Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Braaak…."Jangan mentang-mentang lagi hamil, terus dibuat alasan untuk bangun siang dan malas-malasan! Di rumah ini, nggak ada pembantu! Kamu anggap aku pembantu? Hah?!" Mala membuka selimutnya dan mencoba duduk, setelah mendengar omelan mertuanya. Kebetulan kamarnya memang tidak terkunci, hingga dengan mudah Bu Samirah membuka pintu kamar menantunya sambil mengomel.Mala merasa kepalanya pusing pagi ini, sejak subuh ia sudah bangun dan hanya menunaikan sholat, lalu kembali ke kamarnya. Mungkin efek kehamilannya yang baru menginjak dua bulan membuat Mala tidak seperti biasanya. Hingga membuat mertuanya geram."Enak banget, ya! Tidur sampai jam segini, rumah sudah bersih, makanan sudah matang, dan Nyonya besar baru bangun." Omelan Bu Samirah semakin nyaring di telinga menantunya. Tapi tak sepatah katapun di sahutinya oleh Mala. Wanita 23 tahun itu bangkit dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Perutnya terasa mual seperti ingin memuntahkan sesuatu.
"Neneeeeek," panggil Wulan, anak pertama Rahmat. "Kamu sudah pulang sekolah, Lan?" tanya Bu Samirah, melihat cucunya datang padahal jam belum menunjukan waktu pulang sekolah. "Ulan gak sekolah, Nek, Mama kesiangan bangunnya," dengan polos. "Ya…Ampun, punya menantu dua biji gak ada yang beres. Istri si Rahmat malasnya gak ketulungan. Sampai-sampai anak sendiri tak sekolah," gerutunya sambil mengaduk balado ikan yang sedang di masaknya. "Ulan lapar, Nek," rengek bocah 8 tahun sambil mengelus perutnya. "Ibumu juga belum ngasih sarapan?" tanya Bu Samirah semakin geram. Wulan hanya memandang dengan wajah sendu. Bu Samirah dengan cepat nyentong nasi dan memberi balado ikan yang sebenarnya belum matang benar. Tapi ia tak ingin cucunya. "Sana makan," titahnya sambil menyodorkan piring pada Wulan. "Bu, Bu Samirah." panggil seseorang dari depan. "Siapa lagi itu, mana lagi repot." ketusnya. "Bu, Bu Samirah." Lagi suara Bu Usman menggema. "Ya…Robbi, mau ngapain lagi dia," gerutu Bu
Ikh, pelit banget sama tetangga juga, mati gak bawa ikan, Mir," cerocosnya saat Bu Samirah hanya memberi setengah potong saja. "Kamu nyicip loh, bukan minta makan bilangnya juga tadi!" Bu Usman mengingatkan ucapan tetangganya. "Tapi gak segini juga kali, eh, tapi enak banget lho, Mir. Bumbunya meresap, garam dan gulanya pas, empuk ikannya juga pas, gak terlalu matang." pujinya sambil mengecap ikan di mulutnya."Maaf, hanya itu yang bisa kamu makan, ini sudah jatah anak suamiku!" Bu Samirah tidak terlena dengan ucapan tetangganya yang ia tahu sering dibilang Ria katanya MODUS."Aku gak bilang minta lho, saya hanya menilai masakan kamu. Kamu pinter banget masak." Sekali lagi Bu Usman berkata manis pada tetangganya. Ia sangat hafal dengan Bu Samirah yang senang disanjung."Ya sudah, aku pamit, nanti sore kita jadi kan ikut pengajian di kampung sebelah?" tanya Bu Usman setelah menghabiskan ikan di piringnya. "Jadi lah, kita sudah tua harus banyak menghadiri pengajian, sisa umur kita su
"Mala kamu ada uang lima ratus ribu gak? Kamu, kalau aku pinjam uang, selalu saja bilang gak punya, padahal uang nya tak seberapa. Lagian aku tahu, Rahman baru kemarin gajian! Pelit sekali sih!" dengusnya dengan kesal dan penuh amarah. Ya … Allah, ini bukan kali pertama Kak Eni pinjam uang, kalau dihitung-hitung sudah banyak hutangnya padaku. Tapi mulutnya itu lho! Padahal aku belum menjawab pertanyaannya, Tapi, seakan aku adalah adik ipar yang pelit tak pernah meminjaminya uang."Maaf, ya, Kak, Mala kan harus nabung buat persiapan empat bulanan dan lahiran, sedangkan gaji Mas Rahman hanya sekedar cukup untuk kami." Aku berusaha cukup tegas kali ini. "Kamu mah, enak tidur nyenyak tanpa mikir bayar kontrakan! Lha, aku? tiap bulan harus bayar kontrakan, kalau gitu gantian kamu yang ngontrak, aku yang tinggal disini kalau gak mau pinjami aku uang!" ucapnya panjang lebar dengan mimik muka yang judes. Aku perhatikan wajahnya tak ada kebohongan di setiap incinya. Apakah, Kak Eni sedang me
"Aku mau pindah kesini pokoknya, Bu!" Ku dengar Kak Eni berbicara sedikit tinggi nadanya dengan Ibu. Akh, bukankah Kak Eni tadi sudah keluar? Kok bisa balik lagi. Aku mendekati jendela ingin melihat ke halaman. Dimana sumber suara Kak Eni muncul."Mau tinggal dimana? Semua kamar terisi. Jangan ngada-ngada," tolak Ibu. "Suruh si Rahman, ngontrak saja, biar tahu bagaimana rasanya bayar kontrakan setiap bulan. Dia sudah setahun tinggal disini, gantian, giliran aku sekarang!" Kak Eni belum menyerah juga agar dapat uang untuk bayar kontrakan rumahnya. "Makanya kamu kalau suami gajian itu, mbok ya ingat, sisihkan buat bayar kontrakan. Bukannya malah jajan dan nge mall," semprot Ibu dengan tatapan mendelik. Kalau sudah begitu, biasanya Ibu yang akan mengeluarkan uang untuk Ka Eni. "Ada apa ini?" Ria memasukan motornya, ia baru aja pulang. Ku lihat ka Eni diam ketika melihat adik bungsunya datang. Kupastikan akan ada hal lebih besar dari sebuah pertengkaran."Ada apa, Bu?" Ku dengar Ria, b
Rumah ini memang besar, dengan tiga kamar tidur, ruang tamu juga ruang keluarga yang luas. Tapi masalahnya, tidak ada lagi kamar tidur. Sedangkan Kak Eni punya tiga anak pula. Akh, kenapa aku yang pusing."Mala," panggil Ibu mertuaku."Eh, iya, Bu," aku menyahuti dengan gelagapan."Mana uangnya?" Ibu menengadahkan tangannya padaku. Aku menatap ragu pada Ibu."Eh, anu, Bu. Mala gak ada uangnya," cicitku, mencoba tetap menolaknya. Walau bagaimanapun bukan kewajibanku memikirkan hidup Kak Eni. Dia pun seandainya suaminya lagi ada kerjaan, pasti akan tidak kenal dengan aku, bahkan dengan ibunya sendiri kadang tidak peduli. Tapi ketika suaminya menganggur, maka keluarga kami-lah yang akan dilibatkan, termasuk aku."Tadi kamu bilang ada uang buat selamatan empat bulanan, sini itu aja, Ibu pinjam dulu, biar si Eni gak bikin pusing lagi," ucap Ibu terlihat frustasi. "Tidak, Bu, syukuran tinggal dua Minggu lagi, Mala takut nanti pas hari H nya uangnya tidak ada, mau kemana lagi Mala sama Mas