Share

3. Apa itu Water Candle

"Jangan ngaco, Daddy, mana ada desa di Indonesia namanya Water Candle, nggak usah ngelawak, Daddy," pekik Anya yang saat ini sedang tidak mood untuk diajak bercanda.

"Ada, Anya, namanya Cililin kalau diubah ke bahasa Inggris itu bisa jadi Water Candle." Rhoma mengambil surat tanah yang ada di meja dan menunjukkan sebuah sertifikat tanah ke keluarganya.

"Ci artinya air dalam bahasa Indonesia dan bila diubah ke bahasa Inggris akan berubah menjadi water, sedangkan lilin dalam bahasa Inggris berubah jadi candle. Jadi, kalau disatukan bisa jadi Water Candle," ucap Rhoma sembari mengangkat kedua jempolnya dan langsung mendapatkan lemparan sebuah bantal yang istrinya lemparkan.

"Ngaco kamu, Rhoma ... kamu nggak lagi bercanda, kan?" tanya Ani sembari mengusap keningnya karena pusing bukan main, punggungnya pun mulai terasa sakit sepertinya darah tingginya sedang kumat.

"Tidak, Ani. Tidak mungkin aku membohongi kamu dan anak-anak. Keberadaan rumah ini adalah benar adanya."

"Emang Daddy pernah ke sana?" tanya Boy yang benar-benar tidak tahu kalau Rhoma memiliki rumah di daerah bernama Water Candle itu, demi semua umat di muka bumi pertiwi kenapa pula Rhoma bisa terpikir memelesetkan nama Cililin menjadi Water Candle? Astaga.

"Nah itu, masalah terbesarnya. Daddy belum pernah ke sana jadi, Daddy nggak tahu kondisi rumahnya kaya gimana," ucap Rhoma jujur karena ia pun mendapatkan surat tanah itu terselip di antara tumpukkan celana dalamnya tadi.

"Daddy!?" pekik Anya dan Boy kesal karena kebodohan Rhoma yang membuat mereka naik darah.

"Tapi, setidaknya kita punya tempat berdiam dan bernaung, karena Daddy yakin besok dan seterusnya akan banyak debt collector yang datang untuk menagih hutang," ungkap Rhoma yang tahu kalau ada beberapa hutang kartu kredit, KTA (Kredit Tanpa Agunan) dan hutang lainnya yang sudah jatuh tempo.

"Aku tidak mau, Rhoma ... aku tidak mau pergi ke Cililin atau apa pun namanya itu, aku tidak bisa Rhoma, kamu tega." Ani langsung membayangkan tinggal di pedesaan yang jauh dari internet, jejaring TV kabel ataupun dari semua kenikmatan juga kemudahan yang ia dapatkan di kota besar.

"Ani ... tunggu Ani, kita harus ke sana," pinta Rhoma sembari duduk di samping Ani sembari berusaha menenangkan istrinya itu yang sudah terlihat letih, lesu dan kurang tenaga.

"Rhoma, nggak mungkin kita ke sana, kamu nggak liat Boy, sudah kelas dua SMA dan Anya sedang kuliah semester ...." Ani berpikir sebentar sudah semester berapa Anya itu, "kamu semester berapa Anya? Harusnya kamu udah mau lulus."

Anya hanya bisa menggaruk bagian belakang kepalanya dan memamerkan deretan giginya yang putih, "Semester ganjil, Mom."

"Iya semester ganjil itu berapa? Ih ... anak sama Bapak sama aja, sama-sama suka bikin teka teki silang," geram Ani sembari menunjuk hidung Anya dan Rhoma bergantian.

"Semester sebelas," cicit Anya yang terlambat lulus kuliah.

"Nah dengar, anak kamu Anya sudah semester 11, entah mau berapa ratus semester lagi dia di sana, lama banget kamu kuliah, Nak? Dosennya sayang banget atau kamu yang bengak?" tanya Ani yang tiba-tiba sadar kalau anaknya itu sudah terlalu lama kuliah.

"Semuanya bisa diatur, Ani, kita harus tinggal di Cililin Ani. Sampai keadaan keuangan kita kembali stabil, biar aku memulai bisnis usaha di sana, aku sudah memiliki banyak rencana untuk kembali memulai bisnis usaha," ungkap Rhoma.

"Kamu mau bisnis apa lagi? Kamu mau mulai dari awal? Kamu yakin? Kamu udah sepuh, Rhoma." Ani mengingatkan umur Rhoma yang sudah tidak muda lagi, rasanya Ani ingin mengingatkan keadaan Rhoma yang harus diusap pinggangnya dengan parcok karena salah bantal beberapa hari yang lalu.

Sekarang Rhoma malah ingin melakukan usaha baru yang pasti akan menyita waktu suaminya itu dan juga tenaga yang terkuras akan sangat banyak. Ani tidak mau suaminya itu sakit, astaga ... Ani tidak bisa membayangkan dirinya hidup sebagai seorang wanita, bangkrut, miskin, banyak hutang dan janda ditinggal mati pula. Menyedihkan.

"Kita coba, Ani. Karena kalau kita tetap di sini, aku khawatir kalau hidup kita tidak tenang karena akan banyak debt collector yang datang dan mengganggu kehidupan kita." Rhoma mengingatkan risikonya pada Ani.

"Lalu sekolah anak-anak gimana?" tanya Ani yang tetap mementingkan sekolah anak-anaknya, Ani memang cuek dengan anak-anaknya namun, ia tidak ingin anak-anaknya ini putus sekolah.

Rhoma menunjuk Boy, "Boy, bisa pindah sekolah ke SMAN 1 Cililin mungkin, dan ...." Rhoma menunjuk hidung Anya sambil berpikir keras apa yang harus dilakukan dirinya pada anak pertamanya itu.

"Aku ngapain, Daddy?" tanya Anya waswas, rasanya aneh saja bila Anya harus pindah kampus saat pertengahan kuliah.

"Daddy bingung kamu mau ngapain, karena kuliah kamu nggak selesai-selesai," lirih Rhoma yang sadar kalau anak pertamanya itu belum bisa mendapatkan tanggung jawab sama sekali.

"Daddy ...," bisik Anya kesal karena lagi-lagi ia dianggap seperti anak kecil di keluarganya. Tidak pernah diberikan tanggung jawab apa pun juga.

"Pokoknya kita harus, wajib, pindah ke Cililin, minggu depan kita harus pindah. Sekarang kita bisa tinggal ditempat ini untuk sementara waktu. Tapi, setelahnya kita harus pindah," ungkap Rhoma sembari menyerahkan satu persatu koper ke tangan Anya, Boy dan Ani yang hanya bisa pasrah menghadapi segalanya.

••

"Apa yang mau dibawa coba, Boy?" tanya Anya sembari menunjuk kamarnya yang kosong melompong dan hanya ada gundukan saja di kasur.

"Bawa yang penting aja," jawab Boy bersemangat.

Anya menatap adiknya yang terlihat sangat bersemangat. "Kamu ini, kita bangkrut kok malah happy? Otak kamu nggak lagi konslet, hah?" tanya Anya sembari mengetuk-ngetuk keningnya, Adiknya ini memang terkadang membuat Anya kesal. Si Cupu yang selalu dibully oleh teman-teman sekolahannya hanya karena masalah sepele dan tidak jelas.

"Nope ... aku lagi happy karena aku bisa pindah sekolah dan ninggalin semuanya dan memulai sesuatu yang baru, tanpa ada yang bakal bully aku, lagi." Boy menggerakkan alisnya ke atas dan ke bawah karena merasa sangat bahagia ia akhirnya bisa keluar juga dari sekolahnya.

"Kamu pindah ke SMA baru di Water Candle itu kamu dibully lagi palingan," ucap Anya seraya merangkul bahu Boy dan memiting badan adiknya itu hingga membuat Boy berteriak-teriak.

"Aw ... aw ... udah, udah." Boy meminta ampun agar Anya tidak melanjutkan pitingannya, tangannya menepuk-nepuk lengan Anya sekeras mungkin.

"Ampun, hah? Ampun?" tanya Anya yang sangat suka menyiksa adiknya itu.

"Ampun, Kak, Ampun ...." Boy mundur saat Anya melepaskan pitingannya, "ampun ... pantesan jomblo dari lahir, mana ada laki yang mau sama perempuan barbar kaya, Kak A ...." Boy sama sekali tidak melanjutkan perkataannya karena sudah dikejar Anya dengan menggunakan bantal.

Mereka berlari ke arah ruang keluarga dan kaget saat melihat kebagian bawah rumahnya yang langsung melihat pintu keluar rumah dan mendapati gerombolan orang berbadan tegap masuk ke dalam rumah secara paksa dan berteriak keras di hadapan Rhoma.

"Rhoma ... liat muka saya!? Saya tidak takut!? Kamu harus bayar hutang kamu, Rhoma!? Demi Tuhan!?" teriak lelaki berperawakan tinggi gelap dan berwajah mengerikan, lelaki itu mengentak-entakkan kaki kanannya ke lantai saat mengatakan kata demi Tuhan membuat Anya dan Boy ketakutan.

"Tenang, Bung, bisa kita bicarakan ... tenang," bujuk Rhoma ketakutan sembari mengangkat kedua tangannya berusaha menenangkan lelaki tersebut.

"Bayar hutang kamu, Rhoma!?" bentak lelaki itu keras.

"Tenang ... bisa kita bicarakan," pinta Rhoma yang berjuang untuk berbicara setenang mungkin padahal di dalam hatinya jantungnya bergoyang poco-poco saking takutnya.

"Alah ... bacot kamu, Rhoma," teriak lelaki itu dan mengangkat sebelah tangannya.

"No ... Daddy!?"

••

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Claresta Ayu
Duuuuh....jahat banget ya temen Rhoma
goodnovel comment avatar
mommy_Ardaf
dari judulnya aja dah bikin nahan pipis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status