Apa mereka pikir bisa semudah itukah mengusirku?Oh .... tidak bisa!Aku di sini posisinya menantu. Menantu seharusnya lebih diprioritaskan daripada sepupu, bukan? Dan seperti yang kita ketahui bersama, Mira hanya sebatas sepupu. Iya, sepupu.Ya … walaupun mungkin hanya sebatas sepupu ... palsu. Entahlah.Rasanya aku masih harus menunggu keabsahan dari pengakuan mereka."Kalau belum lapar, ya nggak bisa dipaksa juga kan, Mas?" kilahku kemudian. Membuat Mas Hamid dan Mira kompak terdiam."Lagian, ngapain juga kamu makannya buru-buru? Orang ada aku, kok yang jagain. Iya, 'kan, Dek? Dek Mei?" Eum … kayaknya lucu juga, ya, kalau panggilannya Mei Mei kayak temen Upin-Ipin itu, loh."Mendengar aku berceloteh, tampak Mira tersenyum canggung. Entah keberatan atau bagaimana anaknya aku panggil Mei Mei. Aku tak tahu.Dan well, aku hanya berharap dia tidak sedang menyamakan aku dengan Kak Ros kali ini. Rasanya terlalu jutek dan agak bengis jika seorang Alisa disamakan dengan kartun berwatak gar
Mira yang ternyata tengah mengganti popok Mei-Mei, terlonjak kaget saat melihatku. Sementara seorang lelaki yang juga duduk dengan posisi membelakangi pintu, langsung menoleh dan menatap diriku penuh keheranan.Membuatku terjebak perasaan ... entah. Antara malu, kesal dan entah perasaan apa lagi. Namun, yang jelas, rasa malu lah yang lebih mendominasi. Bagaimana tidak, aku salah sasaran!Ya ampun!Andai diizinkan menghilang layaknya Jin Botol, pasti sudah kulakukan sekarang.Benar sungguh. Aku malu ….Ya Tuhan, aku mendadak seperti kehilangan muka saat ini.Eh, tunggu!Laki-laki itu ... siapa? Kenapa dia ada di kamar ini? Lalu, ke mana perginya Mas Hamid?Mei-Mei yang terkejut karena ulah barbar yang kulakukan, menangis begitu kencang. Membuatku jadi semakin salah tingkah. Terlebih saat merasa lelaki itu memperhatikan gerak-gerikku. Sungguh, seperti hampir mati berdiri saja aku ini.Menyadari bayinya menangis kencang, dengan sigap, Mira mengangkatnya untuk menenangkan. Namun yang menj
"Ngapain kamu pake nanyain soal KK mereka segala? KK ya nggak dibawa-bawa lah."Suara Mas Hamid terdengar meninggi saat aku tiba-tiba membahas perihal KK Mira dan anaknya yang masih misterius itu."Lah, emang di sini kalau ada tamu yang nginep 1x24 jam nggak disuruh lapor RT?" Aku bersikukuh dengan pendapatku.Aku dan Mas Hamid masih terjebak suasana kaku saat Ibu yang sepertinya menyimak obrolan aku dengan anak sulungnya dari tadi, datang mendekat pada kami yang berdiri di halaman rumah."Di sini, 'kan masih tergolong kampung, Lisa. Itu bukan hal yang penting. Lagipula, mereka tau, kok yang nginep perempuan, dan yang diinepin juga Ibu sama Lina, nggak ada lah mereka bakal mikir aneh-aneh. Lagian, kenapa kamu jadi sibuk dengan urusan orang? Nggak ada untung ruginya juga buat kamu, 'kan? Kalau alasannya karena curiga, apa dasarnya? Apa cuma karena Mira tinggal di sini?"Kali ini ibu mertuaku berbicara dengan nada gusar dan kentara sekali ada emosi yang menyertai. Aku sedikit kaget. Su
Aku mencoba tampil senormal mungkin di depan Mira. Tak mau terlihat gugup apalagi pucat. Takut Mira curiga."Mbak, Ibu ke mana?" tanya Mira sembari memindai seluruh penjuru ruang tamu saat mungkin menyadari Bu Ida tak ada di ruangan ini.Wait!Dia bertanya soal Ibu, 'kan barusan?Oh, syukurlah berarti dia tidak sempat melihat aku mencabut rambut anaknya tadi.Aman ... aman.Aku menghembuskan napas pelan saat menyadari Mira memang sepertinya tak memergoki aku mencabut rambut bayi cantik yang entah kenapa tetap terlihat menjengkelkan di mataku."Mbak?" Aku terkesiap saat Mira yang berdiri di sampingku, menepuk pelan pundakku."Anu itu …." Ya ampun, kenapa aku jadi gugup begini?Santai, Alisa. Santai!"Ke rumah Bu … Ani." Astaghfirullah, cuma mengingat nama Bu Ani saja loading lambat bukan main, Lisa! Padahal tinggal mengingat Rhoma Irama, loh."Oh …." Mira mengangguk samar mendengar jawaban dariku."Bu Ani tetangga sini, ada yang baru pulang dari rumah sakit." Aku memberi penjelasan tan
[Lis, ntar jalan, aja, yuk. BT nih, ambil cuti seharian cuma di rumah aja.] Evi yang dulu merupakan teman baikku kembali mengirimi pesan bahkan belum sepuluh menit sejak sambungan telepon kami terputus.[Hah, kemana?][Makan aja, KFC kek, McD, kek][Boleh, deh.][Tenang, aku yang traktir.][Sip lah.]Benar. Aku sungguh beruntung memiliki sahabat sebaik dirinya.***Sorenya, aku yang dijemput oleh Evi, meminta pada teman baikku ini untuk melewati rumah mertua sebelum menuju restoran siap saji yang kami tuju.Dari kejauhan, aku mengamati dengan seksama. Barangkali saja, motor Mas Hamid terparkir di halaman.Ternyata tidak.Ah, mungkin saja benar suamiku memang lembur.Kami pun meneruskan perjalanan saat melihat tak ada tanda-tanda mencurigakan di sana."Yang semangat, dong, makannya." Di restoran siap saji yang kami datangi, Evi menegurku yang tak kunjung menikmati ayam yang sudah lebih dari sepuluh menit lalu disajikan."Kira-kira, Mas Hamid beneran lembur nggak, ya, Vi?" gumamku tanpa
"Kalau sampe cewek aku nggak mau balikan, sampai ke ujung dunia aku nggak bakal maafin kamu!" Ancam Zaki sebelum berlalu meninggalkanku yang masih berdiri kaku setelah mengetahui status Zaki yang sebenarnya."Kalau gitu, Meisha anak siapa?""Udah sih, fokus tes DNA aja. Lebih akurat." Evi menepuk pundakku dan membuatku makin mantap dengan rencana sebelumnya.***Sepulang dari resto, aku pun mulai melakukan pencarian. Mencari rambut mas Hamid di pisau cukur dan sisir yang selama ini dia gunakan menjadi tugasku sore ini.Nihil. Aku tak menemukan sehelai rambut pun di pisau cukur dan sisirnya.Terpaksalah aku harus melakukan cara yang sama seperti saat mendapatkan rambut Meisha tadi siang.Payah!Mas Hamid yang tampak kelelahan, tertidur dengan pulas di sampingku.Saatnya beraksi, Lisa! Saatnya beraksi.Melihatkan Mas Hamid sudah terlelap, aku gerak cepat meraih plastik transparan yang kusembunyikan di balik bantal.Pelan, sambil mengusap lembut rambutnya aku mencoba mencabut beberapa he
Aku mencium punggung tangan Mas Hamid dengan kaku ketika dia berpamitan bekerja pagi ini."Kerja dulu, ya, Sayang."Aku buru-buru menghindar ketika Mas Hamid seperti bersiap mengecup keningku sebelum pergi.Membuat Mas Hamid menatap heran padaku."Maaf, aku kebelet."Huh! Tidak tahu saja kau, Mas. Aku tuh jijik sama kamu!***Siangnya, setelah semua pekerjaan rumah beres, mengikuti saran Evi, aku bergegas ke rumah sakit untuk berjumpa dengan dokter dan melakukan konsultasi. Berharap bisa mendapat surat keterangan dokter agar bisa secepatnya melakukan tes DNA.Ketika konsultasi, aku pun menjelaskan dengan gamblang tujuan tes DNA yang bakal aku lakukan.Dokter mengangguk paham saat aku menyampaikan maksud dan tujuanku.Aku pun diberi tahu perkiraan anggaran biaya dan berapa lama waktu sampai hasil tes DNA keluar."Kenapa, sih, Dok tes DNA itu lama baru keluar hasilnya?""Ya karena memang prosesnya panjang, Bu. Setelah ibu mengumpulkan sampel itu, pihak penguji harus melakukan ekstraksi
Anak siapa? Ayo, Zaki, cepat katakan!Aku yang sudah memencet tombol perekam pada ponselku, menanti Zaki mengungkap siapa ayah bayi misterius itu dengan hati berdebar.Ponsel yang tiba-tiba berdering dari dalam saku celana, membuat Zaki menjeda ucapannya. Ya, kata-kata Zaki yang sedari tadi kudengarkan dengan khidmat dan sebagian telah aku rekam, terdengar menggantung begitu saja. Persis seperti jemuran baju bayi di rumah mertua.Payah!Mana ini? Kok nggak kedengaran apa-apa lagi?Aku yang sejak tadi berdiri tegang di sampingnya saat menunggu jawaban, memang sengaja menatap ke arah lain. Tak mau sampai Zaki curiga kenapa aku bisa sepenasaran itu dengan status Meisha. Nanti disangka aku tukang kepo berat lagi. Ya, walaupun kenyataannya iya, tapi nggak usah ditunjukkan banget, lah.Sekian lama aku menunggu Zaki menyambung ucapan. Namun, suaranya benar-benar tak terdengar lagi.Lah, kok sepi?Aku menoleh perlahan, memandang ke arah di mana Zaki berdiri di sampingku tadi.Tidak ada?Matak