"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Biadab kalian!" teriak Rubi saat memergoki suaminya dan salah satu karyawannya sedang bercinta di gudang ruko tempat usaha Rubi yang baru saja berdiri empat bulan."Tega kamu, Mas," isaknya memegangi dadanya yang begitu terasa sakit."Rubi ... Rubi, ini enggak seperti yang kamu pikirkan. Dia yang paksa aku," ujar Dimas memohon."Tega kamu, Mas ...." Rubi terduduk di lantai sementara wanita yang bersama Dimas sedang membenahi pakaiannya."Pergi kalian dari sini! PERGI!!" usir Rubi."Mbak ...." Mbok Inah membantu Rubi berdiri.Wanita itu terlihat kacau, sementara Dimas masih berdiri di depan pintu."Antar saya pulang, Mbok. Dan kamu, jangan pernah lagi menginjakkan kaki di sini, saya tidak mau melihat kamu di sini atau dimana pun," ujar Rubi menatap tajam ke arah wanita bertubuh mungil itu."Rubi ... Rubi dengar penjelasan aku, dia yang menggoda aku, aku khilaf, Sayang," mohon Dimas."Aku jijik lihat kamu, Mas ... jangan pernah dekati aku atau sekalipun Tama. Ingat itu!" Ancam Rubi."O
"Papaaa ...," seru Arsa saat melihat SUV putih itu memasuki pekarangan rumah mereka. Dua malaikat kecil itu melambai-lambaikan tangannya pada Regantara. "Papaaa, katanya janji hari ini mau ke tempat mama," ujar Kayma saat Regantara sudah berdiri di hadapan mereka. "Papa, kan kasihan mama kalo kita nggak dateng lagi," ujar Arsa. Sembari berjongkok menyamakan posisinya dengan kedua anaknya, Regantara bergantian membelai kepala buah hatinya. "Besok, kalo udah nggak hujan kita ke tempat mama, ok?" "Janji ya? Kay udah beliin bunga kesukaan mama tadi." "Oh ya? Sama siapa belinya?" Regantara berdiri, menggandeng kedua tangan putra dan putrinya itu masuk ke dalam rumah mewah bercat putih. "Sama Oma dong," sahut wanita separuh baya yang masih sangat terlihat cantik. "Tadi sepulang sekolah mampir ke toko bunga yang biasa—" lanjutnya lagi. "Kamu sudah di tunggu Papa di ruang makan," ujar Irma. "Kay sama Arsa tunggu Papa di kamar ya," titah Irma. Biasanya jika sedang seperti ini, itu artin
"Pak, meeting setengah jam lagi di mulai," kata Arven assisten Regantara."Kenapa mendadak meetingnya, Ven?" Regantara beranjak dari kursi kerjanya menutup laptop."Kurang tahu juga, Pak. Pak Wahyu meminta semua jajaran terkait untuk hadir, termasuk tadi saya lihat direktur perusahaan cabang kita di Semarang," terang Arven.Regantara orang pertama yang hadir di rapat sore itu lalu di susul beberapa manager divisi dan para jajaran direksi perusahaan food and beverage yang sudah berdiri lebih dari 30 tahun itu. Dan terakhir sosok lelaki tua yang masih nampak gagah itu pun memasuki ruangan.Rapat sore itu berjalan dengan baik, laporan dari semua cabang pun di terima Wahyu dengan garis bibir yang bangga, termasuk cabang baru mereka di Semarang."Ada satu hal yang ingin saya sampaikan, terkait dengan perkembangan cabang baru kita di Semarang. Pak Ramli ...." Sorot mata Wahyu berhenti menatap lelaki berumur 50 tahun itu. "Sebagaimana kita tahu kesehatan Pak Ramli belakangan ini sedang berma
"Bonoooo ...."Suara nyaring Rubi membuat Bono harus berlari tergopoh-gopoh menghampiri pemilik catering tempat dia bekerja."Ini sudah selesai semua," kata Rubi menyodorkan dua paper box berisi sambal ati kentang dan ikan pesmol yang akan dia bawa ke sebuah perusahaan food and beverage."Mudah-mudahan tendernya, kita menangkan ya, Mbak," ucap Bono merapikan perlengkapan yang akan mereka bawa."Iya, mudah-mudahan ... habis antar aku, nanti jemput Tama ya. Takutnya hujan ... banjir." Rubi meraih tas tangannya."Terus, Mbak Rubi nanti naik apa?""Aku bisa pake ojek online, sekalian mau ke toko Bu Ratih beli perlengkapan roti, sudah mulai sedikit.""Oke ....""Cepet ya, Bon. 15 menit kita sudah harus berada di sana," ujar Rubi meraih helm dari tangan Bono."Iya, Mbak ...."Nyatanya, 15 menit berubah menjadi 30 menit lantaran mereka harus terjebak macet di Simpang Lima."Demo, Mbak," ujar Bono membuka kaca helmnya."Demo apalagi?""BBM, Mbak.""Ya ampun." Rubi mendegus kesal."Mau demo ka
"Jadi ... ditinggal gitu aja, Mbak?" Bono menyeruput es jeruknya."Setelah dia mencicipi masakan kita," jawab Rubi."Hhmm ... tapi kayaknya kita menang, Mbak," kata Bono yakin."Seyakin itu kamu, Bon." Rubi kembali berkutat dengan catatannya."Mbak Rubi cerita kalo wajahnya kayak seneng gitu kan waktu nyobain sambal goreng ati." Bono menggeser sedikit gelas berisi es jeruk ke sisi kanannya."Iya sih.""Nah ... masakan yang kita suguhkan kemarin itu aku rasa lebih merakyat. Ya Mbak Rubi tau lah, di sana banyak karyawan pabrik kan ... rata-rata penikmat masakan biasa, itu yang kita jual." Bono mengubah posisi duduknya."Iya, aku ngerti ... cuma aku gak suka bos nya. Sombong ... ih kamu kalo liat juga bakal gemes." Rubi meletakkan pulpennya. "Mukanya itu nyebelin, gayanya gini kalo ngomong," ujar Rubi memperagakan tangan Regantara yang di lipat di depan dada."Haha ... hati-hati Mbak, biasanya dari benci jadi cinta." Bono tertawa."Hush ... opo toh, kamu ada-ada aja. Eh iya, kamu hari in
"Dua menu ini untuk hari Senin dan Selasa ya, Bu," ujar Rubi meletakkan dua kantung kresek di lantai dapur di susul Bono yang membawa lebih banyak kantung kresek berwarna hitam."Ya sudah, nanti Ibu dan Mbok Inah yang kerjakan. Kamu siap-siap sekarang," ujar wanita berumur 55 tahun itu pada Rubi."Nanti ada Yanti yang akan membantu kita, Bu. Rubi hanya sebentar kok ....""Terus yang di toko hanya dua orang? Roti sudah dikerjakan semua?" tanya Widya lagi."Sudah semua, semua tugas mereka sudah Rubi bagi-bagi. Jadi mudah-mudahan ndak ada masalah."Ibu Widya mengangguk-angguk, selama ini wanita paruh baya itu selalu percaya dengan semua yang Rubi kerjakan. Rubi hanya memintanya untuk membantu sebisanya saja."Mbak, ayo nanti kita terlambat ... enggak enak," ujar Bono. "Aku tunggu di depan, ya.""Iya, aku siap-siap dulu," ucap Rubi lalu menoleh ke arah Widya. "Mbok Inah, semangat ya ...." Rubi mengangkat lengannya lalu tersenyum ke arah wanita yang sama tuanya dengan sang Ibu."Iya, Mbak