Seminggu sudah sejak Alexander memimpin perusahaan El group’s yang merupakan perusahaan milik keluarga Libason. Sejak saat itu pula ia terus menelusuri tentang orang-orang yang sudah masuk dalam rencananya sembari meneruskan lakunya sebagai pengganti presdir. Waktu yang ia rencanakan memakan waktu sangat lama, maka ia tidak akan menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bersantai dan menikmati. Ini belum seberapa dengan semua rencana yang ia susun. Perjalanan masih lumayan panjang dan Alexander berusaha keras agar tidak memakan banyak waktu untuk mendapatkan hasil yang ia inginkan.
Tepat pukul satu siang, saat waktu istirahat. Alexander pergi dari ruangannya untuk makan siang, dan juga melihat salah satu orang dalam rencananya. Dia adalah salah satu anak buah kepercayaan Jeremy yang juga bekerja di perusahaan, tetapi khusus dibagian produksi dan hanya keluar ruangan saat jam makan. Alexander sudah memperhitungkan semuanya sejak awal, dan benar saja. Orang yang ingin ia temui baru saja keluar ruangan untuk pergi ke kafe perusahaan yang memang disediakan.
Alexander berjalan mendekat. Memperhatikan sosok itu dari belekang sebelum akhirnya ia menyapa lebih dulu.
“Selamat siang, Tuan John.”
Pria itu menoleh begitu namanya dipanggil seseorang. Ia menampakkan senyumnya setelah tahu bahwa itu adalah pemimpinnya dan sekaligus menantu dari Jeremy selaku boss-nya. “Ah, selamat siang juga, Tuan Lemos.”
“Apa anda akan makan siang? Jika benar ku pikir tidak ada salahnya kita makan bersama.”
John mengangguk menyetujui dengan senyuman lebar. “Ide yang bagus. Aku tak menyangka kau adalah pria yang begitu sopan dan baik hati. Aku kurang memperhatikan sekitar.”
Alexander hanya menanggapi dengan senyuman. Mereka terus berjalan menuju kafe perusahaan dan sesekali berbincang tentang pekerjaan. Sampai pada saat mereka akan memulai makan, Alexander berdehem yang membuat John menatap ke arahnya.
“Aku ingin bercerita disamping kita makan. Bisakah aku?” tanya Alexander meminta persetujuan John yang lantas mengangguk menyetujui.
Alexander tersenyum dan mulai menyendok makanannya. “Ku pikir ini cerita yang basi karena aku mendengarnya juga sudah sangat lama tetapi karena tidak ada yang pembahasan diantara kita, ku pikir tidak ada salahnya aku bercerita.”
Alexander masih saja merasa sungkan dengan apa yang akan ia ceritakan kepada John, sementara pria yang usianya jauh lebih tua dari Alexander itu melambaikan tangan. Bermaksud agar Alexander tidak perlu merasa sungkan dan santai saja.
“Ceritakan saja. Tidak perlu merasa sungkan. Lagipula kita perlu mendekatkan diri sebagai atasan dan bawahan. Bukankah begitu?”
Alexander mengangguk menyetujui. Ia lantas menyendok makanannya dan mulai makan pelan-pelan. Dilihatnya John yang juga mulai makan.
“Kejadian ini sudah sangat lama saat aku bertemu dengan temanku. Aku bertemu dengannya saat usiaku sepuluh tahun dan kami bertemu di sebuah taman.”
Alexander memulai ceritanya dengan sesekali kembali makan, dan John yang mendengarkan dengan suka rela.
“Dia bercerita padaku bahwa ia sudah tidak lagi memiliki orang tua karena sebuah kejadian. Di situ aku hanya diam dan mendengarkan saja. Dia bercerita bahwa kedua orang tuanya dibunuh oleh sekelompok orang di dalam rumah saat ia sedang bermain dengan teman-temannya dan menemukan kedua orang tuanya sudah tergeletak di lantai dengan banyak darah yang menggenang.”
John menghentikan aktifitasnya. Memperhatikan Alexander yang terlihat tenang menceritakan hal seperti ini dan juga John yang mengingat sesuatu tentang dirinya dan beberapa orang saat itu.
“Dia terlihat begitu sedih bahkan saat aku menawarinya sebuah roti dia hanya melihat tanpa berniat mengambilnya, padahal saat itu dia terlihat kelaparan dan tidak terawat. Dia juga bercerita bahwa sejak kejadian itu dirinya menjadi gelandangan dan hidup sesukanya. Tidak memiliki seorang pun untuk mendengarkan keluh kesahnya sebab ia tidak memiliki keluarga lain. Nenek dan kakeknya telah lama meninggal dan kedua orang tuanya juga dibunuh oleh sekelompok orang.”
John menundukkan kepalanya. Merasa bersalah meski ia tidak yakin apakah Alexander benar-benar memiliki teman seperti ini atau Alexander hanya mengada-ngada. Hanya saja, John merasa tidak asing dengan cerita ini dan apa yang ia lakukan di masa lalu. Jika cerita yang Alexander katakan ini adalah cerita dari anak dua orang itu, John sungguh merasa bersalah. Bagaimanapun juga ia masih memiliki perasaan kepada anak malang itu.
Alexander melihat sebentar ke arah John dan pria itu yang terus menundukkan wajahnya. Senyuman miring Alexander sunggingkan dan kembali melanjutkan ceritanya.
“Aku memintanya ikut bersamaku agar orang tuaku juga merawatnya, tetapi ia menolak dengan alasan ia tidak bisa berhenti memikirkan alasan dibalik dibunuhnya kedua orang tuanya. Ia hanya memiliki rumah peninggalan kedua orang tuanya dan tidak ingin pergi dari sana hanya demi mengingat kenangan tentang kedua orang tuanya. Setelah itu, dia izin pergi dan aku memintanya membawa roti yang sempat ia lihat. Kasihan sekali, tetapi aku tidak bisa berbuat banyak sebab aku sendiri tidak pernah merasakan hal itu.”
“Siapa nama temanmu itu? Bagaimana keadaannya?” tanya John mencoba menyembunyikan rasa penasarannya karena kasihan mendengar cerita Alexander.
Alexander menggeleng. “Aku tidak tahu siapa dia dan dimana dia saat ini. Aku hanya sekali bertemu dengannya saat berada di sebuah taman bermain. Dia begitu sedih dan aku tidak tahu harus berbuat apa karena aku sendiri tidak mengalami hal seperti itu. Hanya saja, aku merasa jika aku menjadi temanku maka aku akan membalas perbuatan orang-orang itu kepada keluarganya meski banyak resiko yang harus ia lalui.”
John melihat ke arah Alexander tidak percaya. Raut wajahnya tampak sekali ketakutan, tetapi juga berusaha menyembunyikan kebenaran. Ia tidak bisa membayangkan bahwa pemikiran Alexander bisa saja sama dengan pemikiran anak itu. Bisa saja anak itu kembali menampakkan diri dan membalas perbuatan mereka saat itu. John … ia harus berhati-hati mulai saat ini meski belum tentu anak yang Alexander ceritakan ini adalah korban dari kejadian masa lalunya.
Alexander mengedikkan bahunya dan ikut menatap John. Melihat pria itu yang terlihat sekali takut akan sesuatu tetapi Alexander tidak peduli. Ia mengalihkan pandangannya.
“Ku rasa dia hidup dengan baik sekarang. Aku juga tidak tahu pasti setelah pertemuan singkat kami waktu itu,” ujar Alexander dan kembali menata John.
John berdehem dan meminum kembali minumannya. Meneguknya kasar lalu meminta izin Alexander untuk pergi ke toilet. Sedangkan Alexander hanya diam dan memperhatikan kepergian John yang tiba-tiba. Senyumnya tersungging sinis dengan sorot mata elangnya yang terus menatap ke depan sana. Otaknya mulai berselancar dengan rencana-rencana yang akan ia lakukan setelah ini.
Alexander menghela napas pelan sebelum akhirnya beranjak. Meninggalkan area kafe dan berjalan menuju ruangan kerjanya karena waktu istirahat hampir habis. Mengabaikan John yang mungkin saja sedang berpikir tentang anak yang ia ceritakan itu dengan segala perasaan bersalahnya. Bisa Alexander lihat sendiri bahwa pria itu terlihat takut dan menyesali perbuatannya, tetapi memang nasi sudah menjadi bubur. Semua rencana Alexander tetap harus dijalankan apapun keadaannya.
Alexander memasuki ruangannya kembali. Mendudukkan diri di kursi dan membuka sebuah kotak yang selalu tersimpan rapi. Senyuman yang terus ia perlihatkan memudar dengan sorot mata elangnya menatap pada sebuah kertas yang ada ditangannya.
“Aku menemukan mereka.”
“Kau baru pulang?”Alexander tak menggubris Kimbeerly yang baru saja bertanya saat ia baru masuk ke dalam kamar. Ia menaruh tas kerjanya di meja dan berangsur pergi menuju kamar mandi begitu saja. Mengabaikan Kimbeerly yang melihatnya pergi dengan raut wajah sedih sebab tidak digubris oleh suaminya.Alexander mengintip sebentar untuk melihat Kimbeerly, wanita itu mengambil tas kerjanya dan meletakkan pada tempat yang benar lalu menuangkan air putih ke dalam gelas yang kosong yang selanjutnya di minum wanita itu. Alexander menghela napas pelan dan kembali fokus dengan apa yang akan ia lakukan. Membersihkan diri dan beristirahat setelah seharian penuh bekerja.Kimbeerly mendudukkan diri di sofa yang ada di kamar. Sesekali melihat bagian kamar mandi yang masih tertutup pintunya. Ia menunggu Alexander untuk melakukan makan malam bersama karena ia sudah menunggu kepulangan Alexander sejak beberapa jam yang lalu, tetapi pria itu seolah tidak ingin melihatnya. Bahkan menanggapi ucapannya jug
Berita terbunuhnya seorang pegawai membuat heboh perusahaan. Antara karyawan saling menyatakan argument-nya dan kenyataan yang menyakitkan. Semua itu karena berita pagi ini yang memberitahukan kepada semua orang bahwa kepala devisi bagian produk meninggal dunia saat perjalanan bisnis.“Dari keterangan penyidik tidak ada yang salah dengan mobilnya tetapi kenapa tiba-tiba menabrak sesuatu. Apa ini sebuah jebakan dari seseorang?”Salah satu karyawan yang satu ruangan dengan korban menyatakan pemikirannya dengan teman-temannya yang lain. Sementara itu, beberapa diantaranya terlihat sedih tetapi juga tidak peduli. Rasa simpati tentu saja ada antara manusia, hanya saja jika dipikirkan terus menerus maka masalahnya tidak akan akan selesai.“Jangan bicara sembarangan. Mungkin memang sudah menjadi takdir tuan John mengalami hal seperti ini. Kau terlalu banyak menonton film hingga tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana khayalan. Semua ini hanyalah takdir buruk yang menimpa tuan John, kit
Seminggu sudah sejak kejadian kematiannya John yang membuat karyawan dan semua orang kaget dengan kenyataan yang ada. Alexander telah kembali tiga hari yang lalu dan menyelesaikan kontraknya dengan baik bersama Felix. Kini saat berada di rumah, ayah mertua dan keluarga Libason juga tengah memberondong dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bisa dikatakan menyudutkan dirinya.“Tapi, bagaimana kalian tidak tahu kejadian itu bahkan saat kalian melakukan pekerjaan yang sama.” Victoria mengungkapkan lagi pertanyaannya yang sudah Alexander jawab untuk kesekian kalinya.Semua orang juga memperhatikan Alexander yang membuat pria itu semakin tersudut dengan pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan.“Kami melakukan perjalan secara terpisah dan aku yang tertinggal. Tuan John dan lainnya lebih dahulu berangkat ke tujuan sebab aku masih memiliki pekerjaan sebelumnya. Bagaimana aku bisa tahu jika tuan John mengalami kecelakaan di depanku? Kita bahkan menggunakan jalan yang berbeda.”Kimbeerly
Alexander menatap satu orang yang berada diujung jalan sana. Pria yang tengah mengenakan mantel tebal dengan syal sebab udara dingin yang menyita. Tak berbeda jauh dengan dirinya yang menggunakan pakaian serba hitam juga jaket tebal berwarna serupa. Kakinya mulai melangkah dengan sosok di sana yang masih menunggu jemputan dengan sepanjang jalan yang amat sepi. Sorot mata elang itu tak henti menatap sosok di sana dengan kedua tangan yang berada di dalam saku jaket. Senyumannya tersungging dengan rencana epik yang sudah ia sempatkan sejak awal datang ke tempat ini. Sosok di sana, salah satu orang lagi yang telah merenggut kebahagiaannya saat kecil. Yang telah membuatnya kehilangan dua orang yang begitu ia cintai dan kasihi. Suara kaleng kosong yang sengaja ditendang membuat sosok di sana menoleh. Wajah pias terlihat begitu jelas dimata Alexander yang menutupi wajahnya dengan masker dan topi hingga menyisakan bagian mata saja yang samar. Alexander semakin mendekat dan sosok pria itu ya
“Mr. Robert ditabrak truk saat di jalan? Yang benar saja.” “Pada kenyataannya memang begitu. Lalu siapa lagi yang hendak kau salahkan? Presdir kita yang sebelumnya dicurigai banyak orang karena keputusannya? Dia bahkan membawa kesuksesan untuk perusahaan ini tanpa mengabaikan tuan John yang meninggal saat itu.” Pria itu terdiam karena tidak lagi berani curiga dengan siapapun setelah sebelumnya mengatakan pikirannya yang tertuju kepada presdir baru mereka. Pada kenyataannya, Mr. Lemos adalah pembawa kesuksesan untuk perusahaan mereka yang hampir terkena tipuan oleh beberapa orang yang bekerja sama dengan mereka. Ia belajar dari kejadian sebelumnya dan malu dengan apa yang ia ungkapkan waktu itu. Alexander yang ia pikir melakukan kesalahan kepada tuan John ternyata malah memutuskan hal besar untuk semua orang. “Jangan sembarangan bicara apalagi mengungkapkan kecurigaan. Manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari kesalahan.” “Aku tidak menaruh curiga dengan siapapun kecuali
“Kenapa bisa terjadi lagi? Tidak mungkin sebuah kebetulan terjadi untuk ketiga kalinya dan bahkan dalam waktu dekat. Tidak ada saksi mata dan bahkan dengan kejadian yang hampir serupa.” Jeremy menghela napas untuk kesekian kalinya. Pikirannya sungguh tidak bisa tenang dengan kejadian yang terus menerus terjadi, apalagi hal itu terjadi kepada orang-orang kepercayaannya. Tentu saja rasa curiga mulai muncul untuk satu-satunya pelaku yang belum ditemukan sampai saat ini. Jeremy dan Edward juga tidak berhenti untuk mencoba mencari bukti jika benar itu tindakan yang sengaja tetapi menggunakan dalih kecelakaan. “Jika benar ini terjadi karena satu pelaku, lalu kesalahan apa yang mereka perbuat hingga saling bersangkut paut dan bahkan harus mati dengan kejadian yang hampir serupa?” “Kau tenanglah dulu, Kakak. Kita tidak boleh tergesa-gesa dalam menyelidiki hal ini. Lagipula kita bisa mencari tahu lebih dulu kesalahan apa yang mereka perbuat hingga kematian mereka juga meninggalkan kecurigaa
“Ini honeymoon pertama setelah beberapa bulan menikah. Kenapa kau terlihat tidak nyaman, Alexander?” Ya … ini pertama kalinya mereka melakukan honeymoon setelah beberapa menikah sebab Alexander tidka punya waktu dan sibuk bekerja. Mereka sudah berada di sini beberapa menit yang lalu dan hanya menikmati suasana pantai tanpa saling bicara. Tempat yang begitu indah tetapi terasa sunyi bagi Alexander. Pria itu bahkan tidak merasa bahagia sedikitpun dan terus menerus memikirkan rencana demi rencana yang akan ia lakukan dilain waktu. Alexander menatap kimbeerly yang menampakkan wajah sedihnya. Pria itu tersenyum tipis dan menggelengkan kepala pelan. Ia meraih tubuh Kimbeerly agar mendekat untuk ia peluk. “Jangan salah menafsirkan raut wajahku, Baby. Aku bahagia karena setelah ini harusnya kau mengandung anakku. Bukankah begitu?” Kimbeerly menahan senyumnya karena merasa malu dengan ungkapan Alexander yang tidak berusaha menyembunyikan kata-katanya. Pria itu semakin mendekap tubuhnya dan
Senyuman licik kembali keluar setelah melihat beberapa rencananya yang sudah berhasil dilakukan. Belum cukup sampai di sini sebab perjalanan masih panjang. Rencananya bahkan bertambah karena korban yang ia tuju juga bertambah. Yakni, Edward. “Abaikan Edward dulu, Alexander. Kau masih harus menelusuri orang-orang Jeremy sampai tuntas lalu baru dalang-dalang yang ikut merencanakannya.” Alexander mengangguk pelan dengan peringatan yang ia ucapkan sendiri. Mata elang itu terus menyorot pada sebuah kertas dengan deretan tulisan yangberurutan dan beberapa bagian di atasnya yang sudah tercoret, menandakan bahwa satu persatu rencana yang disusun sebelumnya sudah selesai dikerjakan. Alexander menghembuskan napas pelan lalu melihat sebuah foto yang tidak jauh darinya. Dilihatnya setiap orang yang ada di dalam foto itu lalu tersenyum tipis. “Balas dendam ini akan berakhir secepatnya. Kalian tenanglah dan berbahagialah di tempat baru. Aku mencintai kalian.” Alexander kembali menampakkan senyum