Sejak kematian Kaisar Theorin, istana berubah menjadi neraka bagi Torin dan ibunya, Permaisuri Aruna. Takhta kini diduduki oleh pamannya, Raja Valeri, adik mendiang Kaisar, dan Torin, putra mahkota yang sah, dicap sebagai 'Pangeran Bodoh'—gelar yang sengaja disematkan untuk membenarkan penindasannya.
Kekuasaan dan posisi mereka hanyalah debu. Torin, yang seharusnya berlatih strategi perang dan diplomasi, kini menghabiskan harinya di antara kotoran kuda dan tatapan merendahkan.
Pangeran Valari adalah orang yang paling menikmati penyiksaan ini. Setiap hari, Valari akan datang, bukan untuk menginspeksi kuda, melainkan untuk melontarkan hinaan dan menumpuk pekerjaan rendahan pada Torin.
"Bersihkan pelana itu sampai mengkilap, Pangeran," ejek Valari tempo hari, menekan kata 'Pangeran' dengan nada menghina, "Atau kau akan tidur di kandang bersama kuda-kuda bau ini. Ingat, kau tidak lebih dari budak berkepala bangsawan sekarang."
Penderitaan Torin bukan hanya fisik—membersihkan kandang, membawa air, dan menerima cambukan ringan karena 'kecerobohan'—tetapi juga siksaan batin. Harga dirinya diinjak-injak, masa depannya dicabut, dan yang paling menyakitkan, ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Matahari telah lama tenggelam ketika Torin menyelesaikan tugasnya. Tubuhnya lelah, punggungnya pegal, dan jiwanya terasa hampa. Ia menyelinap kembali ke kamar kecil dan dingin yang kini menjadi tempat tinggal ibunya.
Ia menemukan Permaisuri Aruna terbaring di ranjang sederhana. Kecantikan Permaisuri yang dulu memancar kini meredup, digantikan oleh kerutan kekhawatiran dan kesedihan yang mendalam. Ia menjadi kurus, matanya kosong, tetapi begitu melihat putranya, seulas senyum samar muncul.
Torin berjalan perlahan, lalu naik dan memeluk ibunya dari samping. Ia merasakan kehangatan yang rapuh dari tubuh ibunya, kontras dengan hawa dingin yang selalu ia rasakan di istana ini.
"Torin, bagaimana pekerjaanmu hari ini?" suara Permaisuri Aruna bergetar, "Apakah Pangeran Valari puas dengan kerja mu membersihkan kuda istana?"
Torin memejamkan mata, memeluk ibunya lebih erat. Ia bisa merasakan bau kotoran kuda dan keringat bercampur di pakaiannya, tetapi ibunya tidak peduli.
"Puas, Bu," dusta Torin, suaranya berusaha terdengar mantap, "Kuda-kuda itu gagah. Aku merawatnya dengan baik."
Ia tidak memberitahu ibunya tentang caci maki, tentang cambukan yang hampir mengenai wajahnya, atau tentang rasa sakit di hatinya setiap kali ia diingatkan bahwa ia hanyalah Pangeran Buangan.
Permaisuri Aruna membelai rambut kotor putranya. "Kau anak yang kuat, Torin. Maafkan ibu, karena ketidakmampuan ibu melindungi Ayahmu... dan dirimu."
Air mata Torin yang sudah lama ia tahan akhirnya menetes. Ia mencium kening ibunya, merasakan penderitaan yang tak terperi yang dialami wanita yang ia cintai itu. Penderitaan ibunya jauh lebih perih daripada siksaan fisiknya sendiri.
***
"Nak," bisik Permaisuri Aruna, suaranya kini lebih tegas, meskipun serak. "Jangan pernah kau pikir... bahwa mereka benar."
Torin mengangkat wajahnya sedikit, menatap mata ibunya yang kini memancarkan api samar yang sudah lama ia rindukan.
"Mereka menyebutku bodoh, Ibu. Setiap hari," lirih Torin, rasa sakit dari sebutan itu lebih dalam dari goresan cambuk.
Permaisuri Aruna menggeleng perlahan, senyumnya kini bukan lagi senyum kesedihan, melainkan senyum penuh makna.
"Ya. Mereka memang menyebutmu bodoh," Permaisuri Aruna mengakui, "Mereka bahkan membuatmu bekerja seperti budak di kandang kuda.”
“Mereka ingin kau percaya bahwa otakmu tumpul, bahwa kau tak pantas mendapatkan takhta. Mereka ingin semua orang melihat Pangeran Bodoh yang tak punya masa depan."
Ia merapatkan pelukannya, menenggelamkan Torin dalam kehangatan yang sunyi.
"Tapi ketahuilah, Torin. Kebodohan yang mereka tuduhkan itu... adalah tameng terbaikmu. Mereka mengira kau sudah menyerah.”
Mereka mengira kau sudah hancur. Mereka tidak akan pernah melihatmu sebagai ancaman. Mereka akan lengah, karena siapa yang takut pada 'Pangeran Bodoh' yang hanya mengurus kotoran kuda?"
Mata Torin membulat. Ia tak pernah melihatnya dari sudut pandang itu.
"Ayahmu," lanjut Permaisuri Aruna, suaranya kembali bergetar karena kerinduan, "adalah Kaisar yang cerdas, tetapi ia terlalu terang. Kecerdasannya menjadi target. Sedangkan kau..."
Ia mengusap pipi Torin yang kotor, "Kau kini berada dalam bayangan, Nak. Biarkan mereka percaya kau bodoh. Biarkan mereka meremehkanmu.”
“Jadikan kotoran kuda itu sebagai tempat persembunyianmu. Selama mereka membiarkanmu hidup, selama kau bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi di istana ini, kau masih punya kesempatan."
Permaisuri Aruna melepaskan pelukan. Ia menatap Torin lurus di mata, api di matanya semakin menyala.
"Bersihkan kandang itu, Torin. Bersihkan dengan rajin. Dengarkan setiap pembicaraan yang lewat. Pelajari setiap kuda. Pelajari kelemahan mereka yang menindasmu.”
“Jaga pikiranmu tetap tajam di balik wajah bodohmu. Dan ingat, kau bukan hanya melindungi Ibu. Kau sedang mengumpulkan senjata untuk membalas dendam atas kematian Ayahmu.”
“Senjata yang tidak akan pernah mereka lihat datang, karena mereka terlalu sibuk memandang bodohnya dirimu."
Napas Torin tercekat. Rasa sakitnya belum hilang, tetapi kini rasa sakit itu bercampur dengan bara api janji dan harapan. Ia mengangguk pelan, air matanya mengering. Ia kini memiliki misi.
"Aku mengerti, Ibu," jawab Torin, suaranya perlahan kembali menemukan kekuatan. "Aku akan menjadi Pangeran Bodoh yang paling baik yang pernah mereka lihat. Sampai waktunya tiba."
Selir Livia, dengan kecantikan dingin yang memukau dan senyum tipis penuh rahasia, memegang piala anggur perak.Gaun sutra hitamnya membalut tubuhnya yang ramping, memancarkan aura misteri dan bahaya. Di depannya, Pangeran Valari, setelah perebutan kekuasaan yang berdarah—tertawa puas, kesombongan terpancar dari setiap gerak-geriknya.Jubah kekaisaran yang ia kenakan terasa terlalu longgar, seolah ia belum sepenuhnya pantas memakainya, namun ia memanggulnya dengan angkuh."Anggur malam ini terasa lebih manis, Valari," Livia memulai, suaranya lembut namun memiliki ketajaman baja.Ia bukan hanya selir Kaisar Theorin, tetapi juga dalang di balik "kecelakaan" berburu itu, dan sekarang, permaisuri bayangan di sisi Raja Valeri. "Manisnya kemenangan, bukan?"Valari menyesap anggurnya rakus, matanya menyala dengan nafsu tak terpuaskan. "Tentu saja, bu. Semua berjalan sesuai rencana kita. Si Tikus Bodoh itu, Torin, kini mengurus kuda.Dan Aruna, mantan Permaisuri, meringkuk di kamarnya seperti
Sejak kematian Kaisar Theorin, istana berubah menjadi neraka bagi Torin dan ibunya, Permaisuri Aruna. Takhta kini diduduki oleh pamannya, Raja Valeri, adik mendiang Kaisar, dan Torin, putra mahkota yang sah, dicap sebagai 'Pangeran Bodoh'—gelar yang sengaja disematkan untuk membenarkan penindasannya.Kekuasaan dan posisi mereka hanyalah debu. Torin, yang seharusnya berlatih strategi perang dan diplomasi, kini menghabiskan harinya di antara kotoran kuda dan tatapan merendahkan.Pangeran Valari adalah orang yang paling menikmati penyiksaan ini. Setiap hari, Valari akan datang, bukan untuk menginspeksi kuda, melainkan untuk melontarkan hinaan dan menumpuk pekerjaan rendahan pada Torin."Bersihkan pelana itu sampai mengkilap, Pangeran," ejek Valari tempo hari, menekan kata 'Pangeran' dengan nada menghina, "Atau kau akan tidur di kandang bersama kuda-kuda bau ini. Ingat, kau tidak lebih dari budak berkepala bangsawan sekarang."Penderitaan Torin bukan hanya fisik—membersihkan kandang, memb
Torin duduk di sisi ranjang ibunya, Aruna, di Pondok Belukar. Sambil membelai rambut putih ibunya.Meskipun Bara Dendam telah menyala, hati Torin saat ini dibanjiri oleh gelombang kesedihan dan rasa bersalah.Bau pengasingan dan penyakit di ruangan itu terasa memuakkan, mendorongnya untuk melarikan diri ke masa lalu, ke saat segalanya belum hancur.Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa kecilnya yang penuh cahaya. Ia mengingat ayahnya, Kaisar Theorin seorang pemimpin yang dikagumi di seluruh Kekaisaran Azure.Kaisar Theorin adalah sosok yang gagah, namun hangat dan bijaksana. Ia terkenal karena tawa besarnya dan matanya yang selalu memancarkan kebanggaan saat menatap Torin dan Aruna.Mereka sedang berada dalam perjalanan berburu resmi ke Hutan Gorgo yang lebat dan curam. Saat itu, Torin masih berusia delapan tahun. Kaisar Theorin membawanya dan Aruna, menjauh dari intrik Istana Utama.Torin ingat ayahnya tertawa terbahak-bahak, menggendongnya di pundak sambil menunjuk seekor rusa.
Aruna terbaring di ranjang kayu yang usang. Kulitnya pucat, urat-uratnya terlihat jelas. Ia diserang oleh penyakit aneh yang perlahan-lahan menggerogoti kekuatannya. Bukan demam biasa, melainkan racun yang bekerja lambat dan terencana.Para tabib yang dikirim dari istana utama, yang sebenarnya diperintahkan untuk tidak berbuat banyak, hanya menggeleng putus asa.“Denyut nadinya lemah, Tuan Muda. Ada semacam racun dingin yang menyelimuti seluruh organ. Kami tidak tahu penawarnya,” bisik salah satu tabib, matanya penuh rasa takut, takut ketahuan bahwa ia diperintahkan untuk membiarkan Aruna mati.Torin tahu ini adalah intrik istana. Hanya anggota keluarga mendiang Kaisar yang memiliki akses dan kekejaman untuk melakukan hal serendah ini, memastikan Aruna tidak akan pernah menjadi ancaman politik bagi takhta Pangeran Dharma.Adegan Haru dan Kekhawatiran Sang IbuSaat senja, Torin menyingkirkan para tabib. Ia duduk di sisi ibunya, menggenggam tangannya yang dingin dan kurus. Meskipun baru
VALARI: (Berdiri beberapa langkah dari Torin, menyilangkan tangan, nada suaranya manis namun menusuk) Lihatlah, Tuan Pangeran. Masih saja betah dengan pekerjaan rendahan ini. Ayahku yang agung pasti menangis di alam sana melihat putranya—jika boleh kubilang putra—hidup seperti kasta terendah.TORIN: (Tidak mendongak, terus menggosok dinding, suaranya pelan dan serak) Saya hanya melakukan pekerjaan yang diperintahkan, Putri. Jika Anda tidak ada urusan, tolong tinggalkan tempat ini.VALARI: (Mendekat, mengendus jijik) Oh, 'tolong'? Kau masih berani memerintahku di tanah yang bahkan tidak layak kau pijak? Aku datang karena ada titah. Kau tahu, pengawal istana mengeluh. Katanya, kau terlalu lamban dan lemah untuk membersihkan kandang kuda.TORIN: Saya akan menyelesaikannya. Beri saya waktu.VALARI: (Tertawa kecil, sinis) Waktu? Waktu adalah kemewahan yang tidak kau miliki, Torin. Kau adalah aib yang harus segera diperbaiki. Pengawal... (Ia memberi isyarat kepada salah satu pengawal.)(Pen
Setelah insiden di perpustakaan, Torin merasakan beban yang lebih berat di hatinya. Setiap langkahnya menuju kamar ibunya terasa seperti timah yang menyeret.Ia menemukan Permaisuri Elara terbaring lemah di ranjangnya yang mewah, dikelilingi oleh tabib-tabib istana yang tampak putus asa.Aroma obat-obatan pahit memenuhi ruangan, bercampur dengan bau bunga melati yang diletakkan di samping ranjang—sebuah ironi dari keindahan yang memudar."Yang Mulia Permaisuri, demamnya belum juga turun," bisik seorang tabib tua dengan jenggot perak, suaranya sarat kekhawatiran."Kami sudah mencoba segala ramuan, tapi... penyakit ini seperti tak memiliki akar."Torin mendekat, lututnya lemas. Wajah ibunya pucat pasi, bibirnya kering, dan matanya cekung, namun masih memancarkan kehangatan saat melihat putranya."Torin..." Suara Permaisuri Elara begitu lemah, hampir tak terdengar.Torin berlutut di sisi ranjang, menggenggam tangan ibunya yang dingin. "Ibu," bisiknya, menahan air mata. "Bagaimana perasaa