Share

4. Menanti Suami

Hari ini adalah hari yang sangat aku nanti. Hari dimana suamiku akan pulang dari tempatnya bekerja. Suamiku kebetulan bekerja di luar kota. Di kabupaten yang berbeda. Sedangkan aku dan putri kami tinggal bersama satu atap dengan ibu mertua dan adik bungsu suamiku. Awalnya aku sempat menolak tinggal di sini. Bukan tanpa alasan. Karena ada adik suamiku yang kebetulan juga seorang laki-laki yang bukan mahram bagiku adalah salah satu alasan ku. Dan alasan lain adalah di mana biasanya menantu tidak akan pernah bisa akur ketika tinggal bersama dengan orang tua terutama ibu dari suaminya.

Karena paksaan dari suamiku lah akhirnya aku menerima permintaannya tersebut.

Tepat pukul 10.00 pagi tadi suami ku tiba di rumah ini.

Aku dan juga Alina tentu saja menyambutnya dengan antusias. Alih-alih beberapa hari ini kami terpisah jarak dan waktu. Tentu saja rasa rindu yang akan merajai hati ini.

"Mas, lebaran nanti kita beli baju couple sama Alina juga, ya," rengek ku pada mas Farhan suamiku.

Kepada siapa lagi aku mengutarakan keinginan ku jika bukan pada suamiku sendiri. Keinginan akan sepotong baju baru untuk ku dan juga putri semata wayang kami. Tak perlu mahal ataupun bermerk asalkan baju itu adalah hasil dari rezekinya, dari hasil keringatnya bekerja mencari nafkah. Bukan baju bekas milik dari kakak perempuannya yang sudah tidak terpakai.

Aku kembali mencoba mengutarakan niatku ini meski sebelumnya pun kegagalan yang aku dapatkan darinya. Permintaan ku ini adalah kali ketiganya selama menjadi pasangannya. Jika sebelumnya aku bisa membeli sendiri semua kebutuhan ku dari hasil kerjaku sebagai buruh di sebuah pabrik yang letaknya berada satu kabupaten dengan tempat tinggal orang tuaku.

Dua kali permintaan ku yang sebelumnya tidak pernah di wujudkan oleh suamiku. Semoga kali ini dan di lebaran tahun ini aku dan putriku bisa merasakan mengenakan baju baru layaknya keluarga kakak perempuannya dan juga para keponakannya.

"Puasa saja belum, ini kamu malah susah siap-siap minta baju baru. Pakai acara couple-an atau apa itu seragaman? Sudah mirip anak panti saja," sungut mas Farhan. Tak kusangka jawaban menyakitkan yang kembali aku terima. Mungkin nasibku menjadi istri dan juga bagian dari keluarganya.

Aku hanya wanita biasa yang memiliki sebuah keinginan. Aku mengutarakan niatku tersebut karena aku pun yakin suamiku bisa memenuhinya dengan gaji yang ia peroleh dari tempatnya bekerja di luar kota. Meskipun aku tidak pernah tahu berapa besar gaji yang selama ini diperoleh oleh mas Farhan. Lucu memang sebagi seorang istri tetapi tidak pernah tahu berapa besaran gaji yang dimilikinya. Bahkan untuk menikmati gajiku saja aku tidak pernah rasakan. Apalagi mengetahui jumlah besaran yang di perolehnya tiap bulan.

Bukannya tidak ingin tahu atau tidak pernah bertanya kepadanya.

Aku sudah beberapa kali bertanya namun apa yang akhirnya aku dapat hanya gertakan yang menyakitkan hati yang akan aku dapat. Cukup dua ratus ribu tiap bulan yang aku terima dari gajinya untuk membeli susu Alina putri kami. Selebihnya hanya dirinya, Ibunya, dan juga saudaranya saja yang tahu. Aku hanya istri yang bagi mereka tidak lebih orang lain yang dipersatukan oleh ikatan pernikahan.

Aku terima semua perlakuan mereka. Aku serahkan semua balasan atas sikap mereka pada yang di Atas.

Lebih baik aku diam. Aku bungkam dari pada rasa sakit ku semakin bertambah. Bukan hanya sakit hati tapi juga sakit telinga karena mendengar gerutuhannya.

Aku mendiamkan suamiku namun aku masih tetap menjalankan semua kewajiban ku. Seperti pagi ini. Di saat semua orang di rumah ini masih terlelap dalam buaian mimpi mereka. Aku sudah terlebih dulu bangun dan berjibaku dengan pekerjaan rumah terutama dapur. Berlomba dengan ayam jago sudah biasa bagiku semenjak menginjakkan kaki di rumah ini. Jangan berharap bisa bersantai hidup di rumah ini. Dalam angan pun mustahil itu akan terjadi. Ada saja alasan agar diri ini tidak terlihat menganggur.

Tiap kali suamiku pulang. Setiap kali itu juga drama dimulai.

Aku yang hari-hari hanya masak cukup untuk dua orang tidak lebih. Setiap hari Sabtu dan Minggu selaku memasak tiga kali lipatnya. Bukan tanpa alasan. Pengiritan yang menjadi pedoman hidup untuk bisa bertahan di ini. Jika ibu mertua dan adik bungsunya makan masakan baru yang aku buat. Maka aku yang kebagian jatah untuk menghabiskan makanan sisa kemarin yang sudah dihangatkan. Bisa makan enak jika suami ada di rumah. Ingin merasakan masakan warung saja itu hanya ada dalam mimpiku. Tak akan pernah mereka biarkan orang lain yang dinikahi putra keluarga ini ikut menikmati rezeki dari hasil kerja kerasnya mencari nafkah.

Aku sudah seperti hidup dalam panggung sandiwara yang diciptakan oleh keluarga laki-laki yang menjadikan aku sebagai makmumnya.

Berdoa dan bersabar itu yang selalu aku tanamkan dalam hatiku. Semoga kesabaran ku ini berbuah manis di kemudian hari. Doaku di setiap sujud ku semoga di dengar oleh Rabb-ku dan di jadikannya nyata suatu hari nanti. Semoga suamiku mendapatkan pencerahan untuk hari dan pikirannya. Dan semoga hati dan pikirannya tersebut segera di sadarkan akan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala rumah tangga. Aku tidak ingin menyerah karena sebenarnya suami adalah tipe pria yang baik dan juga penyayang. Buktinya tak pernah sekalipun ia ringan tangan kepada istri ataupun anaknya. Hanya saja pengaruh buruk itu di tanamkan oleh keluarganya sendiri. Dan tugasku sebagai seorang istri adalah membawa kembali suamiku menuju jalan yang lurus. Jalan yang seharusnya ia lalui bukan begitu saja ia lewati.

"Wah, jangan lupa ayam kecapnya kamu bungkus semua. Biar nanti Wildan kasih sama kakaknya. Itu kesenangan cucu-ku." Ibu mertua tiba-tiba ada di belakang ku dan berujar agar aku segera mengemas masakan yang sudah aku olah atas perintahnya sebelumnya.

Iya, aku masih ingat pembicaraan ibu mertua via telpon dengan kakak perempuan suamiku. Tepatnya dua hari sebelum suamiku pulang. Saudara iparku yang menurut ku adalah tipe perempuan pemalas itu meminta pada ibunya agar menyuruhku untuk memasak masakan kesukaan keluarganya. Mbak Nur tahu jika masakan adik iparnya ini memang tidak bisa diragukan lagi. Oleh sebab itu dia memanfaatkan aku melalui ibu mertua. Bukan hanya sekali atau dua kali. Bahkan setiap suamiku balik ke rumah ini ada saja yang ia perintahkan untuk aku kerjakan.

Ingin protes pun percuma toh semua yang ada di sini seolah mendukung.

Ibu mertua sendiri tidak pernah jahat. Tetapi beliau juga tidak pernah baik. Selalu bersikap acuh dan hanya menunjukan sikap baiknya jika ada suami di rumah ini. Selebihnya aku hanya orang lain yang kebetulan keberadaannya bisa di manfaatkan untuk meringankan pekerjaan mereka.

Cucu pun Alina selaku di bedakan dari tiga cucunya yang lain. Hanya ketiga anak Mbak Nur selalu di limpahi kasih sayang olehnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status