[Lis, ntar jalan, aja, yuk. BT nih, ambil cuti seharian cuma di rumah aja.] Evi yang dulu merupakan teman baikku kembali mengirimi pesan bahkan belum sepuluh menit sejak sambungan telepon kami terputus.[Hah, kemana?][Makan aja, KFC kek, McD, kek][Boleh, deh.][Tenang, aku yang traktir.][Sip lah.]Benar. Aku sungguh beruntung memiliki sahabat sebaik dirinya.***Sorenya, aku yang dijemput oleh Evi, meminta pada teman baikku ini untuk melewati rumah mertua sebelum menuju restoran siap saji yang kami tuju.Dari kejauhan, aku mengamati dengan seksama. Barangkali saja, motor Mas Hamid terparkir di halaman.Ternyata tidak.Ah, mungkin saja benar suamiku memang lembur.Kami pun meneruskan perjalanan saat melihat tak ada tanda-tanda mencurigakan di sana."Yang semangat, dong, makannya." Di restoran siap saji yang kami datangi, Evi menegurku yang tak kunjung menikmati ayam yang sudah lebih dari sepuluh menit lalu disajikan."Kira-kira, Mas Hamid beneran lembur nggak, ya, Vi?" gumamku tanpa
"Kalau sampe cewek aku nggak mau balikan, sampai ke ujung dunia aku nggak bakal maafin kamu!" Ancam Zaki sebelum berlalu meninggalkanku yang masih berdiri kaku setelah mengetahui status Zaki yang sebenarnya."Kalau gitu, Meisha anak siapa?""Udah sih, fokus tes DNA aja. Lebih akurat." Evi menepuk pundakku dan membuatku makin mantap dengan rencana sebelumnya.***Sepulang dari resto, aku pun mulai melakukan pencarian. Mencari rambut mas Hamid di pisau cukur dan sisir yang selama ini dia gunakan menjadi tugasku sore ini.Nihil. Aku tak menemukan sehelai rambut pun di pisau cukur dan sisirnya.Terpaksalah aku harus melakukan cara yang sama seperti saat mendapatkan rambut Meisha tadi siang.Payah!Mas Hamid yang tampak kelelahan, tertidur dengan pulas di sampingku.Saatnya beraksi, Lisa! Saatnya beraksi.Melihatkan Mas Hamid sudah terlelap, aku gerak cepat meraih plastik transparan yang kusembunyikan di balik bantal.Pelan, sambil mengusap lembut rambutnya aku mencoba mencabut beberapa he
Aku mencium punggung tangan Mas Hamid dengan kaku ketika dia berpamitan bekerja pagi ini."Kerja dulu, ya, Sayang."Aku buru-buru menghindar ketika Mas Hamid seperti bersiap mengecup keningku sebelum pergi.Membuat Mas Hamid menatap heran padaku."Maaf, aku kebelet."Huh! Tidak tahu saja kau, Mas. Aku tuh jijik sama kamu!***Siangnya, setelah semua pekerjaan rumah beres, mengikuti saran Evi, aku bergegas ke rumah sakit untuk berjumpa dengan dokter dan melakukan konsultasi. Berharap bisa mendapat surat keterangan dokter agar bisa secepatnya melakukan tes DNA.Ketika konsultasi, aku pun menjelaskan dengan gamblang tujuan tes DNA yang bakal aku lakukan.Dokter mengangguk paham saat aku menyampaikan maksud dan tujuanku.Aku pun diberi tahu perkiraan anggaran biaya dan berapa lama waktu sampai hasil tes DNA keluar."Kenapa, sih, Dok tes DNA itu lama baru keluar hasilnya?""Ya karena memang prosesnya panjang, Bu. Setelah ibu mengumpulkan sampel itu, pihak penguji harus melakukan ekstraksi
Anak siapa? Ayo, Zaki, cepat katakan!Aku yang sudah memencet tombol perekam pada ponselku, menanti Zaki mengungkap siapa ayah bayi misterius itu dengan hati berdebar.Ponsel yang tiba-tiba berdering dari dalam saku celana, membuat Zaki menjeda ucapannya. Ya, kata-kata Zaki yang sedari tadi kudengarkan dengan khidmat dan sebagian telah aku rekam, terdengar menggantung begitu saja. Persis seperti jemuran baju bayi di rumah mertua.Payah!Mana ini? Kok nggak kedengaran apa-apa lagi?Aku yang sejak tadi berdiri tegang di sampingnya saat menunggu jawaban, memang sengaja menatap ke arah lain. Tak mau sampai Zaki curiga kenapa aku bisa sepenasaran itu dengan status Meisha. Nanti disangka aku tukang kepo berat lagi. Ya, walaupun kenyataannya iya, tapi nggak usah ditunjukkan banget, lah.Sekian lama aku menunggu Zaki menyambung ucapan. Namun, suaranya benar-benar tak terdengar lagi.Lah, kok sepi?Aku menoleh perlahan, memandang ke arah di mana Zaki berdiri di sampingku tadi.Tidak ada?Matak
Tin …! Tin ….! Tin …!Di belakang Zaki, ada dua mobil yang hendak keluar, tapi terhalang oleh ulahku.Baiklah!Jangan sampai aku membuat keributan besar lagi. Bisa kacau. Ini rumah sakit.Akhirnya, aku menyingkir sambil memungut kartu nama yang Zaki lemparkan tadi.Aku tersenyum, dia tidak bohong. Benar, nama dan ada nomor ponselnya tercantum di sini. Buru-buru kusimpan kartu nama milik Zaki. Mengamankannya dengan memasukkan ke dalam tas selempang, adalah jalan ninjaku.Zaki berlalu. Dan aku membiarkannya pergi kali ini. Gampang! Nanti bisa kukejar lagi dia buat cari penjelasan. Yang terpenting, kartu namanya sudah aku kantongi sekarang.Setelah mobilnya sudah tak tampak, buru-buru aku berlari mengambil sandal yang terpisah beberapa puluh meter dari pasangannya yang menempel di kaki kananku.Huh! Berurusan dengan seorang seperti Zaki memang merepotkan! Selain ketus, dia juga sangat arogan dan menjengkelkan bukan?***Lewat pukul 15.00 aku kembali memantau keberadaan Mas Hamid melalui
"Zak-Zaki yang mana?" ulang Mas Hamid dengan suara yang terdengar bergetar.Aku menyeringai kecil melihat ketakutan yang jelas terpancar di wajah suamiku."Temen SMA aku." Aku menjawab asal. Berharap dia tak bertanya lebih jauh. Karena aku sedang tidak ingin berbicara banyak hal dengannya. Pun mendiskusikan perihal Zaki bersama dirinya, rasanya … ini bukan waktu yang tepat.Ya, sebelum hasil tes DNA keluar, selama itulah aku ingin mendiamkan Mas Hamid. Sumpah, rasanya malas sekali aku berhadapan dengannya. Jangankan berbicara, memandang wajahnya saja aku enggan sebenarnya."Ya udah, Mas, aku tidur dulu,ya, aku ngantuk." Aku menarik langkah dari ruang tamu, meninggalkan dia yang wajahnya semula terlihat tegang, lalu kini tampak pias.Mungkin, dia masih belum sepenuhnya percaya jika ada salah satu teman SMA-ku yang bernama Zaki Rafandra. Dengan hati dan pikiran yang terasa lelah, aku berjalan ke kamar setelah mencuci muka dan menggosok gigi. Setelahnya, kutarik selimut dengan perasaan
Sungguh, ingin rasanya aku pergi dan mendatangi rumah Bu Ida untuk memastikan ada tidaknya suamiku di sana. Namun, kutahan. Buat apa?Bukankah kau sudah berniat mencari jalan lain untuk memastikan kebenaran, Lisa? Sudut hatiku kembali berbisik.Jangan kau kotori rencanamu dengan tindakan barbar unfaedah itu, Lisa.Sabar … sabar ….Kalau terbukti dia memang ayah kandung Meisha, fix bubar.Tak mau lagi dipusingkan oleh tingkah aneh Mas Hamid yang pergi begitu saja dengan sengaja meninggalkan ponselnya, aku memilih untuk merebahkan tubuh.Entah pukul berapa, Mas Hamid kembali ke rumah. Aku tidak tahu. Mata yang keburu mengantuk setelah berhari-hari mengalami insomnia, memaksaku tidur tanpa menunggunya pulang terlebih dahulu.***"Pergi ke mana tadi malam?" tanyaku pagi ini ketika Mas Hamid tengah bersiap-siap berangkat kerja pada pukul lima pagi."Nongkrong sambil ngopi di rumah Pak RW blok sebelah." Mas Hamid menjawab pertanyaanku dengan raut wajah yang terlihat tenang.Apakah itu artin
"Relax, Lisa. Relax." Evi yang rasanya mengerti bagaimana aku gugup mendengar hasil tes DNA antara suamiku dan bayi di rumah mertua, berucap lirih sambil terus menggenggam erat tanganku."Sebentar."Aku yang sudah panas dingin sedari tadi, dibuat semakin tak karuan rasa ketika pintu ruangan diketuk.Ternyata, perawat yang datang. Terlihat dia memberikan beberapa lembar berkas pada sang dokter."Terima kasih, Sus," ucap dokter berpembawaan tenang ini saat perawat pamit pergi."Jadi begini, Ibu Alisa, berdasarkan bukti ilmiah yang diperoleh dengan mengacu pada sampel yang diperiksa, maka hasil analisis menunjukkan bahwa 99,98 % hasil tes memiliki kemiripan."Aku membelalak lebar mendengar keterangan yang diberikan.Ya Allah, bagaimana ini bisa terjadi?"Dengan demikian, terduga ayah tidak dapat disingkirkan dari kemungkinan sebagai agai ayah biologis anak."Dokter menggenapi kalimat sebelumnya, yang memang sudah membuat aku terjebak dalam suasana tegang bukan kepalang."Ja-jadi?" Aku me