แชร์

Bab 310

ผู้เขียน: perdy
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-07 23:52:36

“Tapi kamu tak berhenti di situ. Kamu memilih tetap terbuka, meski tahu risikonya.”

Percakapan mereka berlanjut—ringan tapi dalam. Mereka tertawa mengenang masa-masa sulit: proposal yang ditolak, tidur di lantai beralaskan koran saat jadi relawan di desa, atau insiden ketika Nayla salah memanggil kepala desa dan hampir menimbulkan masalah diplomatik.

“Waktu itu kamu yang menyelamatkan situasi,” ujar Nayla sambil tertawa. “Aku belajar lebih banyak soal budaya dari kejadian itu daripada dari pelatihan mana pun.”

“Pelajaran terbaik datang dari kesalahan yang berhasil kita hadapi,” balas Damar.

Namun di sela tawa itu, muncul keheningan. Sunyi yang sarat makna—menyimpan sesuatu yang dulu tak terucap, kini hadir lagi dalam bentuk berbeda: bukan cinta muda yang sederhana, melainkan rasa yang matang tapi tak punya ruang.

“Damar,” kata Nayla pelan, “terima kasih sudah datang hari ini. Dan terima kasih sudah jujur tentang alasan kamu pergi. Sekarang aku mengerti—kepergianmu bukan penolakan, tap
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 343

    Gedung konferensi internasional itu megah, dengan bendera dari berbagai negara tergantung di sepanjang dinding kaca. Para peserta dari seluruh Asia Tenggara duduk rapi mengenakan name tag, sebagian sibuk mencatat, sebagian lagi sibuk memotret suasana.Di tengah panggung, Harra Nayla Arvino berdiri dengan mikrofon di tangan dan senyum tenang di wajahnya.“Selamat pagi,” suaranya lembut, tapi jelas. “Nama saya Harra, dan saya datang bukan dari kota besar, bukan dari keluarga politik, bukan dari perusahaan raksasa. Saya datang dari ruang belajar kecil di belakang rumah—yang sekarang kami sebut Jendela Harapan.”Beberapa peserta tersenyum. Yang lain memperhatikan serius.Di layar besar di belakangnya, tayangan dokumenter berdurasi lima menit mulai diputar. Rekaman sederhana tentang anak-anak desa yang belajar mengetik, menatap layar komputer pertama mereka, dan tertawa saat berhasil menulis nama sendiri di dokumen digital.“Lihat itu,” bisik salah satu delegasi dari Filipina. “Itu luar bi

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 342

    Langit sore tampak teduh saat Harra memindahkan beberapa kursi lipat ke tengah ruangan. Aula kecil di belakang rumah mereka kini tampak seperti ruang rapat dadakan: ada papan tulis, laptop bekas, dan tumpukan kertas berisi sketsa ide proyek. Di dinding, tulisan besar hasil spidol warna biru berbunyi: JENDELA HARAPAN – Batch Pertama.“Maaf ya, masih berantakan,” ucap Harra sambil menepuk-nepuk debu di meja.Tiga orang mahasiswa dan dua remaja dari komunitas lokal duduk di depannya, beberapa masih terlihat malu-malu.Tidak ada jas formal, tidak ada kartu nama. Hanya semangat yang terasa di udara.“Baik,” kata Harra sambil tersenyum, “sebelum kita mulai, aku mau bilang satu hal dulu.”Ia menatap satu per satu wajah di hadapannya. Ada Reza, mahasiswa teknik yang jago bongkar pasang komputer; ada Icha, guru relawan; lalu Dimas, anak kampung sebelah yang gemar coding dari warnet.“Aku nggak butuh orang paling pintar,” lanjutnya pelan tapi tegas. “Aku butuh orang yang peduli. Yang mau turun

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 341

    Ruang rapat itu tidak sebesar ballroom konferensi internasional yang dulu sering dihadiri Nayla, tapi cukup megah untuk membuat siapa pun gugup. Dindingnya dipenuhi layar LED yang menampilkan logo perusahaan besar, dan di bagian depan, Harra berdiri dengan pointer di tangan. Di belakangnya, slide presentasi bertuliskan: “Jendela Harapan – Pendidikan Digital untuk Desa.”Tangannya sedikit gemetar. Napasnya cepat. Tapi matanya—tajam, penuh keyakinan.“...Selama ini, anak-anak di pelosok hanya mendengar kata internet tanpa benar-benar menyentuhnya,” katanya, menatap para calon mitra di depan. “Mereka tahu tentang dunia digital dari televisi, bukan dari pengalaman langsung. Dan kami ingin mengubah itu. Bukan hanya dengan memberi perangkat, tapi dengan membuka cara berpikir baru.”Ia berhenti sebentar, menatap layar. Dalam sepersekian detik itu, Harra bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia sempat ragu—apakah suaranya cukup meyakinkan, apakah ide itu terdengar terlalu idealis?Namun

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 340

    Pagi itu, ruang komunitas di lantai dua gedung kecil milik yayasan mereka penuh dengan suara tawa, diskusi, dan semangat muda. Di dindingnya tergantung peta Indonesia besar dengan titik-titik kecil berwarna merah—tempat-tempat yang ingin mereka jangkau suatu hari nanti.Di tengah ruangan, Harra berdiri dengan spidol di tangan dan mata yang menyala-nyala. Rambutnya dikuncir seadanya, dan kemeja putih yang digulung sampai siku sudah berlumur tinta warna. Tapi semangatnya tak pernah berkurang.“Bayangkan kalau setiap desa punya akses internet stabil dan mentor yang siap ngajarin coding dasar, desain, dan marketing online,” katanya antusias. “Bukan cuma teori, tapi aplikasi nyata—cara mereka bisa jual hasil panen, kerajinan, bahkan ide mereka sendiri.”Belasan anak muda di depannya mengangguk penuh semangat. Sebagian mencatat, sebagian lagi sibuk menempelkan sticky notes di papan tulis besar bertuliskan: ‘Proyek Jendela Harapan – Tahap Awal.’Dari sudut ruangan, Nayla memperhatikan dengan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 339

    Udara pagi di puncak bukit itu begitu bersih, hampir seolah dunia sengaja menunda hiruk pikuknya demi memberi mereka waktu sedikit lebih lama. Embun masih menggantung di ujung dedaunan, dan kabut tipis perlahan menyingkap lembah hijau yang membentang di bawah. Nayla duduk di atas batu besar, mengenakan jaket krem yang sedikit kebesaran, rambutnya terurai ditiup angin. Arvino duduk di sampingnya, diam, hanya menatap horizon dengan tatapan yang penuh arti.Mereka sudah lama tidak bicara. Tidak karena kehabisan topik, tapi karena keheningan itu sendiri sudah cukup menenangkan. Di antara bunyi burung dan desir angin, keduanya seperti menemukan bentuk kedamaian yang tidak bisa dibeli.“Indah, ya,” kata Arvino akhirnya, suaranya serak tapi lembut.Nayla mengangguk pelan. “Indah… tapi bukan karena pemandangannya. Mungkin karena aku akhirnya bisa menikmatinya tanpa rasa takut kehilangan.”Arvino menoleh. “Takut kehilangan?”Nayla menatap lembah di bawah, senyum kecil mengembang di wajahnya. “

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 338

    Malam itu, langit terbentang seperti kanvas hitam dengan taburan bintang-bintang yang berkilau lembut. Udara dingin pegunungan menggigit kulit, tapi di depan vila kayu kecil itu, api unggun menyala hangat—menyulut percakapan yang jarang lahir di tengah kesunyian.Nayla duduk bersila di atas karpet bulu yang dibentangkan di depan api, mengenakan sweater rajut abu-abu dan syal tebal. Rambutnya diikat asal, tapi di mata Arvino, tidak ada yang lebih mempesona dari kesederhanaan itu. Ia tampak tenang, tapi di matanya, ada pantulan nyala api yang hidup—seolah menyimpan seribu cerita yang pernah terbakar dan kini berubah jadi cahaya.Arvino melemparkan sepotong kayu ke dalam api. Suara letupannya terdengar kecil, lalu disusul percikan bunga api yang menari sebentar sebelum lenyap ke udara malam.“Kalau semua ini diambil lagi suatu hari nanti…” katanya pelan, menatap api dengan pandangan yang dalam. “Ketenangan ini, tempat ini, hidup yang kita punya sekarang… kamu bakal tetap baik-baik saja?”

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status