"Mala kamu ada uang lima ratus ribu gak? Kamu, kalau aku pinjam uang, selalu saja bilang gak punya, padahal uang nya tak seberapa. Lagian aku tahu, Rahman baru kemarin gajian! Pelit sekali sih!" dengusnya dengan kesal dan penuh amarah.
Ya … Allah, ini bukan kali pertama Kak Eni pinjam uang, kalau dihitung-hitung sudah banyak hutangnya padaku. Tapi mulutnya itu lho! Padahal aku belum menjawab pertanyaannya, Tapi, seakan aku adalah adik ipar yang pelit tak pernah meminjaminya uang.
"Maaf, ya, Kak, Mala kan harus nabung buat persiapan empat bulanan dan lahiran, sedangkan gaji Mas Rahman hanya sekedar cukup untuk kami." Aku berusaha cukup tegas kali ini.
"Kamu mah, enak tidur nyenyak tanpa mikir bayar kontrakan! Lha, aku? tiap bulan harus bayar kontrakan, kalau gitu gantian kamu yang ngontrak, aku yang tinggal disini kalau gak mau pinjami aku uang!" ucapnya panjang lebar dengan mimik muka yang judes. Aku perhatikan wajahnya tak ada kebohongan di setiap incinya. Apakah, Kak Eni sedang mengusirku dari rumah Ibu? Kalau begitu aku sungguh senang sekali. Jadi ada alasan untuk meminta pisah rumah pada Mas Rahman dan Ibu.
Sesungguhnya tinggal bersama mertua itu butuh kesabaran yang luas dan hati yang sangat lapang, dan belum aku miliki. Ini semua terpaksa aku lakukan demi baktiku pada Mas Rahman. Apalagi, kami memang belum punya rumah.
"Cepetan! MANA UANGNYA?" bentaknya, begitu bengis pandangannya padaku. Bagaimana mungkin aku mau minjemin uang, kalau cara pinjamnya begini. Allah, sabarkan aku. Aku beristighfar dalam hati, takut aku terbawa amarah dan melawan kakak iparku ini. Kepalaku mulai berdenyut melihat kelakuan Kak Eni yang tak tahu malu ini.
"Sudah Mala bilang-kan, Kak, Mala gak ada uang simpanan yang harus dipinjamkan. Adapun uang memang hanya cukup buat kebutuhan Mala sama Mas Rahman." Aku tetap menolaknya. Karena kalau aku beralasan gak ada uang, Kak Eni sangat tahu jadwal gajian suamiku.
"Kamu memang kelewatan pelitnya, Mala, padahal aku yang ngurusin Rahman waktu kecil, aku yang nyuci pup-nya dia, kamu istrinya tinggal enaknya saja. Tapi pelit sekali padahal aku pinjam bukan minta!" Kak Eni, keukeuh memaksa ingin aku memberinya pinjaman. Dan aku tidak akan sebodoh kemarin lagi, saat Kak Eni pinjam Emas yang sedang aku pakai.
"Maaf, kak, Mala mual," ucapku lalu buru-buru berjalan ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutku.
"Alasan saja, dasar pelit, biarin nanti lahirannya susah!" gerutuan Kak Eni yang aku dengan diantara aktivitas muntahku. Dengan tega ia menyumpahi calon keponakannya sendiri. Luar biasa sekali mulutnya itu.
Kak Eni sepertinya marah sekali, lalu aku bisa apa? Meminjamkan uang lagi dan dia tidak berniat membayar lagi? Tidak, aku tidak peduli walaupun seluruh dunia men-cap ku adik ipar yang pelit dan perhitungan. Untuk saat ini aku harus mengatur keuanganku. Apalagi kehamilanku sudah menginjak 14 Minggu, itu artinya bulan depan aku harus mengadakan syukuran. Ya memang belum ada hadis mewajibkannya, tapi ini kehamilan pertamaku. Aku ingin seperti kehamilan yang lain, diadakan syukuran empat bulanan, juga tujuh bulanan. Karena adat di kampung ini, ya seperti itu.
Banyak biaya yang harus aku keluarkan nantinya. Aku pun selalu berhemat untuk hal apapun, biar apa? Biar gaji suamiku bisa cukup untuk segala hal.
Jujur saja, tinggal dengan mertua ada hal plus minusnya. Di satu sisi aku bisa menghemat uang kontrakan. Meski Mas Rahman selalu menjatah uang untuk ibunya setiap bulan. Belanja pun kadang dari Ibu. Meski kadang sikap Ibu galak dan bengis, tapi tidak pelit kalau untuk makan anak dan suaminya. Ingat bukan untuk aku ya. Namun keberadaan aku di rumah ini, bak sasaran empuk bagi ka Eni, pinjam uang lah, bahkan makan pun sering numpang.
2cf2-408b-8172-e8567ffb2f44
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi