Share

5. Cililin Here We Come

“Rhoma, apa itu?” tanya Ani saat melihat sebuah bus kecil berwarna biru cerah, secerah lampu-lampu yang ada di sekeliling mobil baik di bagian dalam dan luar mobil, mobil itu sangat meriah ditambah musik dangdut yang membahana luar biasa dari dalam speaker mobil. Ani bahkan langsung menyerngit saat mendengarkan lagu Ani yang seolah memanggil-manggil namanya.

Ani, Ani

Sungguh aku tahu kau rindu padaku

Ani, Ani

Engkau juga tahu 'ku rindu padamu (Rhoma Irama-Ani)

“Ini mobil yang akan membawa kita ke Cililin, Ani,” sahut Rhoma sembari memasukkan koper-koper ke dalam mobil, Rhoma hanya bisa mengurut dada dan menyingsingkan lengan baju saat melihat betapa banyaknya koper yang keluarga mereka bawa padahal sudah banyak barang-barang yang diambil oleh orang Bank tapi, kenapa barang keluarganya masih banyak sekali.

“Daddy, ini mobilnya?” tanya Boy bersemangat sembari mengenakan kaca mata hitam miliknya, ia sangat suka karena hari itu dirinya tidak usah bersekolah dan meninggalkan sekolah juga teman-temannya yang selalu membully dirinya karena dia anak orang kaya. Sekarang dia sudah menjadi anak orang tak punya, jadi Boy yakin tidak akan ada seorang pun yang membully dirinya lagi.

“Iya itu mobilnya, kamu coba tolong bawakan koper Kak Anya, Boy,” pinta Rhoma yang sudah mulai habis napasnya karena mengangkat banyak koper dari tadi.

“Oke.” Boy berjalan dengan riang gembira saat mengambil koper milik Anya, ia bahkan tidak peduli dengan Anya yang sedang melihat dirinya dengan pandangan kesal.

“Kamu tuh aneh, ya. Kita ini mau pergi ke kampung dan jadi bangkrut tapi, kenapa kamu bahagia banget?” tanya Anya yang kesal melihat binar kebahagiaan dari wajah Boy karena menurut Anya itu aneh, manusia mana di dunia ini yang bahagia menjadi orang miskin dan sengsara?

“Karena bahagia adalah sebagian dari iman, Kak,” ucap Boy santai.

“Kebersihan sebagian dari iman, Boy, bukan bahagia sebagian dari iman, ih ... ngaco banget kamu, Boy,” maki Anya kesal dengan tingkah laku Boy yang sangat menyebalkan hari ini.

“Udah ... jangan berantem, bantu Daddy kalian, kasihan Mommy liatnya, bisa-bisa encok Daddy kalian itu,” perintah Ani pada kedua anaknya yang tidak pernah akur dan selalu berkelahi hanya karena masalah kecil saja.

Ani berjalan ke arah tempat duduk yang tersedia di terminal bis, ia kembali mengingat kapan terakhir kali dirinya naik bis? Setelah ia pikirkan lagi ia belum pernah naik bis sama sekali setelah menikah dengan Rhoma, ia selalu diantar dengan sopir menggunakan mobil-mobil keluaran terbaru dan berjalan-jalan dengan fasilitas terbaik yang ada di kelasnya, namun, saat ini? Oh ... jangan harap, ia harus menerima nasib hanya menggunakan bus sewaan yang terlihat nyentrik.

“Punten (maaf), Ibu teh mau ke Cililin juga?”

Ani yang sedang duduk dengan cepat menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang wanita bertubuh mungil, dan berusia sekitar 30 tahun menatap dirinya, “Iya saya mau ke Cililin juga, saya mau pindah ke sana.”

“Oh, Punten, jadi Ibu teh mau tinggal di kampung saya? Wah ... keren Bu, saya juga orang sana, Bu,” ucap wanita itu sembari menyodorkan tangannya, “Nama saya teh Resty, tapi panggil aja Ety.”

Ani menyambut uluran tangan Resty dan berusaha tersenyum ramah karena dia tahu mungkin saja mereka bisa bertetangga di Cililin. “Saya Ani.”

“Punten, nama saya Ety, Ety gadis jujur,” sahut Resty lagi mengumumkan nama panjangnya pada Ani.

“Oh ... baik,” jawab Ani yang bingung harus membalas apa pada Resty karena nama panggilannya yang sangat aneh menurut dirinya, ayolah ... siapa orang tua di dunia ini yang menamai anaknya Ety gadis jujur? Kenapa tidak sekalian saja menamainya Resty sang penumpas kemungkaran dan kejahatan juga selalu menebarkan akhlak baik. Ah ... sudahlah, Ani pusing mengurusi kehidupan orang-orang di sekitarnya, karena hidupnya saja sudah carut marut tak tentu arah.

“Punten, Ibu teh pindah ke Cililin kenapa? Padahal enak di kota, Bu,” ucap Resty.

“Kami pindah karena ingin mencari suasana baru di pedesaan, menikmati udara desa Cililin yang katanya segar,” dusta Ani, tidak mungkin dia mengatakan kalau keluarganya bangkrut dan membuat mereka berpindah ke Cililin pada orang asing bukan.

“Punten, saya juga dulu pernah kaya gitu,” jawab Resty.

“Jalan-jalan dan menikmati udara Desa Cililin yang asri, Ety?” tanya Ani.

“Bukan, punten bukan jalan-jalan sih,” sahut Resty pelan.

“Terus ngapain?” tanya Ani penasaran.

“Nyasar,” jawab Resty sembari tersenyum sumingrah seolah nyasar adalah suatu prestasi yang sangat dibanggakan oleh dirinya.

Ani hanya bisa menghela napas dan meminum air di botol minumannya juga berdoa semoga dirinya tidak mendapati warga desa Cililin yang lebih absurd lagi dari Resty atau Ety si gadis jujur.

***

Sepanjang perjalanan keluarga Rhoma hanya bisa menahan napasnya dan terus memaki cara supir bus itu menjalankan mobilnya, rasanya setiap tikungan yang ia lewati membuat mereka seolah menghantarkan nyawanya ke yang maha kuasa lebih cepat karena mobil yang mereka bawa dilajukan dengan kecepatan cahaya.

“Mas ... bisa tolong santai aja nggak sih bawa mobilnya!?” maki Anya yang tubuhnya terpelanting ke kiri dan ke kanan akibat mobil yang di bawa sopir tersebut dijalankan secara ugal-ugalan.

“Teh, ini teh udah paling santai, chill aja teh, chill,” sahut sopir mobil bus sembari mengisap rokok keretek miliknya dan menggerakkan kepalanya mengikuti alunan house musik yang memekakkan telinga semua orang di dalam mobil.

“Chill chill ... chiller maksud lo?!” maki Anya kesal bukan main karena cara bicara sopir yang sosoan Inggris tapi, aneh menurut Anya.

“Astaga ... Rhoma tangkap itu ayam, Rhoma,” pekik Ani yang kaget saat mendapati ada ayam betina melewati dirinya dan dengan santainya duduk manis di antara pahanya, menatapnya dengan tatapan penuh rindu.

“Ayam siapa ini, Ani?” tanya Rhoma kaget dan berusaha menangkap ayam itu dan menggenggamnya dengan erat hingga Ayam tersebut tidak dapat bernapas dengan baik.

“Eh ... itu ayam saya, jangan di cekik kasihan,” ucap lelaki berwajah lumayan tampan dan mengenakan pakaian hansip, “itu teh Ayam oleh-oleh buat Pak RT tahu,” ucap lelaki itu lagi sambil mengambil ayam dari tangan Rhoma.

“Kandangi Ayamnya, Bung,” ucap Rhoma sembari menyerahkan ayam itu pada lelaki berbaju hansip yang dilihat dari papa namanya bernama Fauzi.

“Jangan dicekik, nanti dia nggak bisa napas. Aduh bapak ini tidak berprikeayaman yang adil dan beradab.” Fauzi mengelus ayam miliknya dengan penuh cinta dan kasih sayang seolah ayam itu anaknya sendiri.

Rhoma hanya  bisa menggeleng dan kembali melihat ke arah jalan di depannya yang ternyata sudah sampai ke tempat di mana mereka harus turun. Setelah beberapa menit akhirnya Rhoma dan keluarganya turun dari bus tersebut dan mengeluarkan semua barang-barang milik keluarganya yang sangat banyak.

“Daddy, kita ke mana sekarang?” tanya Anya sembari mengenakan topinya karena cuaca di sana lumayan panas. Matanya melihat pemandangan sekitar dan sama sekali tidak melihat apa pun selain jalanan menanjak yang terlihat lumayan terjal.

“Kita harus ke sana,” ucap Rhoma sembari menunjuk ke arah jalan yang mendaki dan berkelok-kelok.

Pandangan Anya langsung melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Rhoma dan hanya bisa menghela napas panjang, sepertinya perjalanan ke rumah masa depan mereka harus mendaki gunung dan melewati lembah, detik itu juga Anya rindu kehidupannya sebagai orang kaya.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Claresta Ayu
Sabar Ani sabar...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status