah mengambil nomor antrian dan mengisi data diri. Sepanjang menunggu namanya dipanggil, tak henti-hentinya ia komat-kamit, merapal doa agar hasilnya sesuai dengan keinginannya.Tak berselang lama, namanya dipanggil. Rio segera bangkit dan menemui Dokter Diana. Wanita berjas putih itu menatap Rio, sesekali, melihat berkas-berkas di mejanya."Cepat sekali kau datang," celetuknya."Sudahlah, jangan basa-basi. Cepat segera periksa aku," sahut Rio.Dokter Diana mengangguk. Ia menjelaskan beberapa tahap pemeriksaan kepada Rio. Rio mendengarkan setiap kalimat Dokter Diana, meski ia tidak mengerti maksudnya."Jadi gini, langkah pertama untuk pemeriksaan adalah analisis sperma, gunanya untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan s
"Mas, aku mau jualan lagi, ya?" Zulfa membuka obrolan pagi saat mereka sedang berdua di meja makan. Menikmati sarapan dengan sayur dan telur dadar, serta ditemani oleh dua cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul."Jualan masakan?" sahut Fikri sambil mengernyitkan dahi.Zulfa mengangguk. Ia bosan melakukan aktivitas di rumah yang cuma itu-itu saja. Apalagi ia merasa kesepian, karena di rumah sebesar itu, hanya dia dan Fikri saja yang tinggal. Jika Fikri pergi bekerja, maka Zulfa hanya sendirian."Kenapa?" Fikri menghampiri sang istri. Menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Dibelainya kepala Zulfa dengan penuh kasih."Aku ... bosan," cicit Zulfa. Fikri mengangguk. Ia pun paham bahwa istri tercintanya itu sering kesepian."Jangan jualan. Nanti kita ke rumah Ibu. Ngajak Ibu tinggal di sini biar kamu a