Lobi kantor Nayla & Associates dipenuhi hiruk-pikuk seperti biasa. Para eksekutif muda berlalu-lalang sambil membawa laptop dan kopi, klien-klien duduk menunggu di sofa kulit mewah, dan percakapan bisnis bercampur dengan dengung aktivitas pagi.Di antara semua itu, Galan Mahardika duduk di kursi yang sama seperti kemarin. Setelan formal berwarna biru gelap yang biasa ia kenakan untuk pertemuan penting masih tampak rapi. Namun wajahnya tampak pucat, matanya cekung, dan ada getaran halus di tangannya saat menggenggam ponsel.Ia sudah duduk di sana cukup lama, tak melakukan apa pun. Hanya menatap ke arah lift yang mungkin akan membawanya naik ke lantai tempat kantor Nayla berada. Menuju percakapan yang bisa jadi mengubah segalanya. Atau justru mengakhirinya.“Pak, apakah Bapak sudah konfirmasi janji temu dengan Bu Nayla?” tanya resepsionis muda yang sama seperti kemarin.“Belum. Tapi saya perlu bertemu dengannya.”“Maaf, Pak. Bu Nayla tidak menerima tamu tanpa janji temu. Mungkin Bapak b
Galan masih duduk di kursi lobi tempat terakhir kali ia melihat Nayla pergi. Pandangannya kosong, tertuju pada pintu lift yang telah tertutup sejak lama. Aktivitas kantor berlalu-lalang di sekitarnya, tapi semua terdengar seperti gema yang jauh dan tak bermakna.Ini kali kedua kau kehilangan dia. Tapi kali ini, dia tak akan kembali.Suara itu bergema di kepalanya. Bukan suara Nayla. Bukan suara siapa pun. Itu suara hatinya sendiri—suara yang selama ini ia bungkam.Seorang petugas keamanan mendekat, ragu-ragu. “Pak, maaf mengganggu. Apakah Bapak masih menunggu seseorang?”Galan mengangkat kepala, kebingungan. “Tidak. Saya sudah selesai.”Tapi dia tidak bergerak. Seolah jika ia berdiri dan pergi, maka hilang pula harapan terakhir yang tersisa.Ponselnya berdering. Alya.“Sayang, kamu di mana? Aku udah nunggu di kafe dari tadi.”Galan terdiam. Ia bahkan lupa kalau mereka punya janji bertemu pagi itu.“Galan? Kamu dengar aku?”“Ya. Aku dengar.”“Kamu baik-baik saja? Suaramu aneh.”“Aku ba
Keesokan paginya, Nayla baru saja menyelesaikan tinjauan presentasi untuk klien saat resepsionisnya mengetuk pintu kantor.“Bu Nayla, Pak Galan ada di lobi. Katanya membawa proposal bisnis yang sangat mendesak.”Nayla menarik napas dalam. Semalam, ia sudah menyampaikan dengan sangat jelas bahwa percakapan mereka selesai. Tapi rupanya, Galan belum benar-benar mendengar.“Sudah berapa lama dia menunggu?”“Sekitar setengah jam, Bu. Katanya akan menunggu sampai Ibu bisa meluangkan waktu.”“Baik. Suruh dia ke Ruang Rapat B. Saya beri lima belas menit.”Di Ruang Rapat B, Galan masuk dengan membawa koper kerja dan wajah penuh tekad. Jas yang ia kenakan rapi, penampilannya seperti hendak menghadapi rapat bisnis penting.“Nayla, terima kasih sudah bersedia bertemu.”“Galan, kupikir pembicaraan kita tadi malam sudah cukup.”“Memang. Tapi ini berbeda. Aku datang dengan proposal bisnis, bukan urusan pribadi.”Nayla menunjuk kursi di hadapannya. “Silakan. Tapi waktumu lima belas menit.”“Aku ingin
Galan duduk sendirian di ruang makan pribadi yang elegan, menghadap gemerlap langit malam Jakarta. Ia telah merancang pertemuan ini dengan penuh perhitungan—bukan di kantor Nayla, bukan dalam suasana konsultasi profesional, melainkan sebuah makan malam di tempat netral."Situasi putus asa menuntut tindakan putus asa," pikirnya, sembari merapikan dasi dengan gugup.Pintu terbuka. Nayla melangkah masuk dalam balutan gaun hitam yang anggun, rambutnya tergerai lembut di bahu. Sejenak, Galan seolah kembali ke masa lalu—makan malam berdua, acara bisnis, saat-saat ketika mereka benar-benar menjadi rekan dalam segala hal."Terima kasih sudah datang, Nayla.""Kamu bilang ini penting," jawab Nayla singkat, sopan tapi berjaga."Silakan duduk. Aku sudah pesan wine favoritmu."Nayla melirik botol Bordeaux di meja. "Aku tidak minum anggur merah lagi, Galan.""Oh... aku tidak tahu.""Ada banyak hal tentangku yang tidak kamu tahu lagi."Hening mengisi ruangan ketika Nayla duduk di hadapannya. Jarak d
Dua hari setelah Alya mengundurkan diri. Galan duduk sendirian di ruang kerjanya yang kini tak lagi terasa seperti kantor, melainkan seperti bunker—terkunci, sunyi, dan penuh tekanan. Di mejanya, berderet dokumen hukum, surat keluhan dari para investor, dan potongan berita media yang makin hari makin tajam menghantam nama perusahaannya.“Pak Galan,” suara Dimas terdengar pelan dari balik pintu, mengetuk dengan ragu. “Laporan dari tim legal dan keuangan sudah siap.”“Berapa total kerugiannya?” tanya Galan, suaranya berat.“Pak… Singapore Investment Group resmi menarik diri. Itu 150 miliar. Kredit dari Jakarta Development Bank dibekukan, 200 miliar. Dan ada lima investor lain yang sedang mempertimbangkan untuk keluar juga.”Galan memejamkan mata. “Total?”“Kalau semuanya jadi keluar… kerugiannya bisa sampai 500 miliar, Pak.”“Cash flow kita sekarang?”“Dengan proyek berjalan dan biaya operasional… maksimal bisa bertahan tiga bulan, mungkin empat kalau semua pengeluaran non-essensial dip
Nayla berdiri di depan cermin di ruang rias, memeriksa penampilannya untuk terakhir kali. Blazer biru navy yang pas di tubuh, rambut disanggul rendah dengan rapi, riasan tipis tapi memberi kesan tegas. Hari ini, ia akan memoderatori sesi utama bertajuk “Kepemimpinan Perempuan di Dunia Bisnis Asia-Pasifik”—sebuah forum bergengsi yang dihadiri dua ribu peserta dan disiarkan langsung ke seluruh Asia."Bu Nayla, sudah siap?" Sari muncul dari balik pintu, membawa clipboard dan earpiece."Sepertinya... ya." Nayla menarik napas panjang. "Ingatkan aku lagi, siapa saja panelisnya?""CEO Unilever Indonesia, Managing Director Google Asia Tenggara, Presiden Direktur BCA, dan Pendiri Tokopedia. Semuanya pemain besar, Bu.""Sempurna. Lalu setelah sesi ini, apa jadwal kita?""Istirahat makan siang, lalu ada sesi networking dengan investor internasional. Oh ya, Bu—ada yang menarik. Ternyata di ruangan lain ada sesi panel soal konstruksi berkelanjutan."Nayla terdiam sejenak. "Konstruksi?""Ya. Hanya