Share

Mereka Mengusirku?

Author: Askana Sakhi
last update Huling Na-update: 2022-06-20 19:33:04

"Lisa ... dia ini ya ... Mira." Ibu Mertuaku beringsut mendekati wanita yang sedari tadi tampak kesulitan walaupun hanya mengungkap sepatah dua patah kata, mengenai jati dirinya. Dengan penuh kasih sayang, wanita paruh baya itu mengelus punggung wanita yang katanya bernama Mira.

Agak berlebihan menurutku. Bukankah Ibu bilang Mira merupakan sepupu jauh Mas Hamid? Tapi, kok, bisaan banget, ya, sedekat itu? Sudah seperti memperlakukan anak sendiri.

"Oh … sepupu yang diceritain kemarin dulu itu?" tanyaku meski hati sudah dihinggapi perasaan tak enak sedari tadi.

"Iya."

"Loh, kok balik lagi?" Aku mengerutkan dahi menatap mertuaku, karena sedari tadi, dia yang asyik menjawab, kan?

"Iya, kan hari itu udah diceritain, suaminya selingkuh. Sekarang suaminya bener-bener ninggalin dia. Jadi ... dia kembali dan Ibu yang minta dia tinggal di sini saja." Jika sedang bersandiwara, aku akui, akting ibu mertua patut diacungi jempol. Lancar, loh, dia ngomongnya. Sudah seperti artis yang paham skrip di luar kepala.

"Oh, iya. Cuma, kenapa dia harus ke sini? Memang, orang tuanya ke mana?" tanyaku menyelidik, dan saat kulirik wanita yang konon bernama Mira, menunjukkan tatapan sendu lantas menunduk. Persis seperti wanita teraniaya dalam sinetron ikan terbang!

Muak sekali aku melihatnya.

"Lisa! Kamu nggak pantes bertanya begitu! Dia ini sedang kesusahan! Udah, daripada kamu banyak tanya, kita pulang!" Mas Hamid yang sedari tadi diam, tiba-tiba menyambar ucapanku. Bukan secara lemah lembut, tapi cukup ngegas dan tak enak didengar. Membuat dadaku bergemuruh dan ingin sekali melemparkan bayi di tangan jika tak ingat perihal kemanusiaan.

Dia? Kesusahan? Lalu, bagaimana dengan aku, Mas? Kutatap wajah Mas Hamid dengan tatapan nyalang.

"Aku, 'kan, cuma nanya, Mas? Kok kamu yang nggak terima? Lagian, apa salahnya, sih, kalau sekali-sekali aku nginep di rumah mertua? Atau jangan-jangan ... aku udah nggak dianggap menantu disini, Mas? Sampai-sampai setiap Ibu sakit saja kamu enggan mengajakku kemari?" Kuletakkan bayi mungil itu kembali ke kasur. Suaraku mulai serak. Hampir saja pertahananku jebol. Wajah sedih tak bisa kusembunyikan. Bukan sedih karena merasa tak dianggap, melainkan karena baru kali ini Mas Hamid membentakku di depan mertua.

Tahan, Lisa …! Tahan.

Seperti sebelumnya, ibu dari bayi kecil itu menunduk. Kulihat raut wajahnya berubah lebih sendu. Apa pertanyaanku begitu menyedihkan untuknya? Aku rasa biasa saja padahal.

"Ya sudahlah … ya sudah, Mid. Kalian biar tidur di sini. Kamu yang salah. Selama ini tak pernah mengajak Lisa bermalam di sini." Ibu mertua akhirnya memberi keputusan, seperti ingin menengahi pertengkaran yang terjadi antara aku dan anak sulungnya.

Mendengar Ibu bersuara, raut wajah Mas Hamid terlihat mulai melunak. Tak tegang seperti sebelumnya.

"Ya udah, kalau gitu, aku ambil baju dulu ke rumah," cetusnya kemudian. Meski mungkin masih setengah hati, Mas Hamid keluar juga dan pergi membawa motornya. Untuk mengambilnya baju ganti.

"Karena Mira udah terlanjur di sini, berarti nanti malam kalian tidur di kamar satunya saja lagi, ya, Lis," usul Ibu mertua kemudian.

Aku diam. Ingin menjawab lantang, 'ini kan kamar suamiku dulu, harusnya Mira yang di sana'. Tapi, ya, sudahlah. Bentakan Mas Hamid tadi menyadarkanku bahwa percuma aku pakai cara kekerasan. Di sini posisinya aku sendiri. Berontak percuma juga kan? Satu lawan empat? Lebih baik aku pura-pura percaya saja pada setiap apa yang mereka katakan.

"Iya, Bu. Biar Lisa bersihin dulu kamarnya." Aku mengangguk pelan, bertindak layaknya menantu idaman.

"Ya sudah, ayo Ibu bantu," ucap Ibu padaku.

"Mira, kalau ada perlu apa-apa panggil Lina saja, ya." Masih dengan gayanya yang lembut dan sangat keibuan, ibu mertua mengalihkan pandangan pada wanita bernama Mira itu.

"Iya, Bu." Mira mengangguk penuh hormat pada mertuaku.

Cih!

Sepanjang membersihkan kamar yang lama tak terpakai, aku hanya berbicara bila ibu mertua bertanya sesuatu.

Tak seperti biasanya, ibu mertua yang selama ini terkenal ramah dan banyak bicara, kini pun berubah jadi sosok yang pendiam dan irit bicara. Mungkin, makan siangnya tadi tak cukup mengenyangkan.

Bertepatan dengan bersihnya kamar, Mas Hamid terlihat kembali dengan membawa pakaian kami.

Aku memutuskan untuk berdiam diri dan mendinginkan kepala sejenak, sebelum keluar untuk menempel pada Mas Hamid. Biar saja dibilang seperti upil nanti. Aku cuma ingin melihat reaksi wanita sok kalem itu.

Akankah dia terlihat cemburu?

Oke, kita buktikan nanti.

***

"Lina, antarkan makanan ini ke kamar Kak Mira, ya." Ibu mertua menata makanan khas orang habis melahirkan di atas nampan, ketika memberi perintah pada anak bungsunya.

"Biar Lisa yang antar, Bu." Aku yang baru lepas mandi, meraih dengan sigap nampan yang telah dipersiapkan oleh mertuaku.

Mas Hamid yang sebelumnya tampak khidmat di meja makan dapur, urung menyuapkan makanan pada sendoknya ke mulut.

"Kamu nggak makan, Lis?" tanya Mas Hamid sambil menatapku, seperti tak setuju dengan apa yang kulakukan saat ini.

Aneh, kenapa harus keberatan begitu?

"Belum lapar, Mas. Biar Lina makan duluan."

Aku langsung mengambil alih tugas Lina, membawakan makanan ke kamar Mira.

"Permisi ... maaf gak bisa ketuk pintu, tanganku penuh," ucapku langsung masuk ketika melangkahkan kaki masuk ke kamar yang dulu merupakan kamar Mas Hamid.

Seulas senyum tersungging dari bibir Mira.

"Makasih, Mbak," ucapnya lirih. Selalu begitu. Seperti orang kurang gizi. Perasaan dulu, kakakku sehabis lahiran biasa aja, deh, nggak gini-gini amat.

"Sini, biar aku yang pegang. Dedeknya namanya siapa, sih? Umur berapa?"

Aku berinisiatif mengambil alih bayi perempuan itu setelah meletakkan nampan tadi di meja kecil kamar ini.

"Namanya Meisha, umurnya 20 hari, Mbak."

Aku mengangguk dan ber-oh ria. Sambil dalam hati, menghitung-hitung usia pernikahanku dan Mas Hamid. Juga kemungkinan Mas Hamid kenal wanita ini, jika kecurigaanku benar.

Ini kalau benar, loh, ya.

"Iiih, gemesss. Idungnya mancung, ya, kaya Mas Hamid. Kalian sepupuan memang hidungnya pada mancung-mancung, ya?" ucapku memuji.

Uhuk!

Mira yang sedang meneguk air minum, tersedak. Buru-buru kuletakkan kembali bayinya.

"Kenapa?"

"Eng-enggak. Tenggorokanku gatal, Mbak."

"Oh … ya udah, makan, biar gak gatal lagi tenggorokannya."

"Mbak sendiri, sudah makan apa belum?"

Wow, akhirnya wanita ini mengeluarkan banyak kata juga dengan suara emasnya. Lemah lembut memang, tapi entah kenapa tak nyaman di indera pendengaranku.

"Aku, belum lapar," jawabku sekenanya.

Bayi yang konon baru berusia 20 hari tiba-tiba menangis. Membuat Mira meletakkan cepat makannya.

"Udah, makan aja, Mbak. Biar aku yang gendong," sergahku cepat.

Mira pun urung bangkit dan kembali menyantap makanannya.

"Orang tuamu, di mana?" tanyaku pelan setelah bayi perempuan dalam dekapanku tenang.

"Lis, orang makan kok ditanyain macam-macam, sih? Sini, dedeknya biar aku yang pegang. Kamu makan sana!"

Suara Mas Hamid mengagetkanku. Cepat sekali dia makan? Tadi aku lihat nasinya banyak, sepiring munjung. Oh, makan kilat. Mungkin langsung telan tanpa dikunyah.

"Sini! Kamu makan sana, mumpung Lina sama Ibu masih makan juga," ulang Mas Hamid lagi.

"Iya, Mbak, kamu juga harus makan," timpal Mira kemudian.

What?

Mereka kompak mengusirku? Karena ingin berdua? Ah, tidak, maksudku ... bertiga dengan bayi ini?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Indah Pada Waktunya

    "Mas, apa mereka sudah menikah?" tanyaku pelan saat langkah Zaki dan Evi semakin dekat.Mas Hamid tak menyahut, matanya terus dia fokuskan pada dua orang yang sempat mengukir sejarah dengan kenangan bertolak belakang dalam hidupku."Mas." Aku yang memang diliputi rasa penasaran, berusaha memaksa suamiku sekedar untuk memberi jawaban 'sudah' atau 'belum'. Namun, agaknya Mas Hamid masih belum tertarik membagi informasi yang belum aku ketahui tentang mereka."Nanti, kapan-kapan aku ceritain semua, ya, Sayang," balasnya dengan senyum terukir di bibir dan tanpa menatapku. Karena memang fokusnya terus ia arahkan ke arah sana, pasangan yang sepertinya sedang dimabuk asmara. Zaki Rafandra Zulfikar dan Selvi Adinara Putri.Mendadak, aku terjebak perasaan canggung saat Evi dan Zaki yang jalan beriringan mulai menaiki pelaminan.Tak cuma aku, rasanya … Evi pun tak kalah canggung kali ini. Terbukti, gadis manis itu buru-buru melepas genggaman tangan Zaki dengan sangat gugup beberapa saat sebelum

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Pernikahan dan Tamu Istimewa

    Aku menghapus air mata sambil mengangguk malu sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilayangkan Bu Ida padaku—tentang kesediaanku kembali menjadi menantunya."Terima kasih, Nak. Terima kasih karena sudi memberi kesempatan pada Hamid sekali lagi." Dengan mata yang menunjukkan bias kaca, Bu Ida kembali memeluk diriku. Menyalurkan rasa yang mungkin sama dengan apa yang tengah aku rasakan sekarang. Haru dan bahagia yang membaur indah menjadi satu.Aku mengangguk dalam pelukannya. Ah, aku bahkan sampai kehabisan kata-kata untuk mengekspresikan betapa bahagianya aku saat ini."Lisa, Nduk. Kalau begini ceritanya, apa iya kamu masih betah lama-lama di kamar? Ndak penasaran, toh sama wajah calon suamimu?" ledek Ibu ketika tiba-tiba muncul dari balik pintu. Membuatku tersipu malu."Ayo, Nak." Dengan penuh kasih sayang, Bu Ida menggandeng tanganku dan menuntunku keluar kamar layaknya calon pengantin yang baru pertama kali bakal bertemu dengan orang yang melamarnya.Sumpah!Aku jadi deg-degan seka

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Yang Kedua Kali

    "Aku yang seharusnya minta maaf," balas Mas Hamid sambil tersenyum tipis."Oh iya, gimana kabar Meisha?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan."Baik. Alhamdulillah Nova sudah mendapatkan pria yang tepat, Lis, dan aku pun merasa sangat beruntung karena suaminya begitu menyayangi Meisha. Dan yang lebih penting, dia membebaskan bertemu dengan Meisha kapan pun aku mau, dia tak melarang," ungkap Mas Hamid panjang lebar."Oh … syukurlah," balasku penuh kelegaan.Hening menjeda sementara waktu."Semoga suatu saat, kamu juga bisa menemukan pasangan hidup yang baik, ya, Mas. Sebaik yang Nova dapatkan saat ini," ucapku dengan mata yang tiba-tiba mengembun.Mas Hamid menatap sendu padaku."Tidak adakah kesempatan untuk kita memperbaiki semuanya, Lis?"Aku mengangkat bahu. Tak ingin terburu-buru mengambil langkah seperti saat menerima Zaki kala itu.Jujur, aku masih trauma untuk kembali membina rumah tangga."Mas, tolong nanti antar aku sampai jalan depan rumah aja, ya, please, aku nggak pingi

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Maafkan Aku, Mas

    "Lis." Evi menggenggam tanganku sambil tersenyum saat kami sama-sama menyaksikan dua sahabat yang selama ini dalam diam menyimpan dendam, masih berpelukan haru setelah Zaki mengeluarkan sebuah keputusan besar pagi ini."Sebentar lagi, kamu bisa balikan sama Mas Hamid," bisiknya pelan di telingaku.Deg!Aku membeliak.Balikan?Aku menoleh dan lantas menatap nanar pada Evi yang jelas ikut lega saat mengetahui hubunganku dan Zaki hampir berakhir dan hubungan baik dengan Mas Hamid kembali terjalin.Benarkah bisa semudah itu aku kembali membina rumah tangga setelah sebelumnya dua kali gagal?Hatiku berkecamuk tiba-tiba.Ya Allah, sungguh, aku takut tetanggaku di kampung mengecam aku sebagai wanita yang suka kawin cerai, jika memutuskan untuk secepatnya menikah lagi dengan Mas Hamid setelah surat ceraiku dan Zaki turun."Entahlah, Vi. Aku nggak tahu. Mungkin sendiri lebih baik," balasku yang sontak menarik perhatian Zaki dan Mas Hamid untuk menatapku."Maksud kamu, Lis?" tanya Mas Hamid den

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Mereka Berdamai?

    Meski dengan langkah berat, aku memberanikan diri untuk membuka pintu kamar dan menghampiri mereka."Kenapa harus minta maaf, Mas?"Jelas sekali pertanyaanku membuat Zaki dan sahabat baikku terkejut. Entah apa yang mereka sembunyikan dariku, aku tak mengerti.Saat mungkin merasa risih karena aku mendekat, terlihat Evi melepas paksa cengkraman tangan Zaki."Ada apa sebenarnya, Vi?" tanyaku sambil menatap Evi tajam saat menuntut penjelasan."Tanyakan saja pada suamimu!"Evi berlari, seperti enggan berlama-lama bertatap muka dengan Zaki. Membuat kecurigaan dalam dada kian bertumpuk.Ya, kepergian Evi yang terkesan terburu-buru setelah kepulangan Zaki, memang meninggalkan sejuta tanya untukku.Kulihat wajah Zaki tampak dipenuhi perasaan bersalah saat menatap punggung Evi yang perlahan menghilang dari pandangan.Ada apa?"Apa yang kau lakukan pada Evi, Mas?" cecarku penasaran.Zaki diam."Jangan bilang kalau kamu udah bikin keluarga Evi celaka!"Zaki masih diam. Membuat kecurigaan dalam da

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Ada Apa dengan Evi dan Zaki?

    "Sini!" Malamnya, aku yang sedang asyik berselancar di dunia maya, dibuat terkejut saat Zaki merampas ponselku secara tiba-tiba."Apa, sih, Mas?" Aku yang semula berbaring di atas ranjang, bangkit dan berusaha merampas benda kesayanganku itu kembali. "Sebentar aja!" sahutnya ketus sambil mengusap layar ponselku dengan tangan kiri seperti mencari-cari sesuatu, lalu tangan kanannya juga memegang ponselnya. "Nih!"Zaki melempar ponselku kembali. "Nyari apa kamu, Mas?" Aku menyelidik curiga padanya yang tertunduk seraya mengotak-atik ponselnya."Nomor Evi," sahutnya singkat tanpa menatapku."Buat apa?" tanyaku panik. Jangan sampai dia menyakiti Evi karena membela Mas Hamid tadi. Dan jangan sampai juga dia berpikiran jika Evi adalah wanita murahan yang bisa semudah itu diajak berkencan.Aku tahu betul Evi tipe gadis yang seperti apa. Tiga tahun pernah bekerja satu shift dengannya membuatku mengenalnya cukup baik. Dia bukan gadis yang mudah jatuh cinta dan asal menerima siapa saja pria

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Ancaman Evi

    "Dasar gila! Amit-amit kalau sampai punya suami modelan kayak kamu. Yang ada bisa mati berdiri aku!" Evi menatap Zaki dengan mata melotot dan tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut.Zaki berdecak lirih."Tidak usah bermulut besar! Kalau ternyata kita berjodoh bagaimana?""Heh!" Jelas sekali Evi makin kesal dengan ucapan Zaki yang terkesan mengada-ada."Jodoh tidak ada yang tahu, Evie Tamala," ucap Zaki lantas tertawa sumbang. Membuatku terkesiap. Benarkah Zaki serius ingin menjadikan Evie istri kedua? Ah, tidak. Tidak mungkin.Bukankah soal membual dan me-rosating orang adalah keahliannya?"Kalau sampai kamu macam dan main tangan sama Lisa. Aku pastikan kau akan menyesal, Tuan Zulfikar!" Evi menodongkan telunjuknya tepat di depan wajah lelaki angkuh tersebut."Apa kau pikir aku takut dengan ancamanmu, Cewek Songong?!" Dengan dada turun naik, Zaki mencengkram kuat pergelangan tangan Evi sambil menatapnya tajam, membuatku bergidik ngeri. Takut juga sahabatku itu menjadi korban kemarah

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Lelaki dengan Arogansi Tinggi

    Kuremas dada yang kembali terasa nyeri saat mengingat betapa egois dan gegabahnya seorang Lisa di masa itu. Tiba-tiba saja, rindu akan rumah itu memenuhi dada. Jujur, bukan hanya rumahnya, tapi suasana di dalamnya dulu, sebelum badai menerpa kehidupan rumah tanggaku dan Mas Hamid.Menyadari ada kesempatan, aku bergegas memesan Go-Car, berniat mendatangi rumah penuh kenangan itu, sekedar untuk melepas rindu.Sampai di sana, aku melihat pasangan suami-istri sedang bercengkrama bersama seorang anak kecil di teras rumah.Aku yang semula berniat turun, mendadak seperti tak punya kekuatan walau sekedar untuk menjejakkan kaki di tanah."Jadi turun, Mbak?" Pertanyaan pengemudi Go-Car yang kutumpangi menyadarkanku dari lamunan.Dengan tatapan nanar aku menggeleng lemah pada sang pengemudi."Terus aja, Pak," ucapku seperti orang linglung. Meminta terus lurus padahal tak ada tujuan. Sampai di persimpangan, aku meminta sang pengemudi Go-Car putar haluan menuju ke rumah mantan mertua, Bu Ida. Ti

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Caption di Postingan Masa Lalu

    "Ja-jadi … jadi yang kamu bilang memperjuangkan cintamu waktu itu, maksudnya apa, Mas?" Di sela-sela isak tangis, aku bertanya dengan batin yang kian terasa pilu.Zaki mendengkus pelan."Apa kau pikir aku serius, Lisa?" Zaki yang masih berbaring dan berbagi selimut denganku, memiringkan badan dan menatapku dengan tatapan mengejek.Membuatku merasa menjadi wanita paling bodoh yang pernah ada di muka bumi ini."Harus aku akui, kalau kau terlalu polos dan gampang percaya, Alisa Nurhafiza, dan itu sangat menguntungkan buatku." Zaki tertawa sumbang pasca menuntaskan dua kalimat yang bahkan terasa lebih tajam dari sembilu."Jadi … alasanmu menikah denganku karena apa?" tanyaku sambil menatapnya nanar."Hamid," balas suamiku singkat tapi sarat akan emosi. Aku menangkap ada aroma dendam yang menyelinap dari caranya berbicara dan berekspresi."Mas Hamid?" tanyaku berat."Aku cuma ingin dia merasakan patah hati yang pernah aku rasakan, itu saja." Zaki bangkit lantas menyambar handuk dan berlalu

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status