"Kami tahu Anda pasti masih ada kontak dengannya. Orang seperti dia tidak akan meninggalkan accomplice begitu saja tanpa memastikan dia aman."Galan teringat pesan yang ia terima kemarin malam. Pesan dari Alya yang meminta bertemu di cafe yang sudah tutup."Apa... apa yang akan terjadi dengan saya kalau saya bantu Bapak?""Jaksa bisa pertimbangkan plea bargain. Mungkin hukuman dikurangi dari maksimal lima belas tahun jadi tujuh atau delapan tahun, dengan kemungkinan parole.""Dan kalau saya tidak bantu?"Jaksa Marianti menjawab dengan nada final: "Maka Anda akan diadili sebagai co-conspirator utama. Hukuman maksimal, no parole possibility."Galan terdiam. Pilihannya jelas: mengkhianati wanita yang sudah mengkhianatinya, atau menghabiskan lima belas tahun hidupnya di penjara untuk kejahatan yang tidak sepenuhnya ia sadari."Saya... saya perlu waktu untuk berpikir.""Waktu adalah luxury yang tidak Anda miliki, Pak Galan," kata Inspector Bambang. "Miss Alya sangat smart. Setiap hari dia
Ruang interogasi Polda Metro Jakarta terasa seperti kotak semen yang menekan jiwa. Dinding abu-abu, meja logam dingin, dan lampu neon yang berkedip-kedip menciptakan suasana yang membuat siapa pun merasa bersalah meski tidak melakukan apa-apa. Galan duduk di kursi plastik yang keras, tangannya terborgol ke meja, menatap kosong ke arah Jaksa Penuntut Umum yang duduk di seberangnya."Saudara Galan Dwi Kusuma," suara Jaksa Marianti—wanita berusia lima puluhan dengan kacamata tebal dan ekspresi yang tidak pernah tersenyum—memecah keheningan. "Anda telah menandatangani lebih dari sepuluh transaksi dalam rentang waktu dua tahun. Total nilai yang diselewengkan mencapai lima belas miliar rupiah. Anda pikir ini bisa dimaafkan sebagai ketidaktahuan?"Galan mengangkat kepalanya perlahan. Matanya yang dulunya selalu bersinar dengan ambisi kini tampak kosong dan lelah. Kemeja putih yang ia kenakan sudah kusut dan ada noda keringat di ketiahnya. Rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan karena i
Galan menatap surat resmi itu untuk kesepuluh kalinya dalam satu jam, berharap tulisan di atas kertas berstempel itu akan berubah menjadi sesuatu yang lebih masuk akal. Tapi kalimat-kalimat hukum yang kaku itu tetap sama, menusuk matanya seperti pisau:"Saudara Galan D. Kusuma dipanggil sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan dana investasi asing senilai 15 miliar rupiah..."Tangannya gemetar saat ia meletakkan surat itu di meja kecil apartemen sederhana yang kini menjadi rumahnya. Jauh berbeda dari penthouse mewah yang pernah ia tempati bersama Alya. Ruang tamu yang sempit ini hanya berisi sofa bekas, meja plastik, dan televisi kecil yang layarnya sudah bergaris-garis."Tidak mungkin," gumamnya, mengusap wajah dengan kedua tangan. "Alya tidak mungkin tega melakukan ini padaku."Tapi bahkan saat mengucapkan kalimat itu, ia sudah tahu kebenarannya. Memori-memori yang selama ini ia abaikan mulai bermunculan—cara Alya selalu mengalihkan p
Suara tembakan dan hiruk-pikuk di belakang mereka semakin dekat ketika Nayla, Arvino, Sarah, dan Galan berlari menaiki tangga darurat menuju jalan raya. Key card di tangan Nayla terasa seperti selembar nyawa bagi puluhan orang, sementara catatan Rahman yang berlumuran darah terus terngiang di benaknya: “tuas biru, sisi kiri.”“Nayla!” Arvino menarik lengannya ketika mereka tiba di permukaan. “Kita harus berpencar. Sarah tidak bisa berlari jauh dengan kondisinya. Kalau kita tetap bersama, helikopter itu akan lebih mudah melacak.”“Tidak.” Nayla menggeleng keras. “Aku tidak akan meninggalkan siapa pun lagi. Cukup sudah ada orang yang terluka atau mati karena keluargaku.”Sarah, meski wajahnya pucat dan napasnya berat, menatap sahabatnya dengan tekad. “Nayla, dengarkan aku. Kamu satu-satunya yang bisa menggunakan key card itu. Kamu yang harus sampai ke gedung.”“Tapi—”“Tidak ada tapi,” potong Galan, yang mengintip situasi di jalan. “Ada tiga
"Aku masih cukup kuat untuk koordinasi. Dan mungkin..." Sarah menatap Rahman, "ada cara membalikkan keadaan."Rahman terkekeh sinis. "Tidak ada yang bisa kalian tawarkan yang lebih menarik daripada melihat keluarga Sari hancur.""Tidak? Bagaimana kalau kebebasan ayahmu?" suara Sarah tenang.Senyum Rahman lenyap. "Apa?""Ayahmu sudah tua. Kalau tertangkap sebagai dalang pembunuhan massal, dia akan mati di penjara. Balas dendam ini pantaskah mengorbankan sisa hidupnya?""Dia sudah sekarat," gumam Rahman. "Kanker. Mungkin enam bulan, paling lama.""Jadi ini misi bunuh diri," bisik Nayla.Rahman terdiam. Wajahnya untuk pertama kali tampak ragu.Sarah melanjutkan, "Kau masih muda. Punya karier, masa depan. Apakah menghancurkan hidupmu sendiri sepadan dengan kepuasan sesaat?"Perlahan, genggaman Rahman pada kartu itu mengendur. Wajahnya menampilkan konflik batin."Aku ingin..." suaranya bergetar, "aku ingin ayahku meninggal dengan tenang, dengan martabat. Tapi aku juga ingin bisa hidup tanp
"Galan, kita harus pergi sekarang!" seru Nayla sambil bergegas keluar dari taksi. Empat puluh enam menit tersisa untuk menyelamatkan seratus orang tak bersalah—waktu yang terlalu singkat untuk jarak sejauh itu."Tidak semudah itu," jawab Rahman dengan senyum tipis meski ujung pistol Galan sudah menempel di pelipisnya. "Ayah saya sudah mengantisipasi skenario ini. Dia punya rencana cadangan untuk setiap kemungkinan."Arvino menolong Sarah keluar dari taksi. "Rencana cadangan seperti apa?""Kalian tahu kantor Nayla punya sistem keamanan super canggih? Sensor gerak, protokol lockdown, pintu otomatis terkunci jika ada ancaman?"Nayla merasakan darahnya dingin seketika. "Maksudmu?""Ayah saya sudah meretas sistem itu. Begitu ada yang mencoba masuk atau mengevakuasi orang di dalam secara paksa, seluruh gedung akan terkunci total. Tidak ada yang bisa masuk atau keluar.""Kau bohong," desis Galan sambil menekan pistolnya lebih keras."Kalau tidak percaya, coba saja telepon security kantor Nay