"Mantan suami saya," jawab Rubi melepaskan tangan Regantara dari pundaknya. "Terimakasih karena sudah membantu saya, Pak. Sudah malam, saya permisi," ucap Rubi sambil mencari-cari dimana kunci motornya berada. "Sialan." Rubi teringat kunci motornya ada pada Dimas."Saya antar kamu pulang, ini sudah malam. Motor masukkan kembali ke toko, bisa kan?"Rubi mengangguk, bagaimanapun ini sudah malam. Rubi juga takut jika Dimas masih membuntutinya."Kenapa dia datang?" tanya Regantara setelah beberapa menit mereka saling terdiam di dalam mobil."Entah," jawab Rubi singkat."Apa sesering itu?"Rubi menggelengkan kepalanya, "dia datang hanya untuk mengancam," jawab Rubi lalu mengusap air matanya."Kenapa?""Saya enggak tau, memang seperti itu hidupnya," kata Rubi."Perpisahan kalian— maksud saya, kalian bercerai tidak dengan baik-baik?""Tidak ada pasangan menikah lalu bercerai secara baik-baik, Pak. Apalagi dikarenakan pihak ketiga," ucap Rubi."Maaf," ujar Regantara tak enak hati."Saya hanya
Regantara sesekali melihat kaca spionnya, beberapa kali juga mata mereka saling bertemu. Sedangkan Rubi masih tak habis pikir dengan sikap Regantara belakangan ini. "Memang Tama mau cari buku apa?" tanya Regantara memecah keheningan. "Om temannya Bunda? Kok aku nggak pernah liat." Tanpa menjawab pertanyaan Regantara, Tama malah bertanya kedekatan Rubi dan Regan. "Tama ...." Rubi yang duduk di belakang berusaha memberikan pengertian pada Tama. "Om Regan ini pemilik perusahaan tempat cateringnya Bunda." "Oh, kok bisa datang ke rumah kita?" tanya Tama tanpa berpikir jika pertanyaannya itu membuat dua orang dewasa itu saling pandang. "Karena kemarin Bunda Tama cerita tentang Tama, jadi Om ingin kenal dengan Tama lebih dekat. Kita bisa jadi teman, mungkin?" Regantara hati-hati sekali menjawab pertanyaan anak berusia 10 tahun itu. "Kita beda umur Om, mana mungkin bisa berteman," jawab Tama singkat. "Tama ...." Rubi menekan suaranya berusaha memperingati sang putra agar berkata yang l
"Jadi Dimas datang?" tanya Inggit sore itu di toko roti Rubi."Iya, kacau ... penampilannya lebih kacau dari biasanya," kata Rubi menyesap teh hangat yang baru saja disajikan Rini."Ngapain lagi sih biang kerok itu nongol, ngajak balikan? Mending kelakuan berubah tapi tetap aja begitu," kata Inggit kesal."Wong ora duwe otak yo ngono, Mbak Inggit," celetuk Bono yang sedang berada di meja kasir. "Kalo ketemu aku udah hancur kali mukanya, untung aja kemarin ada yang nolong.""Siapa?" tanya Inggit penasaran."Bos Semprul," kata Bono sambil senyum-senyum."Siapa Bos Semprul?" Inggit semakin penasaran."Itu yang tinggal di apartemen seberang," ujar Bono melirik ke arah Rubi."What? Serius? Ooh so sweet pasti ya," ucap Inggit sambil bergelayut manja di lengan Rubi."Opo toh, Nggit," sungut Rubi menjauhkan kepala Inggit dari pundaknya sambil tertawa."Eh tapi suami orang, kan?" Inggit mengingat kembali. "Ah, bahaya Bi.""Duda, Mbak Inggit. Emang nasib baik Mbak Rubi," ujar Bono lagi."Wah, g
"Kenapa nggak bareng Bono tadi sekalian, jalanan licin habis hujan pake motor hati-hati, Bi," pesan Widya."Kalo bareng Bono lama, Bu. Enggak apa-apa, Rubi pelan-pelan kok." Rubi menyalakan motornya. "Rubi berangkat, Bu."Cuaca pagi itu masih mendung, sedari subuh hujan sudah mengguyur kota Semarang. Baru setengah jam yang lalu hujan berhenti. Rubi memutuskan naik motor karena masih banyak urusan yang harus dia selesaikan salah satunya ke sekolah Tama membayarkan iuran bulanan sekolah.Rubi melajukan motornya tidak terlalu kencang, rata-rata kecepatan per km. Entah apa yang terjadi, seketika motor Rubi goyang dan tidak dapat di kendalikan."BRAK ...."Rubi mendapati dirinya berada di sebuah klinik setelah seorang ibu menolongnya saat itu. Dengan luka di bagian lutut dan pergelangan kaki yang terasa nyeri, serta bagian tangan yang memar biru Rubi pun menghubungi Bono."Booon," teriak Rubi saat melakukan sambungan video."Mbak, kamu dimana? Kok tiduran?" tanya Bono yang sedang melayani
Tama sedang mengupaskan jeruk untuk Rubi siang itu saat pintu kamarnya di ketuk Widya. "Bi, ada Nak Regan," ujar Widya diikuti Regantara berjalan di belakang Widya.Terhitung sudah dua hari Rubi beristirahat di rumah, selama itu juga Regantara selalu mengunjunginya. "Ini, Bun." Tama memberikan jeruk yang sudah bersih itu pada Rubi."Makasih, Sayang."Tama sesekali melihat ke arah Regantara yang duduk di dekatnya. Anak lelaki itu dari kemarin mempertanyakan pada Rubi siapa Regantara sebenarnya? ada hubungan apa? kenapa lelaki itu sering datang berkunjung?Jawaban yang di lontarkan Rubi pada Tama hanya sebatas, dia hanya teman. "Om kesini lagi?" Akhirnya Tama memberanikan diri untuk langsung bertanya."Mampir, tadi kebetulan Om dari kunjungan di daerah sekitar sini. Tama sudah mandi?""Belum, sebentar lagi. Kenapa Om sekarang sering kesini?""Tama ...." Rubi berusaha mencegah banyak pertanyaan yang pasti akan Tama tanyakan pada Regantara."Enggak apa-apa," ujar Regantara lembut. "Om
"Mbak ...," bisik Bono saat melihat Regantara siang itu masuk ke kafetaria. "Siapin makan siang, Mbak," goda Bono lagi."Aku tuh nek ndelok Pak Regan kok jantunge koyo meh loncat metu yo, de'e pas ning kandungan ibu'e di ke'i opo sih, ngguanteng tenan (aku tuh kalo liat Pan Regan kok jantungnya seperti mau loncat keluar ya, dia waktu di perut ibunya di kasih apa sih, ganteng banget)," ujar Yanti."Yo di kasih makan, Yan ... mosok sajen," celetuk Bono."Kalian ini, ampun ya," kekeh Rubi."Ya ampun, senyum lagi dia." Yanti memegangi dadanya."Ojo duwur-duwur Yan nek ngimpi, nyungsep kapok (jangan tinggi-tinggi Yan kalo mimpi, jatuh baru tau rasa)." Bono tertawa tak henti-henti.Regantara melangkah semakin mendekat, bukan hanya Yanti saja yang terpana pada ketampanan lelaki beralis tebal dan bermata teduh itu, Rubi yang sudah tiga hari ini selalu di buat luluh lantah oleh Regantara pun masih saja berusaha menetralkan detak jantungnya jika bertatapan atau pun berdekatan."Selamat siang,"
"Papa ...." Teriakan hiruk pikuk sore itu terdengar di halaman rumah besar milik mertua Regantara. Kedua anaknya sudah menunggu sejak setengah jam yang lalu di teras rumah.Kayma dan Arsa berlari menghampiri mobil putih itu, Regantara keluar dari mobil dan berganti memeluk kedua anaknya. Lebih dari satu bulan Regantara tak pulang ke Jakarta."Papa ...." Pelukan hangat itu tak di lepas oleh Kayma dan Arsa. "Kay kangen, Pa," ucap gadis kecil itu."Papa juga." Regantara mencium seluruh wajah Kayma. "Arsa kangen nggak?" Regantara mencium bertubi-tubi badan gempal Arsa."Kangen ... Papa kenapa baru pulang sekarang?" tanya Arsa merengek."Banyak kerjaan, Sayang. Ayo masuk dulu, Oma masak apa?" tanya Regantara pada Kayma."Enggak tau, kata Oma masakan yang sering dibuat oleh Mama untuk Papa.""Coba kita lihat," ujar Regantara sambil menggendong Arsa dan menggandeng Kayma."Sore, Ma ...." Regantara mencium punggung tangan wanita paruh baya itu."Regan, sudah sampai ... Mama heran kamu senan
"Kita ke studio foto mau nggak?" tanya Debby. Wanita yang memang selalu sesuka hatinya menentukan keinginan dan tak mau ada penolakan."Mana bisa, Sayang. Kita nggak ada persiapan, masa mau foto dengan pakaian seadanya kayak gini sih?" Meski bukan pakaian yang terlihat tidak layak, namun bagi Regantara berfoto di studio apalagi dengan anggota keluarga lengkap tentu saja dengan pakaian yang lebih berkonsep, bukan dengan sepatu sneaker, celana jeans dan kaos polo seperti yang dia kenakan saat itu."Memangnya kenapa?" Debby menarik kerah baju suaminya mendekat padanya, lalu menempelkan bibirnya pada bibir Regantara. "Kamu begini aja udah ganteng, aku suka," bisik Debby lalu melirik kedua anak mereka yang duduk di kursi tengah mobil."Papa sama Mama kalo mau mesra-mesra jangan di depan kita dong," ucap Kayma anak pertama mereka yang saat itu berusia lima tahun.Arsa yang saat itu berumur dua tahun hanya tersenyum memperhatikan kedua orangtuanya sambil memilin baju boneka kecil yang tak p