“Nayla,Jika kamu membaca ini, artinya ketakutanku menjadi nyata, dan aku sudah tidak ada lagi untuk menjelaskannya langsung padamu.Aku tahu meminta maaf tidak akan cukup. Aku tahu mengkhianatimu adalah sesuatu yang sulit dimaafkan. Tapi kumohon, pahamilah, semua yang kulakukan lahir dari kepatahan, bukan dari niat jahat.Melihatmu sukses sementara aku tertinggal membuatku meragukan diriku sendiri. Alih-alih menjadikanmu inspirasi, aku membiarkan iri menguasai hatiku. Alih-alih merayakan pencapaian sahabatku, aku biarkan racun cemburu merusaknya.Namun ketika kusadari sejauh apa Pak Hendro dan jaringannya akan melangkah untuk menghancurkanmu—bahkan sampai tega menghabisimu—aku tahu aku harus bertindak. Bukti dalam USB ini adalah usahaku untuk menebus semuanya.Gunakan dengan bijak. Gunakan untuk melindungi bukan hanya dirimu, tapi semua perempuan yang akan melanjutkan jejakmu. Pastikan jaringan penindasan yang mencoba menghancurkanmu tidak pernah lagi punya kuasa untuk menghancurkan
“Vin, pelan-pelan,” kata Nayla, berusaha menjaga suaranya tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. “Jangan lakukan gerakan mendadak.”Arvino melirik kaca spion tengah tanpa menggerakkan kepala terlalu jelas. Mobil hitam itu masih mengikuti mereka dalam jarak yang konsisten—tidak terlalu dekat, tapi juga tidak pernah menjauh.“Sudah berapa lama?” tanya Arvino dengan nada rendah.“Sejak kita keluar dari gang rumah lama. Mungkin bahkan lebih awal… tapi aku baru menyadarinya sekarang.”Arvino memutar arah, mencoba memastikan apakah mobil itu memang mengikuti mereka atau sekadar kebetulan searah. Namun setiap kali ia berbelok, mobil itu ikut berbelok.“Tidak diragukan lagi, mereka memang mengikuti kita,” gumam Arvino. “Apa yang harus kita lakukan? Hubungi Inspektur Raharjo?”“Tunggu dulu.” Nayla memperhatikan mobil itu lebih saksama. “Ada yang aneh.”“Maksudmu?”“Kalau niat mereka menyakiti kita, kenapa menjaga jarak seperti itu? Kenapa tidak langsung mendekat? Dan lihat… mobil itu
Waktu seperti bergerak dalam gerakan lambat. Pak Hendro mengangkat pistolnya, mengarahkannya tepat ke dada Nayla. Tangannya begitu stabil, mengejutkan untuk seseorang yang sedang terdesak.Dalam sekejap itu, Nayla seolah melihat kilasan hidupnya sendiri—perjalanan dari seorang istri yang hancur, kehilangan segalanya, hingga kini berdiri sebagai pemimpin yang berani menghadapi ancaman.“Nayla!” Arvino berteriak, tubuhnya melompat untuk melindunginya.Namun sebelum pelatuk sempat ditekan, suara tembakan lain lebih dulu memecah udara. Pak Hendro terhuyung, bahunya berdarah, dan pistolnya jatuh ke lantai. Dari pintu masuk, tim taktis muncul dengan langkah cepat. Di barisan depan, Inspektur Raharjo memimpin dengan suara tegas.“Lepaskan senjatamu!” teriaknya.Kekacauan berlangsung dalam hitungan detik. Para pengawal Pak Hendro mencoba melawan, namun jumlah dan persenjataan mereka tak sebanding. Lima menit kemudian, semuanya terkendali.Nayla berdiri di tengah ruangan, kakinya bergetar, adr
Kegelapan total menyelimuti venue. Seketika, suara panik terdengar dari para staf dan tamu undangan yang baru saja berdatangan untuk persiapan terakhir. Emergency lighting tak kunjung menyala, menciptakan kekacauan yang sempurna—dan berbahaya.“Nayla, dekat sini,” bisik Arvino sambil meraih tangannya erat dalam gelap.“Tim keamanan, lapor sekarang!” teriak Sarah lewat radio genggamnya.Hanya terdengar suara statis. Tak ada jawaban.Inspector Raharjo segera mengaktifkan protokol darurat. “Semua unit, kita ada situasi di venue. Butuh backup segera.”Nayla merasakan firasat buruk yang menusuk. Ini terlalu rapi untuk sekadar kegagalan teknis. Seseorang dengan sengaja memutus aliran listrik, tepat saat venue mulai ramai tapi sistem keamanan belum sepenuhnya siap.“Vin, kita harus keluar dari sini,” bisiknya panik.“Lewat mana? Semua gelap.”“Ikut aku.”Nayla menarik tangan Arvino ke arah emergency exit yang ia ingat. Tapi begitu sampai, pintu itu terkunci rapat dari luar.“Ini jelas bukan
Ancaman bom mengubah segalanya hanya dalam hitungan menit. Kantor yayasan yang biasanya penuh dengan diskusi program sosial kini bertransformasi menjadi pusat komando darurat. Polisi lalu-lalang, tim penjinak bom dengan perlengkapannya sibuk melakukan pengecekan, sementara konsultan keamanan sibuk berbicara melalui radio.“Venue harus segera dievakuasi,” tegas Inspektur Raharjo yang baru saja tiba. “Kita tidak bisa mengambil risiko dengan lima ratus tamu yang akan hadir.”Nayla terduduk di kursinya. Di tangannya, undangan elegan untuk acara pelepasan lampion yang seharusnya menjadi malam paling bersejarah dalam perjalanan yayasan. Kini semua itu terasa rapuh, bisa hancur kapan saja.“Ada alternatif venue?” tanya Sarah sambil sibuk menelpon berbagai pihak.“Untuk lima ratus orang dengan waktu persiapan cuma enam jam? Hampir mustahil,” jawab Arvino, matanya tak lepas dari layar laptop.Tiba-tiba Nayla berdiri. “Aku perlu keluar sebentar.”“Nay, kamu nggak boleh—” Sarah langsung memprote
Nayla tiba di kantor dengan perasaan campur aduk. Kekuatan yang sempat ia temukan di rumah lama tadi mendadak terasa rapuh ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa ancaman terhadapnya semakin nyata—dan kini sangat personal.Sarah sudah menunggu di ruang rapat, beberapa berkas terbuka di hadapannya. Wajahnya serius, bahkan lebih tegang dari biasanya.“Duduk dulu, Nay. Ini berat,” ucapnya pelan.Nayla menarik kursi dan duduk di seberang Sarah. “Seberapa berat?”Sarah menatapnya tajam sebelum akhirnya berkata, “Orang yang memimpin pengawasan terhadapmu... adalah Rania.”Dunia Nayla seolah berhenti berputar. Rania—teman sejak kuliah, orang pertama yang mendukung mimpinya membangun yayasan, orang yang selama ini ia percayai tanpa ragu.“Itu… tidak mungkin,” bisiknya, suara nyaris tak terdengar.“Aku tahu ini mengejutkan. Tapi buktinya jelas.” Sarah membuka file dan menunjuk beberapa dokumen. “Ada transfer dana dari konsorsium ke rekening pribadinya, komunikasi terenkripsi dengan pihak-piha