Home / Romansa / Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi / Pisau Kecil dan Air Mata Palsu

Share

Pisau Kecil dan Air Mata Palsu

Author: Jimmy Chuu
last update Last Updated: 2025-09-07 22:26:46

Pagi telah tiba di mansion Jenderal Wirawan, namun kehangatan matahari tidak mampu mengusir dinginnya atmosfer yang mencekam.

Elena berdiri di sudut ruang makan yang gelap, tubuhnya masih lemah akibat sisa racun yang mengalir dalam darahnya. Tatapan matanya tajam seperti belati yang baru diasah.

Di tangannya berkilau pisau kecil yang biasa digunakan untuk mengupas buah. Kini pisau itu terlihat menakutkan dalam genggamannya yang gemetar menahan amarah.

Maya dan Lina duduk di meja makan dengan postur yang masih berusaha terlihat anggun, namun jejak ketakutan semalam mulai menggerogoti kepercayaan diri mereka. Mereka menyantap sarapan mewah sambil berusaha terlihat tenang.

"Elena tampaknya sangat bersemangat pagi ini," kata Maya sambil menyeruput teh dengan gerakan yang sengaja dibuat anggun. Suaranya gemetar sedikit meski berusaha terdengar tenang.

"Memang memprihatinkan melihat kondisi yang begitu tidak stabil," timpal Lina dengan senyum tipis yang dipaksa. "Ayah pasti akan prihatin jika mengetahui putrinya yang semakin tidak terkendali."

"Kalian masih sempat berpura-pura," Elena melangkah keluar dari bayang-bayang. Suara langkahnya di lantai marmer bergema seperti lonceng kematian. "Setelah semalam kalian sudah merasakan sedikit kehangatan dariku."

Maya mencoba mempertahankan keangkuhannya dengan mengangkat dagu. "Kami tidak tahu apa yang kamu maksud, Elena. Semalam tidak terjadi apa-apa yang berarti."

"Benarkah?" Elena berhenti tepat di belakang kursi Maya. "Lalu mengapa tanganmu gemetar saat memegang cangkir itu?"

Lina bangkit dengan gerakan yang berusaha terlihat anggun namun gagal menyembunyikan kegelisahan. "Kakak Elena sepertinya terlalu banyak memikirkan hal yang tidak perlu."

"Seperti cara kalian dulu merawat ibu kandung saya dengan begitu teliti?" Elena memotong dengan nada yang masih datar namun dingin seperti es.

"Kami selalu menghormati kenangan almarhum istri pertama ayahmu," Maya balas dengan suara yang mulai bergetar. "Tidak ada yang perlu dipertanyakan tentang masa lalu."

"Tentang racun yang kalian campurkan dalam obatnya?" Elena bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan. "Atau tentang cara kalian membuatnya menderita perlahan-lahan?"

Lina mundur selangkah, wajahnya mulai pucat. "Kamu tidak punya bukti untuk tuduhan yang tidak masuk akal itu."

"Bukti?" Elena tersenyum dingin. "Seperti bukti yang kuberikan semalam ketika kalian hampir tersedak dalam tidur kalian?"

Maya dan Lina saling pandang dengan mata yang mulai dipenuhi ketakutan. Memori malam sebelumnya kembali menghantui mereka. Bagaimana Elena berdiri di samping tempat tidur mereka dengan tatapan kosong yang mengerikan.

"Itu hanya mimpi buruk," Maya berbisik, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. "Kamu tidak akan berani melakukan apapun."

"Seperti kalian dulu tidak berani menyakiti orang yang tidak berdosa?" Elena berjongkok di hadapan Maya hingga wajah mereka hampir bersentuhan. "Atau kalian pikir aku masih gadis kecil yang bisa kalian bodohi?"

Lina mencoba berlari menuju pintu, namun Elena bergerak lebih cepat. Tamparan keras mendarat di pipi Maya dengan bunyi yang menggema, disusul dengan tamparan kedua yang mengenai pipi Lina dengan kekuatan yang sama.

Kedua wanita itu terjatuh ke lantai marmer dengan bunyi yang keras.

Maya jatuh dengan tidak anggun, darah segar mengalir dari sudut bibirnya yang sobek. Gaun sutra mahalnya kotor terkena debu lantai dan makanan yang berserakan.

Lina terhuyung dan menabrak meja, cangkir teh pecah berserakan di sekitarnya. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena sakit fisik, namun karena ketakutan yang mendalam.

"Mohon jangan lakukan ini lagi, Elena," Maya berbisik dengan air mata yang kali ini mungkin benar-benar tulus. "Kami bisa menyelesaikan semua kesalahpahaman ini dengan cara yang lebih beradab."

"Kesalahpahaman?" Elena bangkit perlahan, menatap mereka dengan pandangan kosong. "Kalian menyebut pembunuhan sebagai kesalahpahaman?"

"Kami mungkin memang kurang bijaksana selama ini," Lina berkata dengan suara parau. "Jika ada kesalahan dalam pelayanan kami, tentu bisa diperbaiki dengan cara yang lebih elegan."

"Pelayanan?" Elena tertawa tanpa suara. "Kalian menyebut meracuni ibu kandung saya sebagai pelayanan?"

Maya mencoba merangkak menjauh dengan susah payah. "Elena yang bijaksana, kami mohon kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahan. Harta, perhiasan, tanah, apapun yang putri inginkan."

"Yang aku inginkan," Elena mengangkat pisau kecil di tangannya, membuatnya berkilau dalam cahaya pagi, "adalah melihat kalian merasakan pengalaman yang sama seperti yang diberikan kepada mereka yang pernah kukasihi."

"Setiap detik penderitaan, setiap tetes air mata, setiap hembusan napas terakhir," bisiknya dengan suara yang terdengar seperti angin kematian.

Lina terisak dengan keras. "Ayah akan segera kembali. Dia akan tahu tentang semua ini."

"Ayah sedang bertugas di perbatasan utara," Elena memotong dengan senyum tipis yang lebih menakutkan daripada ancaman terbuka. "Dan dalam dua minggu ini, kalian akan menikmati keramahtamahan yang sama seperti yang pernah kalian berikan."

"Tapi Elena, kita ini keluarga," Maya berkata putus asa. "Darah yang sama mengalir di tubuh kita."

"Darah yang sama?" Elena menatap mereka dengan pandangan yang menusuk jiwa. "Darah kalian sudah ternoda dengan dosa yang tidak terampuni."

"Kalian pikir dengan bersikap manis di depan ayah, kalian bisa menutupi semua kejahatan?" Elena berbalik menuju pintu. "Sekarang waktunya kalian merasakan bagaimana menjadi korban."

Elena melangkah keluar tanpa berkata sepatah kata lagi, membiarkan Maya dan Lina tergeletak di lantai ruang makan yang mewah itu. Suara langkahnya menggema di koridor panjang mansion.

Maya dan Lina saling berpandangan dengan mata yang dipenuhi ketakutan dan keputusasaan. Mereka yang selama ini merasa berkuasa absolut kini merasakan bagaimana rasanya menjadi mangsa yang tidak berdaya.

Tubuh mereka masih gemetar, bukan hanya karena sakit fisik yang menyiksa, namun karena mereka menyadari bahwa Elena yang baru ini adalah ancaman yang jauh lebih berbahaya dari yang pernah mereka bayangkan.

"Dia tahu semuanya," Maya berbisik dengan suara yang hampir tidak terdengar.

"Bagaimana mungkin?" Lina menatap pintu yang tertutup dengan ketakutan yang mendalam. "Kami sudah begitu hati-hati selama ini."

"Tidak ada yang tersembunyi selamanya," Maya bangkit dengan susah payah, tubuhnya masih gemetar. "Dan sekarang kita dalam bahaya."

Di kejauhan, suara pintu tertutup dengan keras menggema. Meninggalkan keheningan yang mencekam di ruang makan yang dulunya selalu dipenuhi tawa puas dan perbincangan licik mereka.

Elena berjalan menyusuri koridor dengan langkah mantap, meninggalkan masa lalu yang kelam di belakangnya. Jiwa dari tahun 2025 dalam tubuh gadis malang ini kini siap menulis ulang takdir yang telah ditentukan.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi   Penghakiman Elena.

    Lina gemetar hebat di samping ibunya. "Itu bukan aku," katanya dengan suara yang sangat cepat dan panik. "Ibu yang suruh. Aku hanya mengikuti perintah. Aku takut kalau tidak menurut."Elena berbalik menatapnya dengan mata yang sangat tajam. "Kau mengoleskan racun itu di jubah ibuku," katanya dengan nada yang sangat dingin. "Aku melihat bekas noda itu dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihatmu tersenyum saat melakukannya."Lina menggeleng dengan sangat cepat. "Tidak. Tidak. Aku tidak ingat. Aku masih kecil waktu itu. Ibu yang memaksaku.""Kau berusia lima belas tahun," potong Elena dengan tegas. "Cukup tua untuk tahu perbedaan antara benar dan salah. Tapi kau memilih jalan yang salah."Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Hanya suara napas tersengal Maya dan Lina yang terdengar.Lalu Elena mengangkat tangan. Tinggi-tinggi. Dan menurunkannya dengan sangat cepat.Plak!Tamparan sangat keras mendarat di pipi Maya. Bunyi yang sangat nyaring bergema di ruangan yang luas.Maya terhuyung

  • Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi   Keluarga Seperti Apa?

    Pintu kayu besar terbuka dengan sangat perlahan. Bunyi engsel yang berderit pelan terdengar di ruangan yang hening.Cahaya dari luar masuk, membentuk silhouette seseorang yang berdiri dengan sangat tenang di ambang pintu.Maya dan Lina menatap dengan napas tertahan. Mata mereka berbinar penuh harapan yang salah.Lalu sosok itu melangkah masuk. Langkah yang sangat pelan dan terkontrol. Setiap gerakan penuh perhitungan.Elena muncul dengan hanfu putih bersih seperti salju.Tidak ada hiasan berlebihan. Hanya sisir giok putih di rambut yang ditata setengah ke atas dengan sangat rapi. Beberapa bunga melati putih segar menghiasi samping kepala.Wajahnya sangat tenang. Seperti permukaan danau yang tidak beriak. Mata menatap lurus ke depan tanpa ekspresi apapun.Di belakangnya, dua pelayan istana berdiri dengan kepala tertunduk. Tidak berani masuk lebih jauh.Elena berhenti di tengah ruangan. Menatap dua perempuan yang masih dicengkeram prajurit dengan tatapan yang sangat datar.Kevin berbali

  • Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi   Harapan Palsu.

    Kevin berhenti tepat di hadapan Maya yang masih berlutut. Menatapnya dari atas dengan mata yang sangat meremehkan."Kau pikir kami bodoh?" tanyanya dengan suara yang sangat pelan tapi sangat menakutkan. "Kau pikir Biro Hukum Kekaisaran tidak tahu cara kerja orang seperti kalian?"Ia mengangguk pada prajurit. "Bawa mereka," perintahnya dengan tegas.Dua prajurit maju, masing-masing memegang lengan Maya dan Lina dengan sangat kasar. Menarik mereka berdiri dengan paksa.Maya menjerit sambil berusaha melepaskan diri. "Tidak! Lepaskan aku! Kau tidak bisa melakukan ini! Aku istri jenderal!"Lina menangis dengan sangat keras sambil mencengkeram lengan prajurit. "Kumohon! Kumohon jangan! Kami tidak bersalah!"Tapi prajurit tidak peduli. Mereka terus menarik kedua wanita itu ke arah pintu dengan gerakan yang sangat kasar.Maya dan Lina terseret dengan kaki yang hampir tidak menyentuh lantai. Hanfu mewah terseret di lantai, kotor dan kusut.Perhiasan berlian dan giok jatuh satu per satu dari le

  • Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi   Penangkapan Di Mansion Wirawan.

    Maya mencoba berdiri dengan gerakan yang tidak stabil. Kaki sedikit goyah karena arak, tapi ia memaksakan diri untuk terlihat tenang dan elegan.Ia merapikan hanfu dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu tersenyum. Senyum yang sangat dibuat-buat, tidak alami sama sekali."Tuan Kevin," katanya dengan suara yang berusaha terdengar sopan dan percaya diri. "Tentu ada kesalahan. Rumah ini milik Jenderal Arka Wirawan, kepala pasukan utara yang sedang berperang untuk negeri."Ia melangkah sedikit mendekat dengan gerakan yang berusaha anggun. "Kami keluarga yang sangat terhormat," lanjutnya sambil mengangkat dagu tinggi. "Tidak mungkin ada masalah hukum di sini."Kevin menatapnya dengan mata yang sangat datar. Tidak ada emosi sama sekali di sana. Hanya kekosongan yang dingin seperti es."Justru itu masalahnya, Nyonya," katanya sambil melipat tangan di belakang punggung. "Dana yang dikorupsi dari pasukan utara mengalir ke sini. Lewat bisnis Paviliun Bunga Teratai yang Nyonya kelola."Ia berja

  • Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi   Langkah Biro Hukum

    Kevin berbalik menatap para pramuria dan pelayan yang berkumpul dengan wajah pucat di halaman. "Kalian semua akan dibawa ke penjara untuk diinterogasi," katanya dengan suara yang sangat keras. "Yang kooperatif akan diberi keringanan. Yang melawan akan dihukum berat."Para wanita itu menangis semakin keras. Beberapa jatuh berlutut sambil memohon dengan tangan terangkat.Tapi Kevin tidak peduli. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Sudah terlalu sering melihat orang menangis memohon ampun.Ia berbalik dan berjalan ke kereta kuda yang menunggu di jalan. "Kita ke mansion keluarga Wirawan," katanya pada kusir sambil naik ke kereta. "Sekarang juga."Kusir mengangguk dan mencambuk kuda. Kereta melaju dengan sangat cepat, meninggalkan paviliun yang sudah dipenuhi pasukan dan tangisan.++++Sementara itu, di mansion mewah keluarga Wirawan, suasana sangat berbeda.Lampu-lampu gantung kristal menyala dengan cahaya yang sangat terang meskipun masih siang. Tirai-tirai sutra merah terb

  • Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi   Surat Kaisar

    Pagi itu, suara tabuh genderang bergema di Balairung Kekaisaran dengan sangat keras. Bunyi yang dalam dan berat, membuat dada bergetar setiap kali dipukul.Para pejabat berbaris rapi di sepanjang aula dengan wajah yang sangat serius. Mengenakan jubah resmi dengan warna sesuai pangkat masing-masing. Tidak ada yang berani berbisik. Tidak ada yang berani bergerak.Di tengah aula, seorang protokoler istana berdiri dengan gulungan kertas besar bersegel merah dan emas. Wajahnya sangat kaku, punggung tegak seperti tiang batu.Ia membuka gulungan dengan gerakan yang sangat hati-hati. Bunyi kertas terurai terdengar sangat jelas di ruangan yang sunyi."Atas laporan resmi Paduka Pangeran Mahkota Surya Wijaya," bacanya dengan suara yang sangat keras dan bergema di seluruh aula. "Disetujui oleh Yang Mulia Kaisar Suryavira, Biro Hukum Kekaisaran diberi kuasa penuh untuk menyelidiki Paviliun Bunga Teratai."Ia berhenti sejenak, menatap para pejabat dengan mata yang sangat tajam."Terkait dugaan penc

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status