Share

3. Menemukan Mereka

Seminggu sudah sejak Alexander memimpin perusahaan El group’s yang merupakan perusahaan milik keluarga Libason. Sejak saat itu pula ia terus menelusuri tentang orang-orang yang sudah masuk dalam rencananya sembari meneruskan lakunya sebagai pengganti presdir. Waktu yang ia rencanakan memakan waktu sangat lama, maka ia tidak akan menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bersantai dan menikmati. Ini belum seberapa dengan semua rencana yang ia susun. Perjalanan masih lumayan panjang dan Alexander berusaha keras agar tidak memakan banyak waktu untuk mendapatkan hasil yang ia inginkan.

Tepat pukul satu siang, saat waktu istirahat. Alexander pergi dari ruangannya untuk makan siang, dan juga melihat salah satu orang dalam rencananya. Dia adalah salah satu anak buah kepercayaan Jeremy yang juga bekerja di perusahaan, tetapi khusus dibagian produksi dan hanya keluar ruangan saat jam makan. Alexander sudah memperhitungkan semuanya sejak awal, dan benar saja. Orang yang ingin ia temui baru saja keluar ruangan untuk pergi ke kafe perusahaan yang memang disediakan.

Alexander berjalan mendekat. Memperhatikan sosok itu dari belekang sebelum akhirnya ia menyapa lebih dulu.

“Selamat siang, Tuan John.”

Pria itu menoleh begitu namanya dipanggil seseorang. Ia menampakkan senyumnya setelah tahu bahwa itu adalah pemimpinnya dan sekaligus menantu dari Jeremy selaku boss-nya. “Ah, selamat siang juga, Tuan Lemos.”

“Apa anda akan makan siang? Jika benar ku pikir tidak ada salahnya kita makan bersama.”

John mengangguk menyetujui dengan senyuman lebar. “Ide yang bagus. Aku tak menyangka kau adalah pria yang begitu sopan dan baik hati. Aku kurang memperhatikan sekitar.”

Alexander hanya menanggapi dengan senyuman. Mereka terus berjalan menuju kafe perusahaan dan sesekali berbincang tentang pekerjaan. Sampai pada saat mereka akan memulai makan, Alexander berdehem yang membuat John menatap ke arahnya.

“Aku ingin bercerita disamping kita makan. Bisakah aku?” tanya Alexander meminta persetujuan John yang lantas mengangguk menyetujui.

Alexander tersenyum dan mulai menyendok makanannya. “Ku pikir ini cerita yang basi karena aku mendengarnya juga sudah sangat lama tetapi karena tidak ada yang pembahasan diantara kita, ku pikir tidak ada salahnya aku bercerita.”

Alexander masih saja merasa sungkan dengan apa yang akan ia ceritakan kepada John, sementara pria yang usianya jauh lebih tua dari Alexander itu melambaikan tangan. Bermaksud agar Alexander tidak perlu merasa sungkan dan santai saja.

“Ceritakan saja. Tidak perlu merasa sungkan. Lagipula kita perlu mendekatkan diri sebagai atasan dan bawahan. Bukankah begitu?”

Alexander mengangguk menyetujui. Ia lantas menyendok makanannya dan mulai makan pelan-pelan. Dilihatnya John yang juga mulai makan.

“Kejadian ini sudah sangat lama saat aku bertemu dengan temanku. Aku bertemu dengannya saat usiaku sepuluh tahun dan kami bertemu di sebuah taman.”

Alexander memulai ceritanya dengan sesekali kembali makan, dan John yang mendengarkan dengan suka rela.

“Dia bercerita padaku bahwa ia sudah tidak lagi memiliki orang tua karena sebuah kejadian. Di situ aku hanya diam dan mendengarkan saja. Dia bercerita bahwa kedua orang tuanya dibunuh oleh sekelompok orang di dalam rumah saat ia sedang bermain dengan teman-temannya dan menemukan kedua orang tuanya sudah tergeletak di lantai dengan banyak darah yang menggenang.”

John menghentikan aktifitasnya. Memperhatikan Alexander yang terlihat tenang menceritakan hal seperti ini dan juga John yang mengingat sesuatu tentang dirinya dan beberapa orang saat itu.

“Dia terlihat begitu sedih bahkan saat aku menawarinya sebuah roti dia hanya melihat tanpa berniat mengambilnya, padahal saat itu dia terlihat kelaparan dan tidak terawat. Dia juga bercerita bahwa sejak kejadian itu dirinya menjadi gelandangan dan hidup sesukanya. Tidak memiliki seorang pun untuk mendengarkan keluh kesahnya sebab ia tidak memiliki keluarga lain. Nenek dan kakeknya telah lama meninggal dan kedua orang tuanya juga dibunuh oleh sekelompok orang.”

John menundukkan kepalanya. Merasa bersalah meski ia tidak yakin apakah Alexander benar-benar memiliki teman seperti ini atau Alexander hanya mengada-ngada. Hanya saja, John merasa tidak asing dengan cerita ini dan apa yang ia lakukan di masa lalu. Jika cerita yang Alexander katakan ini adalah cerita dari anak dua orang itu, John sungguh merasa bersalah. Bagaimanapun juga ia masih memiliki perasaan kepada anak malang itu.

Alexander melihat sebentar ke arah John dan pria itu yang terus menundukkan wajahnya. Senyuman miring Alexander sunggingkan dan kembali melanjutkan ceritanya.

“Aku memintanya ikut bersamaku agar orang tuaku juga merawatnya, tetapi ia menolak dengan alasan ia tidak bisa berhenti memikirkan alasan dibalik dibunuhnya kedua orang tuanya. Ia hanya memiliki rumah peninggalan kedua orang tuanya dan tidak ingin pergi dari sana hanya demi mengingat kenangan tentang kedua orang tuanya. Setelah itu, dia izin pergi dan aku memintanya membawa roti yang sempat ia lihat. Kasihan sekali, tetapi aku tidak bisa berbuat banyak sebab aku sendiri tidak pernah merasakan hal itu.”

“Siapa nama temanmu itu? Bagaimana keadaannya?” tanya John mencoba menyembunyikan rasa penasarannya karena kasihan mendengar cerita Alexander.

Alexander menggeleng. “Aku tidak tahu siapa dia dan dimana dia saat ini. Aku hanya sekali bertemu dengannya saat berada di sebuah taman bermain. Dia begitu sedih dan aku tidak tahu harus berbuat apa karena aku sendiri tidak mengalami hal seperti itu. Hanya saja, aku merasa jika aku menjadi temanku maka aku akan membalas perbuatan orang-orang itu kepada keluarganya meski banyak resiko yang harus ia lalui.”

John melihat ke arah Alexander tidak percaya. Raut wajahnya tampak sekali ketakutan, tetapi juga berusaha menyembunyikan kebenaran. Ia tidak bisa membayangkan bahwa pemikiran Alexander bisa saja sama dengan pemikiran anak itu. Bisa saja anak itu kembali menampakkan diri dan membalas perbuatan mereka saat itu. John … ia harus berhati-hati mulai saat ini meski belum tentu anak yang Alexander ceritakan ini adalah korban dari kejadian masa lalunya.

Alexander mengedikkan bahunya dan ikut menatap John. Melihat pria itu yang terlihat sekali takut akan sesuatu tetapi Alexander tidak peduli. Ia mengalihkan pandangannya.

“Ku rasa dia hidup dengan baik sekarang. Aku juga tidak tahu pasti setelah pertemuan singkat kami waktu itu,” ujar Alexander dan kembali menata John.

John berdehem dan meminum kembali minumannya. Meneguknya kasar lalu meminta izin Alexander untuk pergi ke toilet. Sedangkan Alexander hanya diam dan memperhatikan kepergian John yang tiba-tiba. Senyumnya tersungging sinis dengan sorot mata elangnya yang terus menatap ke depan sana. Otaknya mulai berselancar dengan rencana-rencana yang akan ia lakukan setelah ini.

Alexander menghela napas pelan sebelum akhirnya beranjak. Meninggalkan area kafe dan berjalan menuju ruangan kerjanya karena waktu istirahat hampir habis. Mengabaikan John yang mungkin saja sedang berpikir tentang anak yang ia ceritakan itu dengan segala perasaan bersalahnya. Bisa Alexander lihat sendiri bahwa pria itu terlihat takut dan menyesali perbuatannya, tetapi memang nasi sudah menjadi bubur. Semua rencana Alexander tetap harus dijalankan apapun keadaannya.

Alexander memasuki ruangannya kembali. Mendudukkan diri di kursi dan membuka sebuah kotak yang selalu tersimpan rapi. Senyuman yang terus ia perlihatkan memudar dengan sorot mata elangnya menatap pada sebuah kertas yang ada ditangannya.

“Aku menemukan mereka.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status