Pagi itu, setelah malam yang gelisah, Nayla memutuskan untuk mengunjungi tempat yang sudah lama tidak dia datangi—rumah kontrakan kecil di Cipulir tempat dia mulai membangun hidup setelah perceraian dengan Galan. Tempat di mana mimpi tentang yayasan pertama kali terbentuk.Perjalanan dengan taksi online memakan waktu hampir satu jam karena macet. Sepanjang jalan, Nayla terus memikirkan kata-kata Inspector Raharjo semalam. Ancaman itu nyata, tapi dia tidak boleh hidup dalam ketakutan.Rumah kecil itu masih berdiri di ujung gang sempit, meski sudah jauh berubah. Cat tembok yang dulu putih bersih kini kusam keabu-abuan, beberapa genteng terlihat retak, dan halaman depan yang dulu dia rawat dengan penuh cinta kini dipenuhi semak liar yang tumbuh tak terkendali.Nayla berdiri di depan pagar kayu yang mulai lapuk, merasakan gelombang nostalgia yang campur aduk. Bukan kesedihan, tapi semacam rasa syukur yang aneh."Dulu, aku pikir rumah ini adalah akhir da
"Selamat malam, Miss Nayla. Saya rasa kita perlu berbicara."Nayla mundur selangkah, jantungnya berdegup kencang. Pria berjas hitam itu tetap berdiri tenang di koridor, tangannya terlipat di depan dada dengan sikap yang terlalu santai untuk seseorang yang muncul tanpa diundang di apartemen orang lain."Siapa Anda?" tanya Nayla, mencoba menjaga suaranya tetap tegas meski gemetar."Saya Detective Inspector Raharjo dari unit khusus Kepolisian Metro Jaya." Pria itu mengeluarkan kartu identitas dari saku jasnya. "Saya perlu bicara dengan Anda mengenai beberapa informasi yang kami terima."Nayla merasa sedikit lega—setidaknya ini bukan ancaman langsung—tapi kewaspadaannya belum sepenuhnya turun. "Mengapa tidak melalui kantor? Mengapa harus di sini?""Karena informasi yang kami miliki bersifat sensitif dan menyangkut keamanan personal Anda."Inspector Raharjo menunjuk ke arah pintu apartemen Nayla. "Boleh kita bicara di dalam? Koridor b
Ponsel Nayla bergetar keras di meja. Nama Galan muncul di layar dengan keterangan "Panggilan dari Lembaga Pemasyarakatan." Suasana ruang meeting yang hangat seketika berubah dingin."Jangan diangkat," bisik Arvino, tangannya menyentuh lengan Nayla.Tapi Nayla sudah menggeser tombol hijau. Entah kenapa, sesuatu dalam dirinya merasa perlu mendengar apa yang hendak dikatakan mantan suaminya setelah berbulan-bulan terdiam."Halo, Nayla." Suara Galan terdengar serak melalui speaker. "Terima kasih sudah mau mengangkat.""Ada apa, Galan?" Nayla berusaha menjaga nada bicaranya tetap datar, profesional."Aku dengar kamu dalam masalah. Seseorang mengawasi aktivitasmu."Nayla dan Arvino saling bertukar pandang. Bagaimana Galan bisa tahu?"Darimana kamu tahu soal itu?""Nayla, meski aku di sini, bukan berarti aku terisolasi total dari dunia luar. Ada hal-hal yang sampai ke telingaku."Arvino mengisyaratkan untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Nayla mengangguk."Jelaskan yang kamu tahu," kata Na
Kantor yayasan di lantai 15 gedung perkantoran Sudirman terasa lebih sunyi dari biasanya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sebagian besar staf sudah pulang, hanya meninggalkan Nayla dan Arvino yang masih tenggelam dalam tumpukan dokumen di ruang rapat kecil.Lampu kota Jakarta berkelip di balik jendela kaca besar. Pemandangan yang bisa terasa romantis andai saja meja di hadapan mereka tidak penuh dengan proposal, laporan keuangan, dan draft kontrak yang harus segera ditinjau.“Perjanjian kerja sama dengan UN Women ini rumit sekali,” gumam Arvino sambil membalik halaman kontrak yang tebal. “Mereka menuntut tingkat transparansi yang sangat detail. Setiap transaksi harus ada jejak auditnya.”Nayla menatap layar laptopnya yang dipenuhi angka-angka di spreadsheet. “Dan itu bagus, sebenarnya. Transparansi adalah hal terpenting untuk kredibilitas program ini. Apalagi setelah kebocoran data kemarin.”“Kamu sudah tahu siapa yang ada di balik kebocoran itu?”“Sarah masih menyeli
“Sekarang saya dapat pesanan dari Bandung, Surabaya, bahkan ada calon pembeli dari Malaysia!” Ibu Wati tersenyum bangga. “Pelanggan justru senang mendengar cerita di balik tiap kain batik, proses pembuatannya, makna motifnya. Mereka rela membayar lebih untuk keaslian.”Tepuk tangan spontan terdengar. Dada Nayla terasa hangat. Inilah alasan ia memulai program ini.“Yang paling penting,” lanjut Ibu Wati, “saya tidak lagi merasa kalah dengan brand modern. Saya punya nilai unik, dan ternyata ada pasar yang menghargainya.”“Itu luar biasa, Bu Wati,” kata Nayla dengan tulus. “Ibu tidak hanya membesarkan bisnis, tapi juga kepercayaan diri.”Sesi ditutup dengan foto bersama dan saling bertukar kontak. Nayla melihat ikatan alami mulai terjalin di antara para peserta—jaringan dukungan yang tumbuh sendiri.Ketika peserta mulai bubar, kru media yang sudah menunggu menghampiri. Nayla melayani dengan ramah, sementara ia sadar Arvino menjauh dari jangkauan kamera.“Miss Nayla,” tanya reporter Metro
Tiga bulan setelah peluncuran program, Nayla berdiri di halaman Community Center Depok yang sederhana tapi terawat. Pagi itu cerah, angin sepoi-sepoi membuat daun mangga bergoyang pelan. Di sekitarnya, dua puluh lima perempuan dari berbagai usia duduk melingkar—angkatan pertama program “Langkah Kecil, Dampak Besar.”“Selamat pagi, semuanya,” sapa Nayla dengan senyum hangat. Ia duduk di kursi plastik yang sama dengan para peserta, tanpa podium, tanpa mikrofon. Hanya percakapan dari hati ke hati.“Pagi, Kak Nayla!” jawab mereka kompak, penuh semangat.Nayla menatap wajah-wajah di sekelilingnya. Ada Bu Sari, ibu berusia empat puluhan dengan bisnis katering rumahan. Ada Dina, mahasiswi semester akhir dengan ide aplikasi untuk menghubungkan petani lokal dengan konsumen di kota. Ada juga Ibu Wati, pengrajin batik dari Pekalongan yang baru pindah ke Jakarta untuk memperluas pasar.“Bagaimana minggu pertama kalian? Jujur saja, ya, nggak usah ditutup-tutupi,” tanya Nayla.Bu Sari mengangkat ta