Torin duduk di sisi ranjang ibunya, Aruna, di Pondok Belukar. Sambil membelai rambut putih ibunya.
Meskipun Bara Dendam telah menyala, hati Torin saat ini dibanjiri oleh gelombang kesedihan dan rasa bersalah.
Bau pengasingan dan penyakit di ruangan itu terasa memuakkan, mendorongnya untuk melarikan diri ke masa lalu, ke saat segalanya belum hancur.
Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa kecilnya yang penuh cahaya. Ia mengingat ayahnya, Kaisar Theorin seorang pemimpin yang dikagumi di seluruh Kekaisaran Azure.
Kaisar Theorin adalah sosok yang gagah, namun hangat dan bijaksana. Ia terkenal karena tawa besarnya dan matanya yang selalu memancarkan kebanggaan saat menatap Torin dan Aruna.
Mereka sedang berada dalam perjalanan berburu resmi ke Hutan Gorgo yang lebat dan curam. Saat itu, Torin masih berusia delapan tahun. Kaisar Theorin membawanya dan Aruna, menjauh dari intrik Istana Utama.
Torin ingat ayahnya tertawa terbahak-bahak, menggendongnya di pundak sambil menunjuk seekor rusa. Aruna berdiri di dekat Kaisar, wajahnya bersinar oleh kebahagiaan. Itu adalah momen keluarga yang sempurna.
Lalu, tragedi itu datang. Kaisar Theorin tiba-tiba terpeleset di tepi jurang yang tersembunyi. Pengawal istana berteriak panik. Namun, Torin, yang bersembunyi di balik pohon, sempat melihat kilatan di balik semak-semak.
Ia melihat Permaisuri Livia (ibu Pangeran Valari dan Putri zoyi), Permaisuri yang dingin dan penuh ambisi, berdiri di kejauhan. Ia tersenyum sinis sesaat sebelum tubuh Kaisar Theorin jatuh menghilang ke dalam jurang yang dalam, diselimuti kabut tebal.
Resmi dinyatakan sebagai kecelakaan berburu, Kaisar Theorin tewas. Tetapi Torin tahu—itu adalah kelicikan Permaisuri Livia. Kelicikan itulah yang merenggut ayahnya dan melenyapkan kebahagiaan mereka.
Kenangan manis dan mengerikan itu menghantam Torin dengan kekuatan penuh. Ia kembali ke kenyataan Pondok Belukar, seperti pondok kematian.
“Seharusnya aku yang jatuh,” bisik Torin, air mata baru mengalir di pipinya yang memar.
“Seandainya saat itu aku tidak meminta Ayah untuk melihat rusa itu, mungkin ia tidak akan berada di tepi jurang.”
Torin menggenggam tangan ibunya yang kurus. Permaisuri Livia dan anak-anaknya tidak hanya membunuh ayahnya dan meracuni ibunya; mereka juga berhasil membunuh jiwa Torin yang lugu.
“Ibu, maafkan aku. Aku adalah kelemahanmu. Aku adalah alasan penderitaanmu,” isak Torin dalam hati.
***
TORIN: (Suaranya lembut, dipaksakan ceria, tetapi matanya penuh kesedihan) Ibu, bangun. Aku bawakan sup hangat. Tabib bilang, Ibu harus makan yang bergizi agar lekas pulih. Ini, sup ini dibuat khusus untuk Ibu. Ibu harus kuat.
TORIN: Rasanya enak, Bu, sungguh. Aku belajar membuatnya sendiri. Ibu lihat, Torin baik-baik saja, tidak ada yang memukul Torin lagi. Valari tidak datang. Torin janji, Torin akan bekerja keras hari ini, dan sore nanti Torin akan membawakan Ibu bunga liar dari pinggir hutan.
TORIN: Ibu tidak perlu khawatir tentang Torin lagi. Torin kuat, Bu. Torin akan ikuti semua nasihat Ibu. Torin akan... (Suara Torin tercekat, ia menahan tangis yang membakar tenggorokannya.) Torin harus pergi sekarang. Kuda-kuda istana menunggu. Torin janji, Torin akan kembali. Tidurlah yang nyenyak, Ibu.
Torin berjalan cepat menyusuri jalan setapak pinggiran kompleks istana, menuju kandang kuda. Ia menundukkan kepala, menghindari kontak mata, memainkan perannya sebagai 'sampah yang bernapas' agar tidak menarik perhatian Pangeran Valari.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Di depannya, berdiri seorang gadis yang memancarkan aura lembut namun bermartabat.
Zeva, putri tunggal Patih Zarka, salah satu pejabat paling berpengaruh di Kekaisaran Azure. Zeva terkenal karena kecantikannya yang sederhana dan kebaikan hatinya.
ZEVA: (Zeva tersenyum kecil, pandangannya tidak merendahkan, melainkan penuh simpati. Ia tahu siapa Torin.) Selamat pagi, Torin. Saya sudah lama tidak melihatmu berjalan ke arah kandang kuda.
TORIN: (Terkejut, ia segera menundukkan kepala, menghindari tatapan mata Zeva. Ia tidak terbiasa disapa dengan nada hormat.) Selamat pagi, Putri Zeva. Saya... sedang menjalankan tugas. Saya harus segera merawat kuda-kuda istana.
ZEVA: Jangan terlalu tergesa-gesa. Apakah ibumu... Permaisuri Aruna... apakah kondisinya membaik? Saya dengar beliau sakit.
TORIN: (Torin merasakan tusukan di dadanya. Ia teringat janjinya di depan ibunya. Ia harus berbohong.) Kondisi Ibu... sudah jauh lebih baik, Putri. Terima kasih atas perhatiannya. Beliau hanya perlu banyak istirahat.
ZEVA: (Zeva mengamati wajah Torin yang memar di bagian rahang dan lengannya yang berdarah tersembunyi di balik kain lusuh. Matanya dipenuhi kesedihan yang tulus.) Torin, saya turut prihatin atas apa yang menimpamu dan ibumu.
Tapi... (Zeva merendahkan suaranya agar hanya didengar oleh Torin.) Mengapa kamu harus terus-menerus melakukan pekerjaan yang begitu kasar? Mengurus kuda-kuda, membersihkan parit... Bukankah kamu... Putra Kaisar?
TORIN: (Dia tahu siapa aku. Dia tahu kebenaran di balik penderitaanku.) (Torin mengangkat kepalanya sedikit, menatap Zeva dengan hati-hati. Ia harus tetap waspada.) Gelar tidak berarti apa-apa, Putri. Saya hanyalah pelayan Kekaisaran sekarang. Saya harus bekerja agar bisa bertahan hidup.
ZEVA: Tapi bukankah ada tugas lain yang lebih layak? Saya bisa meminta Ayah saya—Patih Zarka—untuk memindahkanmu ke perpustakaan istana. Di sana lebih aman dan damai. Ayah saya sangat menghormati mendiang Kaisar Satria.
TORIN: (Tawaran itu adalah godaan yang besar. Tempat aman. Perpustakaan—tempat pengetahuan yang ia rindukan. Tapi Nasihat Kalam terngiang: Jadilah bayangan di balik pilar. Torin menolak dengan sopan, menyembunyikan bara di hatinya.)
Terima kasih, Putri Zeva. Kebaikan Anda sungguh tidak terhingga. Namun, saya lebih suka berada di sini. Dengan kuda-kuda, saya merasa lebih bebas. Perpustakaan... terlalu banyak mata. Saya lebih nyaman di tempat tersembunyi.
ZEVA: (Zeva menghela napas, kecewa dengan penolakan Torin, namun ia menghormatinya.) Baiklah, Torin. Tapi ingat, jika kamu butuh sesuatu—apapun itu—jangan ragu. Patih Zarka selalu menganggap dirimu sebagai anak yang seharusnya dihormati.
(Zeva mundur selangkah, lalu berbisik dengan nada memperingatkan.) Berhati-hatilah dengan Putri Valari dan Pangeran Dharma. Mereka tidak akan pernah berhenti.
Torin mengangguk singkat.
TORIN: Saya akan mengingatnya, Putri Zeva. Terima kasih.
Selir Livia, dengan kecantikan dingin yang memukau dan senyum tipis penuh rahasia, memegang piala anggur perak.Gaun sutra hitamnya membalut tubuhnya yang ramping, memancarkan aura misteri dan bahaya. Di depannya, Pangeran Valari, setelah perebutan kekuasaan yang berdarah—tertawa puas, kesombongan terpancar dari setiap gerak-geriknya.Jubah kekaisaran yang ia kenakan terasa terlalu longgar, seolah ia belum sepenuhnya pantas memakainya, namun ia memanggulnya dengan angkuh."Anggur malam ini terasa lebih manis, Valari," Livia memulai, suaranya lembut namun memiliki ketajaman baja.Ia bukan hanya selir Kaisar Theorin, tetapi juga dalang di balik "kecelakaan" berburu itu, dan sekarang, permaisuri bayangan di sisi Raja Valeri. "Manisnya kemenangan, bukan?"Valari menyesap anggurnya rakus, matanya menyala dengan nafsu tak terpuaskan. "Tentu saja, bu. Semua berjalan sesuai rencana kita. Si Tikus Bodoh itu, Torin, kini mengurus kuda.Dan Aruna, mantan Permaisuri, meringkuk di kamarnya seperti
Sejak kematian Kaisar Theorin, istana berubah menjadi neraka bagi Torin dan ibunya, Permaisuri Aruna. Takhta kini diduduki oleh pamannya, Raja Valeri, adik mendiang Kaisar, dan Torin, putra mahkota yang sah, dicap sebagai 'Pangeran Bodoh'—gelar yang sengaja disematkan untuk membenarkan penindasannya.Kekuasaan dan posisi mereka hanyalah debu. Torin, yang seharusnya berlatih strategi perang dan diplomasi, kini menghabiskan harinya di antara kotoran kuda dan tatapan merendahkan.Pangeran Valari adalah orang yang paling menikmati penyiksaan ini. Setiap hari, Valari akan datang, bukan untuk menginspeksi kuda, melainkan untuk melontarkan hinaan dan menumpuk pekerjaan rendahan pada Torin."Bersihkan pelana itu sampai mengkilap, Pangeran," ejek Valari tempo hari, menekan kata 'Pangeran' dengan nada menghina, "Atau kau akan tidur di kandang bersama kuda-kuda bau ini. Ingat, kau tidak lebih dari budak berkepala bangsawan sekarang."Penderitaan Torin bukan hanya fisik—membersihkan kandang, memb
Torin duduk di sisi ranjang ibunya, Aruna, di Pondok Belukar. Sambil membelai rambut putih ibunya.Meskipun Bara Dendam telah menyala, hati Torin saat ini dibanjiri oleh gelombang kesedihan dan rasa bersalah.Bau pengasingan dan penyakit di ruangan itu terasa memuakkan, mendorongnya untuk melarikan diri ke masa lalu, ke saat segalanya belum hancur.Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa kecilnya yang penuh cahaya. Ia mengingat ayahnya, Kaisar Theorin seorang pemimpin yang dikagumi di seluruh Kekaisaran Azure.Kaisar Theorin adalah sosok yang gagah, namun hangat dan bijaksana. Ia terkenal karena tawa besarnya dan matanya yang selalu memancarkan kebanggaan saat menatap Torin dan Aruna.Mereka sedang berada dalam perjalanan berburu resmi ke Hutan Gorgo yang lebat dan curam. Saat itu, Torin masih berusia delapan tahun. Kaisar Theorin membawanya dan Aruna, menjauh dari intrik Istana Utama.Torin ingat ayahnya tertawa terbahak-bahak, menggendongnya di pundak sambil menunjuk seekor rusa.
Aruna terbaring di ranjang kayu yang usang. Kulitnya pucat, urat-uratnya terlihat jelas. Ia diserang oleh penyakit aneh yang perlahan-lahan menggerogoti kekuatannya. Bukan demam biasa, melainkan racun yang bekerja lambat dan terencana.Para tabib yang dikirim dari istana utama, yang sebenarnya diperintahkan untuk tidak berbuat banyak, hanya menggeleng putus asa.“Denyut nadinya lemah, Tuan Muda. Ada semacam racun dingin yang menyelimuti seluruh organ. Kami tidak tahu penawarnya,” bisik salah satu tabib, matanya penuh rasa takut, takut ketahuan bahwa ia diperintahkan untuk membiarkan Aruna mati.Torin tahu ini adalah intrik istana. Hanya anggota keluarga mendiang Kaisar yang memiliki akses dan kekejaman untuk melakukan hal serendah ini, memastikan Aruna tidak akan pernah menjadi ancaman politik bagi takhta Pangeran Dharma.Adegan Haru dan Kekhawatiran Sang IbuSaat senja, Torin menyingkirkan para tabib. Ia duduk di sisi ibunya, menggenggam tangannya yang dingin dan kurus. Meskipun baru
VALARI: (Berdiri beberapa langkah dari Torin, menyilangkan tangan, nada suaranya manis namun menusuk) Lihatlah, Tuan Pangeran. Masih saja betah dengan pekerjaan rendahan ini. Ayahku yang agung pasti menangis di alam sana melihat putranya—jika boleh kubilang putra—hidup seperti kasta terendah.TORIN: (Tidak mendongak, terus menggosok dinding, suaranya pelan dan serak) Saya hanya melakukan pekerjaan yang diperintahkan, Putri. Jika Anda tidak ada urusan, tolong tinggalkan tempat ini.VALARI: (Mendekat, mengendus jijik) Oh, 'tolong'? Kau masih berani memerintahku di tanah yang bahkan tidak layak kau pijak? Aku datang karena ada titah. Kau tahu, pengawal istana mengeluh. Katanya, kau terlalu lamban dan lemah untuk membersihkan kandang kuda.TORIN: Saya akan menyelesaikannya. Beri saya waktu.VALARI: (Tertawa kecil, sinis) Waktu? Waktu adalah kemewahan yang tidak kau miliki, Torin. Kau adalah aib yang harus segera diperbaiki. Pengawal... (Ia memberi isyarat kepada salah satu pengawal.)(Pen
Setelah insiden di perpustakaan, Torin merasakan beban yang lebih berat di hatinya. Setiap langkahnya menuju kamar ibunya terasa seperti timah yang menyeret.Ia menemukan Permaisuri Elara terbaring lemah di ranjangnya yang mewah, dikelilingi oleh tabib-tabib istana yang tampak putus asa.Aroma obat-obatan pahit memenuhi ruangan, bercampur dengan bau bunga melati yang diletakkan di samping ranjang—sebuah ironi dari keindahan yang memudar."Yang Mulia Permaisuri, demamnya belum juga turun," bisik seorang tabib tua dengan jenggot perak, suaranya sarat kekhawatiran."Kami sudah mencoba segala ramuan, tapi... penyakit ini seperti tak memiliki akar."Torin mendekat, lututnya lemas. Wajah ibunya pucat pasi, bibirnya kering, dan matanya cekung, namun masih memancarkan kehangatan saat melihat putranya."Torin..." Suara Permaisuri Elara begitu lemah, hampir tak terdengar.Torin berlutut di sisi ranjang, menggenggam tangan ibunya yang dingin. "Ibu," bisiknya, menahan air mata. "Bagaimana perasaa