Selir Livia, dengan kecantikan dingin yang memukau dan senyum tipis penuh rahasia, memegang piala anggur perak.
Gaun sutra hitamnya membalut tubuhnya yang ramping, memancarkan aura misteri dan bahaya. Di depannya, Pangeran Valari, setelah perebutan kekuasaan yang berdarah—tertawa puas, kesombongan terpancar dari setiap gerak-geriknya.
Jubah kekaisaran yang ia kenakan terasa terlalu longgar, seolah ia belum sepenuhnya pantas memakainya, namun ia memanggulnya dengan angkuh.
"Anggur malam ini terasa lebih manis, Valari," Livia memulai, suaranya lembut namun memiliki ketajaman baja.
Ia bukan hanya selir Kaisar Theorin, tetapi juga dalang di balik "kecelakaan" berburu itu, dan sekarang, permaisuri bayangan di sisi Raja Valeri. "Manisnya kemenangan, bukan?"
Valari menyesap anggurnya rakus, matanya menyala dengan nafsu tak terpuaskan. "Tentu saja, bu. Semua berjalan sesuai rencana kita. Si Tikus Bodoh itu, Torin, kini mengurus kuda.
Dan Aruna, mantan Permaisuri, meringkuk di kamarnya seperti janda tua yang tak berdaya." Ia menyeringai. "Kekuasaan kini ada dalam genggaman kita."
Livia menyeringai tipis, namun matanya tidak tertawa. "Jangan terlalu cepat berpuas diri, pangeran. Sarang laba-laba belum sepenuhnya bersih. Masih ada serangga-serangga kecil yang bersembunyi.
Loyalis Kaisar Theorin, para penasihat lama yang masih setia pada ideologi bodoh 'keadilan' dan 'kebenaran' mereka. Mereka harus dimusnahkan."
Valari mengerutkan kening. "Mereka hanyalah suara-suara sumbang. Siapa yang akan mendengarkan mereka sekarang? Aku adalah calon Kaisar! Kata-kataku adalah hukum!"
"Justru itu masalahnya, Valari," Livia mendekat, menatap Valari dengan intens. "Suara-suara sumbang itu... bisa menjadi badai. Mereka bisa meracuni pikiran rakyat, dan lebih buruk lagi, pikiran para Jenderal yang masih menghormati nama Kaisar Theorin."
Livia meletakkan pialanya, dentingannya nyaris tak terdengar. "Ingat, Kaisar Theorin memiliki pengaruh besar. Kita menyingkirkannya, ya.
Tapi bayangannya masih menghantui. Kita harus memotong setiap akar yang menghubungkannya dengan kekuasaan."
"Jadi, apa rencanamu, bu?" Valari bertanya, rasa haus kekuasaan di matanya kini bercampur dengan sedikit ketakutan akan ancaman yang Livia sebutkan.
"Mudah saja," jawab Livia, senyumnya semakin lebar, menampilkan sisi kejam dari dirinya. "Kita mulai dari yang paling lemah, yang paling rentan. Pertama, Penasihat Agung Aruna.
Wanita tua itu selalu mengoceh tentang 'wasiat kaisar'. Kita tuduh dia bersekongkol dengan pemberontak di perbatasan. Sebuah surat palsu, beberapa saksi yang bisa kita bayar... dan kepalanya akan jatuh."
Valari tertawa terbahak-bahak. "Ide yang brilian, bu! Aruna memang menjengkelkan. Siapa lagi?"
"Kemudian ada Panglima Utara, Jenderal Kael. Dia adalah orang kepercayaan Kaisar Theorin, seorang yang jujur tapi bodoh.
Kita bisa mengatur agar dia 'terjatuh' dalam misi yang mustahil. Atau lebih baik lagi," Livia mendekatkan bibirnya ke telinga Valari, berbisik dingin,
"kita buat dia mengkhianati Kekaisaran di mata rakyat. Mungkin... dia mengirimkan suplai ke musuh kita di utara. Sebuah pengkhianatan yang akan membuat seluruh rakyat membencinya. Lalu, kita eksekusi dia secara terbuka sebagai contoh."
Valari menatap ibunya dengan kagum dan sedikit takut. Wanita ini jauh lebih kejam dan manipulatif dari yang ia kira.
"Dan untuk para bangsawan lainnya yang masih 'netral'?" tanya Valari.
"Kita beri mereka pilihan," Livia menjawab, matanya berkilat licik. "Setia pada kita, atau hancur. Kita tunjukkan pada mereka konsekuensi dari menentang Kekuasaan Azure yang baru.
Kekejaman akan menjadi bahasa kita, ketakutan akan menjadi alat kita. Kita akan membasuh istana ini dengan darah jika perlu, hingga hanya ada satu nama yang diucapkan dengan hormat kaisar Valeri."
Valari merasakan adrenalin memompa dalam nadinya. Ini adalah kekuatan yang sesungguhnya. Ia tidak lagi peduli dengan hukum atau moral. Hanya kekuasaan, dan cara untuk mempertahankannya.
"Dan bagaimana dengan Pangeran Bodoh itu?" Valari bertanya, senyumnya kembali kejam. "Torin. Apa kita biarkan dia hidup dalam kehinaan, atau kita habisi saja dia?"
Livia tersenyum dingin. "Untuk saat ini, biarkan dia hidup. Keberadaannya adalah pengingat bagi semua orang bahwa siapa pun yang menentang kita akan berakhir seperti dia.”
“seorang pangeran yang jatuh, hidup dalam kehinaan dan siksaan, dicap bodoh, tidak berguna. Itu adalah pesan yang lebih kuat daripada kematian."
"Lagi pula," Livia menambahkan, matanya menyipit penuh perhitungan, "jika terjadi sesuatu pada Pangeran Bodoh itu, orang mungkin akan curiga.”
“Biarkan dia menderita, biarkan dia melihat kita berkuasa. Biarkan dia menjadi cermin penderitaan bagi para loyalis itu. Sebuah siksaan yang perlahan, tapi pasti, akan menghancurkan jiwanya."
Valari mengangguk, puas. Ia mengangkat pialanya tinggi-tinggi. "Untuk Kekaisaran Azure yang baru, yang akan kita bentuk dengan tangan kita sendiri, ibu! Dan untuk semua yang akan tunduk di bawah kaki kita!"
"Untuk kekuasaan," Livia menimpali, senyum kejamnya tak lekang. "Yang akan bertahan selamanya. Dan untuk darah yang akan mengalir, memastikan tahta kita kokoh."
Selir Livia, dengan kecantikan dingin yang memukau dan senyum tipis penuh rahasia, memegang piala anggur perak.Gaun sutra hitamnya membalut tubuhnya yang ramping, memancarkan aura misteri dan bahaya. Di depannya, Pangeran Valari, setelah perebutan kekuasaan yang berdarah—tertawa puas, kesombongan terpancar dari setiap gerak-geriknya.Jubah kekaisaran yang ia kenakan terasa terlalu longgar, seolah ia belum sepenuhnya pantas memakainya, namun ia memanggulnya dengan angkuh."Anggur malam ini terasa lebih manis, Valari," Livia memulai, suaranya lembut namun memiliki ketajaman baja.Ia bukan hanya selir Kaisar Theorin, tetapi juga dalang di balik "kecelakaan" berburu itu, dan sekarang, permaisuri bayangan di sisi Raja Valeri. "Manisnya kemenangan, bukan?"Valari menyesap anggurnya rakus, matanya menyala dengan nafsu tak terpuaskan. "Tentu saja, bu. Semua berjalan sesuai rencana kita. Si Tikus Bodoh itu, Torin, kini mengurus kuda.Dan Aruna, mantan Permaisuri, meringkuk di kamarnya seperti
Sejak kematian Kaisar Theorin, istana berubah menjadi neraka bagi Torin dan ibunya, Permaisuri Aruna. Takhta kini diduduki oleh pamannya, Raja Valeri, adik mendiang Kaisar, dan Torin, putra mahkota yang sah, dicap sebagai 'Pangeran Bodoh'—gelar yang sengaja disematkan untuk membenarkan penindasannya.Kekuasaan dan posisi mereka hanyalah debu. Torin, yang seharusnya berlatih strategi perang dan diplomasi, kini menghabiskan harinya di antara kotoran kuda dan tatapan merendahkan.Pangeran Valari adalah orang yang paling menikmati penyiksaan ini. Setiap hari, Valari akan datang, bukan untuk menginspeksi kuda, melainkan untuk melontarkan hinaan dan menumpuk pekerjaan rendahan pada Torin."Bersihkan pelana itu sampai mengkilap, Pangeran," ejek Valari tempo hari, menekan kata 'Pangeran' dengan nada menghina, "Atau kau akan tidur di kandang bersama kuda-kuda bau ini. Ingat, kau tidak lebih dari budak berkepala bangsawan sekarang."Penderitaan Torin bukan hanya fisik—membersihkan kandang, memb
Torin duduk di sisi ranjang ibunya, Aruna, di Pondok Belukar. Sambil membelai rambut putih ibunya.Meskipun Bara Dendam telah menyala, hati Torin saat ini dibanjiri oleh gelombang kesedihan dan rasa bersalah.Bau pengasingan dan penyakit di ruangan itu terasa memuakkan, mendorongnya untuk melarikan diri ke masa lalu, ke saat segalanya belum hancur.Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa kecilnya yang penuh cahaya. Ia mengingat ayahnya, Kaisar Theorin seorang pemimpin yang dikagumi di seluruh Kekaisaran Azure.Kaisar Theorin adalah sosok yang gagah, namun hangat dan bijaksana. Ia terkenal karena tawa besarnya dan matanya yang selalu memancarkan kebanggaan saat menatap Torin dan Aruna.Mereka sedang berada dalam perjalanan berburu resmi ke Hutan Gorgo yang lebat dan curam. Saat itu, Torin masih berusia delapan tahun. Kaisar Theorin membawanya dan Aruna, menjauh dari intrik Istana Utama.Torin ingat ayahnya tertawa terbahak-bahak, menggendongnya di pundak sambil menunjuk seekor rusa.
Aruna terbaring di ranjang kayu yang usang. Kulitnya pucat, urat-uratnya terlihat jelas. Ia diserang oleh penyakit aneh yang perlahan-lahan menggerogoti kekuatannya. Bukan demam biasa, melainkan racun yang bekerja lambat dan terencana.Para tabib yang dikirim dari istana utama, yang sebenarnya diperintahkan untuk tidak berbuat banyak, hanya menggeleng putus asa.“Denyut nadinya lemah, Tuan Muda. Ada semacam racun dingin yang menyelimuti seluruh organ. Kami tidak tahu penawarnya,” bisik salah satu tabib, matanya penuh rasa takut, takut ketahuan bahwa ia diperintahkan untuk membiarkan Aruna mati.Torin tahu ini adalah intrik istana. Hanya anggota keluarga mendiang Kaisar yang memiliki akses dan kekejaman untuk melakukan hal serendah ini, memastikan Aruna tidak akan pernah menjadi ancaman politik bagi takhta Pangeran Dharma.Adegan Haru dan Kekhawatiran Sang IbuSaat senja, Torin menyingkirkan para tabib. Ia duduk di sisi ibunya, menggenggam tangannya yang dingin dan kurus. Meskipun baru
VALARI: (Berdiri beberapa langkah dari Torin, menyilangkan tangan, nada suaranya manis namun menusuk) Lihatlah, Tuan Pangeran. Masih saja betah dengan pekerjaan rendahan ini. Ayahku yang agung pasti menangis di alam sana melihat putranya—jika boleh kubilang putra—hidup seperti kasta terendah.TORIN: (Tidak mendongak, terus menggosok dinding, suaranya pelan dan serak) Saya hanya melakukan pekerjaan yang diperintahkan, Putri. Jika Anda tidak ada urusan, tolong tinggalkan tempat ini.VALARI: (Mendekat, mengendus jijik) Oh, 'tolong'? Kau masih berani memerintahku di tanah yang bahkan tidak layak kau pijak? Aku datang karena ada titah. Kau tahu, pengawal istana mengeluh. Katanya, kau terlalu lamban dan lemah untuk membersihkan kandang kuda.TORIN: Saya akan menyelesaikannya. Beri saya waktu.VALARI: (Tertawa kecil, sinis) Waktu? Waktu adalah kemewahan yang tidak kau miliki, Torin. Kau adalah aib yang harus segera diperbaiki. Pengawal... (Ia memberi isyarat kepada salah satu pengawal.)(Pen
Setelah insiden di perpustakaan, Torin merasakan beban yang lebih berat di hatinya. Setiap langkahnya menuju kamar ibunya terasa seperti timah yang menyeret.Ia menemukan Permaisuri Elara terbaring lemah di ranjangnya yang mewah, dikelilingi oleh tabib-tabib istana yang tampak putus asa.Aroma obat-obatan pahit memenuhi ruangan, bercampur dengan bau bunga melati yang diletakkan di samping ranjang—sebuah ironi dari keindahan yang memudar."Yang Mulia Permaisuri, demamnya belum juga turun," bisik seorang tabib tua dengan jenggot perak, suaranya sarat kekhawatiran."Kami sudah mencoba segala ramuan, tapi... penyakit ini seperti tak memiliki akar."Torin mendekat, lututnya lemas. Wajah ibunya pucat pasi, bibirnya kering, dan matanya cekung, namun masih memancarkan kehangatan saat melihat putranya."Torin..." Suara Permaisuri Elara begitu lemah, hampir tak terdengar.Torin berlutut di sisi ranjang, menggenggam tangan ibunya yang dingin. "Ibu," bisiknya, menahan air mata. "Bagaimana perasaa