Mag-log inTiga hari telah berlalu sejak insiden di ruang makan, dan mansion Jenderal Wirawan terbungkus dalam ketegangan yang mencekam. Setiap pelayan bergerak dengan hati-hati, berbisik pelan, dan menghindari kontak mata dengan siapapun.
Pintu utama mansion terbuka dengan keras, menghasilkan gema yang mengguncang seluruh bangunan. Jenderal Arka Wirawan memasuki rumahnya dengan langkah berat yang autoritatif.
Seragam militernya berdebu dan kusam, wajahnya lelah setelah perjalanan panjang dari perbatasan utara. Namun aura kekuasaannya masih memancar kuat seperti harimau yang baru pulang dari perburuan.
Maya dan Lina, yang semula merasa terpojok selama tiga hari terakhir, kini melihat kesempatan emas. Mereka dengan cepat mengubah ekspresi mereka, mempersiapkan pertunjukan terbaik dalam hidup mereka.
"Suami yang terhormat!" Maya berlari menghampiri Jenderal dengan langkah yang sengaja dibuat terhuyung. Air mata palsu sudah disiapkan dengan sempurna di sudut matanya, mengalir dengan waktu yang tepat.
"Syukurlah tuan telah kembali dengan selamat! Kami sangat membutuhkan kebijaksanaan dan perlindungan dari kepala keluarga."
Jenderal Arka menatap istri keduanya dengan kerutan dalam di dahi. "Ada hal yang mengganggu keharmonisan keluarga, Maya?"
Maya menunjuk bekas luka di sudut bibirnya yang masih terlihat samar namun cukup jelas. "Tuan, Elena telah menunjukkan sifat yang sangat mengkhawatirkan."
Lina menghampiri ayah tirinya sambil terisak dengan suara yang memilukan. "Ayah yang bijaksana, kami hanya ingin menjaga kehormatan keluarga terhormat ini."
"Namun Elena sepertinya memiliki pandangan yang berbeda tentang cara menyelesaikan perselisihan keluarga," lanjutnya sambil menyeka air mata dengan saputangan sutra. "Cara yang kurang sesuai dengan nilai-nilai keluarga bangsawan."
Jenderal Arka meletakkan pedangnya di meja dengan bunyi logam yang menggema. "Dimana Elena sekarang?"
"Putri berada di kamarnya, tuan," jawab Maya sambil menyeka air mata palsu dengan gerakan yang elegan. "Sejak insiden yang menyedihkan itu, dia lebih memilih menyendiri."
Di tangga mansion yang megah, Elena muncul dengan langkah tenang yang kontras dengan kegaduhan di bawah. Dia mengenakan hanfu sederhana berwarna putih bersih, rambutnya dikuncir rapi dan elegan.
Terlihat seperti gadis polos yang tidak akan menyakiti lalat sekalipun. Kontras yang sangat mencolok dengan penampilan Maya dan Lina yang terlihat berantakan dan dramatis.
"Selamat datang kembali di rumah, ayah yang terhormat," kata Elena dengan suara lembut dan penuh hormat. Membungkuk dalam-dalam sesuai etika keluarga bangsawan yang telah diajarkan sejak kecil.
Jenderal Arka menatap putri kandungnya dengan tatapan tajam yang menyelidik. "Elena, ada yang ingin ayah tanyakan tentang apa yang terjadi selama ayah tidak ada."
"Maya dan Lina menyampaikan kekhawatiran mereka tentang beberapa insiden yang tidak menyenangkan," lanjutnya sambil mengamati reaksi Elena dengan seksama. "Mereka merasa kurang aman di rumah sendiri."
"Ayah yang bijaksana," potong Maya dengan suara bergetar yang penuh emosi palsu. "Elena telah melampaui batas kesopanan yang wajar dalam keluarga terhormat!"
"Cara dia menyelesaikan perbedaan pendapat sangat tidak sesuai dengan didikan yang telah ayah berikan," katanya sambil menunjuk bekasnya yang masih terlihat. "Kami hanya ingin kedamaian dalam keluarga ini."
Lina menambahkan sambil menyeka air mata yang terus mengalir. "Elena bahkan mengancam akan memberikan pelajaran yang lebih keras jika kami tidak mengikuti kemauannya."
"Tolong, ayah, berikan keadilan yang setimpal," lanjutnya dengan suara bergetar penuh kepedihan. "Kami tidak bisa hidup dalam ketakutan seperti ini terus-menerus."
Elena tetap berdiri dengan tenang dan anggun di tangga, tidak menunjukkan emosi apapun yang bisa dibaca. Dia memperhatikan pertunjukan Maya dan Lina dengan pandangan yang sulit ditebak.
Jenderal Arka diam sejenak yang terasa seperti keabadian. Perasaan keraguan muncul di wajahnya setelah melihat dramatisasi istri dan anak tirinya yang sangat meyakinkan.
Dia mengenal Elena sebagai gadis yang pendiam, patuh, dan tidak pernah menimbulkan masalah. Namun kondisi fisik Maya dan Lina yang terlihat terluka membuatnya sangat bingung dan marah.
"Elena," panggil Jenderal dengan suara yang semakin keras dan mengancam. "Turun kesini sekarang juga."
"Jelaskan dengan detail apa yang sebenarnya terjadi selama ayah tidak ada," lanjutnya sambil menatap putrinya dengan pandangan yang menuntut kebenaran. "Ayah ingin mendengar versi ceritamu."
Elena turun tangga dengan langkah yang sangat tenang dan terkontrol. Ketika sampai di hadapan ayahnya, dia kembali membungkuk hormat dengan sempurna.
"Ayah yang terhormat, saya memang melakukan koreksi terhadap beberapa kesalahpahaman," kata Elena dengan suara yang sangat tenang dan meyakinkan. "Tiga hari yang lalu, saya hampir mengalami kecelakaan yang cukup serius."
"Ketika saya memulihkan kesadaran, saya mendapati situasi yang kurang sesuai dengan harapan," lanjutnya sambil menatap Maya dan Lina dengan pandangan yang tidak berubah. "Sehingga perlu ada klarifikasi mengenai beberapa hal."
"Elena berbohong!" teriak Maya dengan dramatis yang berlebihan. "Ayah, jangan percaya kata-katanya yang penuh kebencian!"
"Dia sedang mencoba memutarbalikkan fakta yang sebenarnya!" Lina menyambung dengan antusias. "Kami yang mencoba merawat Elena dengan penuh kasih sayang!"
Jenderal Arka menatap ketiga wanita di hadapannya dengan pandangan yang semakin gelap dan berbahaya. Situasi kompleks ini membuatnya sangat frustasi dan marah.
"Cukup!" bentaknya dengan suara menggelegar yang menggema di seluruh mansion. Membuat semua orang gemetar ketakutan.
"Elena, kamu telah mengecewakan ayah dengan perilaku yang tidak pantas," lanjutnya dengan suara yang semakin mengeras. "Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi fakta bahwa keluarga ini tidak harmonis tidak bisa diabaikan."
Maya dan Lina merasakan kemenangan manis mengalir dalam darah mereka. Meski mereka berpura-pura menangis lebih keras untuk menyembunyikan kepuasan dan kegembiraan yang luar biasa.
"Akhirnya keadilan untuk keluarga terhormat ini," bisik Maya sambil terisak palsu. "Elena akan belajar tentang cara yang benar dalam berkeluarga."
Lina dengan senyum licik yang disembunyikan di balik tangannya berkata dengan puas. "Kami selalu mencintai Elena seperti keluarga kandung sendiri."
"Hukuman cambuk sepuluh kali," kata Jenderal dengan suara yang final dan tidak bisa diganggu gugat. "Akan dilaksanakan besok pagi ketika matahari terbit di halaman depan."
Elena hanya berdiri dengan tubuh tegak dan bermartabat, ekspresinya tidak berubah sedikitpun. Tidak ada ketakutan, tidak ada kemarahan, tidak ada penyesalan, bahkan tidak ada kejutan.
"Saya menerima keputusan ayah dengan hati yang ikhlas," kata Elena dengan suara datar yang mengejutkan semua orang. "Jika itu yang terbaik untuk keharmonisan keluarga terhormat ini."
Ketenangan Elena yang luar biasa dalam menghadapi hukuman justru membuat Jenderal Arka merasa sangat tidak nyaman. Dia mengharapkan Elena akan menangis, memohon ampun, atau setidaknya menunjukkan ketakutan yang wajar.
Namun sikap putrinya yang dingin dan aneh ini membuatnya meragukan keputusannya sendiri. Ada sesuatu yang tidak beres, tapi dia tidak bisa menentukan apa itu.
Maya dan Lina merasa bangga dan puas dengan kemenangan total mereka. Namun mereka tidak menyadari bahwa Elena yang menerima hukuman dengan ketenangan yang sangat aneh ini justru sedang merencanakan sesuatu.
"Besok pagi ketika matahari mulai bersinar," kata Jenderal dengan suara yang masih ragu. "Hukuman akan dilaksanakan di halaman depan di hadapan seluruh pelayan."
Elena mengangguk sekali dengan tenang, lalu berbalik dan naik ke kamarnya tanpa berkata sepatah kata lagi. Langkahnya tetap tenang dan terkontrol.
Maya dan Lina saling berpandangan dengan kepuasan yang terselubung dan kegembiraan yang sulit disembunyikan. Namun ada sesuatu dalam ketenangan Elena yang membuat mereka merasa tidak nyaman.
Malam itu, sementara Maya dan Lina bergadang merencanakan cara menikmati tontonan besok pagi, Elena tertidur pulas di kamarnya. Napasnya teratur dan tenang, seolah besok pagi hanyalah hari biasa untuk minum teh.
Dalam tidurnya, jiwa dari tahun 2025 itu sedang mempersiapkan mental. Teknik pengendalian rasa sakit yang dipelajarinya sebagai atlet bela diri akan sangat berguna besok. Dan sebagai ahli farmakologi, dia tahu persis bagaimana tubuh bereaksi terhadap trauma fisik.
Bersambung
Lina gemetar hebat di samping ibunya. "Itu bukan aku," katanya dengan suara yang sangat cepat dan panik. "Ibu yang suruh. Aku hanya mengikuti perintah. Aku takut kalau tidak menurut."Elena berbalik menatapnya dengan mata yang sangat tajam. "Kau mengoleskan racun itu di jubah ibuku," katanya dengan nada yang sangat dingin. "Aku melihat bekas noda itu dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihatmu tersenyum saat melakukannya."Lina menggeleng dengan sangat cepat. "Tidak. Tidak. Aku tidak ingat. Aku masih kecil waktu itu. Ibu yang memaksaku.""Kau berusia lima belas tahun," potong Elena dengan tegas. "Cukup tua untuk tahu perbedaan antara benar dan salah. Tapi kau memilih jalan yang salah."Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Hanya suara napas tersengal Maya dan Lina yang terdengar.Lalu Elena mengangkat tangan. Tinggi-tinggi. Dan menurunkannya dengan sangat cepat.Plak!Tamparan sangat keras mendarat di pipi Maya. Bunyi yang sangat nyaring bergema di ruangan yang luas.Maya terhuyung
Pintu kayu besar terbuka dengan sangat perlahan. Bunyi engsel yang berderit pelan terdengar di ruangan yang hening.Cahaya dari luar masuk, membentuk silhouette seseorang yang berdiri dengan sangat tenang di ambang pintu.Maya dan Lina menatap dengan napas tertahan. Mata mereka berbinar penuh harapan yang salah.Lalu sosok itu melangkah masuk. Langkah yang sangat pelan dan terkontrol. Setiap gerakan penuh perhitungan.Elena muncul dengan hanfu putih bersih seperti salju.Tidak ada hiasan berlebihan. Hanya sisir giok putih di rambut yang ditata setengah ke atas dengan sangat rapi. Beberapa bunga melati putih segar menghiasi samping kepala.Wajahnya sangat tenang. Seperti permukaan danau yang tidak beriak. Mata menatap lurus ke depan tanpa ekspresi apapun.Di belakangnya, dua pelayan istana berdiri dengan kepala tertunduk. Tidak berani masuk lebih jauh.Elena berhenti di tengah ruangan. Menatap dua perempuan yang masih dicengkeram prajurit dengan tatapan yang sangat datar.Kevin berbali
Kevin berhenti tepat di hadapan Maya yang masih berlutut. Menatapnya dari atas dengan mata yang sangat meremehkan."Kau pikir kami bodoh?" tanyanya dengan suara yang sangat pelan tapi sangat menakutkan. "Kau pikir Biro Hukum Kekaisaran tidak tahu cara kerja orang seperti kalian?"Ia mengangguk pada prajurit. "Bawa mereka," perintahnya dengan tegas.Dua prajurit maju, masing-masing memegang lengan Maya dan Lina dengan sangat kasar. Menarik mereka berdiri dengan paksa.Maya menjerit sambil berusaha melepaskan diri. "Tidak! Lepaskan aku! Kau tidak bisa melakukan ini! Aku istri jenderal!"Lina menangis dengan sangat keras sambil mencengkeram lengan prajurit. "Kumohon! Kumohon jangan! Kami tidak bersalah!"Tapi prajurit tidak peduli. Mereka terus menarik kedua wanita itu ke arah pintu dengan gerakan yang sangat kasar.Maya dan Lina terseret dengan kaki yang hampir tidak menyentuh lantai. Hanfu mewah terseret di lantai, kotor dan kusut.Perhiasan berlian dan giok jatuh satu per satu dari le
Maya mencoba berdiri dengan gerakan yang tidak stabil. Kaki sedikit goyah karena arak, tapi ia memaksakan diri untuk terlihat tenang dan elegan.Ia merapikan hanfu dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu tersenyum. Senyum yang sangat dibuat-buat, tidak alami sama sekali."Tuan Kevin," katanya dengan suara yang berusaha terdengar sopan dan percaya diri. "Tentu ada kesalahan. Rumah ini milik Jenderal Arka Wirawan, kepala pasukan utara yang sedang berperang untuk negeri."Ia melangkah sedikit mendekat dengan gerakan yang berusaha anggun. "Kami keluarga yang sangat terhormat," lanjutnya sambil mengangkat dagu tinggi. "Tidak mungkin ada masalah hukum di sini."Kevin menatapnya dengan mata yang sangat datar. Tidak ada emosi sama sekali di sana. Hanya kekosongan yang dingin seperti es."Justru itu masalahnya, Nyonya," katanya sambil melipat tangan di belakang punggung. "Dana yang dikorupsi dari pasukan utara mengalir ke sini. Lewat bisnis Paviliun Bunga Teratai yang Nyonya kelola."Ia berja
Kevin berbalik menatap para pramuria dan pelayan yang berkumpul dengan wajah pucat di halaman. "Kalian semua akan dibawa ke penjara untuk diinterogasi," katanya dengan suara yang sangat keras. "Yang kooperatif akan diberi keringanan. Yang melawan akan dihukum berat."Para wanita itu menangis semakin keras. Beberapa jatuh berlutut sambil memohon dengan tangan terangkat.Tapi Kevin tidak peduli. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Sudah terlalu sering melihat orang menangis memohon ampun.Ia berbalik dan berjalan ke kereta kuda yang menunggu di jalan. "Kita ke mansion keluarga Wirawan," katanya pada kusir sambil naik ke kereta. "Sekarang juga."Kusir mengangguk dan mencambuk kuda. Kereta melaju dengan sangat cepat, meninggalkan paviliun yang sudah dipenuhi pasukan dan tangisan.++++Sementara itu, di mansion mewah keluarga Wirawan, suasana sangat berbeda.Lampu-lampu gantung kristal menyala dengan cahaya yang sangat terang meskipun masih siang. Tirai-tirai sutra merah terb
Pagi itu, suara tabuh genderang bergema di Balairung Kekaisaran dengan sangat keras. Bunyi yang dalam dan berat, membuat dada bergetar setiap kali dipukul.Para pejabat berbaris rapi di sepanjang aula dengan wajah yang sangat serius. Mengenakan jubah resmi dengan warna sesuai pangkat masing-masing. Tidak ada yang berani berbisik. Tidak ada yang berani bergerak.Di tengah aula, seorang protokoler istana berdiri dengan gulungan kertas besar bersegel merah dan emas. Wajahnya sangat kaku, punggung tegak seperti tiang batu.Ia membuka gulungan dengan gerakan yang sangat hati-hati. Bunyi kertas terurai terdengar sangat jelas di ruangan yang sunyi."Atas laporan resmi Paduka Pangeran Mahkota Surya Wijaya," bacanya dengan suara yang sangat keras dan bergema di seluruh aula. "Disetujui oleh Yang Mulia Kaisar Suryavira, Biro Hukum Kekaisaran diberi kuasa penuh untuk menyelidiki Paviliun Bunga Teratai."Ia berhenti sejenak, menatap para pejabat dengan mata yang sangat tajam."Terkait dugaan penc







