Kenangan bersama mereka adalah seperti album foto usang—setiap lembar memperlihatkan momen di mana mereka pernah menjadi satu, utuh, tak terpisahkan. Dulu, meja kerja mereka adalah markas perang kecil—tempat di mana mimpi diukir bersama, di mana setiap tantangan dijinakkan dengan tangan saling bertautan.
Kini, meja itu terbelah. Bukan secara fisik, melainkan oleh jarak yang tak terlihat namun terasa.
Nayla membaca laporan keuangan dengan teliti. Kebiasaan lama—saat dulu ia selalu menjadi mata kedua Galan, melihat detail yang mungkin terlewat. Ia menemukan beberapa catatan yang bisa menghemat pengeluaran, membuat alur bisnis lebih efisien.
"Menurutku, kita bisa menggeser alokasi dana di sini," katanya, menunjuk salah satu baris. Suaranya lembut, seperti dulu—penuh perhatian, tanpa maksud menyalahkan.
Galan mendongak. Tatapannya berbeda. Bukan lagi tatapan rekan yang saling percaya, melainkan mata seorang asing yang tak ingin digangg
Bab 168 – Makan Siang yang Tak Biasa"Serius?" Nayla menatap Arvino dengan ekspresi tak percaya. "Kamu mau ngajak aku makan di... warung?"Mereka baru saja menyelesaikan meeting kedua untuk program legal literacy, ketika Arvino tiba-tiba mengusulkan ide makan siang yang sangat jauh dari ekspektasi Nayla."Ada masalah?" tanya Arvino sambil merapikan berkas."Bukan masalah..." Nayla menunjuk pakaiannya — blazer Armani dan heels Saint Laurent. "Aku berpakaian untuk meeting, bukan untuk warung pinggir jalan.""Oh." Arvino tampak baru menyadari sesuatu. "Maaf, aku nggak kepikiran soal itu. Biasanya kolega makanku lebih... santai."Nayla memperhatikan ekspresinya. Tidak ada rasa malu, tidak juga upaya mengubah rencana. Hanya kekhawatiran tulus bahwa dia mungkin merasa tidak nyaman."Kamu nggak punya alternatif restoran yang lebih... sesuai?""Sejujurnya? Warung Bu Minah punya gudeg terenak di Jakarta Selatan. Dan tempatnya tenang, nyaman buat ngobrol tanpa takut didengar orang.""Soal priva
Ruang meeting di lantai 12 Bright Future Learning siang itu dipenuhi dokumen cetak dan laptop yang terbuka. Aroma kopi sudah bercampur dengan ketegangan deadline. Sudah tiga jam Nayla dan timnya berdiskusi bersama Arvino—pengacara yang kini jadi mitra strategis dalam pengembangan program perlindungan hukum untuk UMKM binaan mereka.“Intinya,” kata Nayla, menunjuk ke proyektor, “kita butuh template kontrak yang mudah dipahami pelaku usaha kecil, tapi tetap melindungi kedua belah pihak.”Arvino mengangguk, jari-jarinya masih sibuk mengetik. “Setuju. Tapi, Mbak Nayla, kalau boleh saya sarankan—mungkin kita perlu mulai dari edukasi hukum dasar dulu. Jangan langsung lempar mereka ke soal kontrak.”“Maksudnya?”“Banyak pelaku usaha kecil yang langsung tanda tangan kontrak karena takut kehilangan peluang. Mereka nggak benar-benar paham apa yang mereka setujui.”Sarah, yang duduk di sebelah Nayla, ikut menimpali, “Kita bisa buat workshop seri. Mulai dari pemahaman dasar hukum, baru ke negosia
“Rata-rata, pelaku usaha perempuan mengeluarkan 40% lebih banyak untuk urusan hukum dibanding laki-laki dengan usaha serupa. Kenapa? Karena mereka sering dianggap kurang paham hak-haknya, lebih mudah dibujuk, dan lebih mungkin untuk mengalah.”Ruangan mendadak hening. Bahkan para pejabat yang biasanya sibuk dengan ponsel mereka, kini mulai memperhatikan.“Tapi dari ratusan perempuan yang saya temui, satu hal yang saya pelajari: mereka bukan kurang cerdas. Mereka justru lebih kolaboratif, lebih etis, dan sering kali lebih inovatif dari rekan-rekan pria mereka. Yang mereka butuhkan cuma satu: akses hukum yang adil.”Ia melangkah dari balik podium, membuat suasana lebih seperti diskusi daripada ceramah.“Saya cerita sedikit soal Bu Sari—bukan Bu Nayla ya,” katanya sambil melirik Nayla, memancing tawa ringan. “Bu Sari punya usaha katering kecil di Tangerang. Tahun lalu, dia dikontrak oleh perusahaan konstruksi b
Galan turun lewat lift dengan langkah yang lebih ringan dari tadi pagi. Kantor yang biasanya menjadi tempatnya menyembunyikan kegagalan kini terasa seperti ruang transisi—tempat ia akhirnya berhenti bersembunyi dari dirinya sendiri.Di parkiran, angin malam menyapu wajahnya. Langit Jakarta mendung, tapi tidak hujan. Udara cukup lembab, cukup tenang. Seperti jeda antara dua musim.Ia masuk ke mobil, menyalakan mesin, dan menyetir tanpa menyalakan musik. Sunyi di dalam kabin mobil justru terasa nyaman. Tidak ada suara yang lebih jujur daripada diam yang dihadapi tanpa ketakutan.Sampai di apartemen, suasana tak berubah—hampa. Tapi malam ini, hampa itu tidak lagi menakutkan. Bukan karena ia sudah berdamai, tapi karena ia sudah mulai belajar menerima bahwa tidak semua ruang kosong harus diisi dengan orang lain. Kadang, cukup dengan kehadiran diri sendiri yang utuh.Galan menaruh kunci di meja, melepas jaket, dan menatap ruangan yang
Akhirnya, dia selalu kehilangan.“Mungkin,” katanya lagi, “mungkin aku memang nggak cocok hidup bareng siapa pun.”Pikiran itu terasa lebih menyakitkan dari yang dia kira. Dia meneguk lagi whiskey-nya. Kali ini lebih banyak.Ponsel kembali bergetar. Spam lagi.Galan tertawa lebih keras sekarang—dan untuk pertama kalinya sejak tadi pagi, tawanya tulus. Betapa ironisnya: pebisnis sukses dengan dua puluh tahun pengalaman, duduk di kantor mahal dengan minuman mahal, merasa sendiri karena tak satu pun orang penting mengirim pesan.Menyedihkan.Tapi juga... manusiawi.Ia ingat ucapan terapis yang dulu sempat ia datangi setelah putus dengan Alya.“Kesepian itu bukan hukuman karena gagal membina hubungan. Itu informasi—tentang apa yang sebenarnya kamu butuhkan dan hargai.”Apa yang sebenarnya dia butuhkan?Koneksi yang tulus. Tapi koneksi tulus butuh kerentanan. Dan kerentanan butuh kepercayaan. Dan kepercayaan dibangun dari kejujuran dan konsistensi.Dua hal yang, ia akui, tidak selalu dia m
Pukul sembilan malam, kantor sudah sunyi. Hanya satu cahaya yang masih menyala—dari ruang kerja Galan di lantai tiga puluh. Dari luar, mungkin terlihat seperti seorang workaholic yang berdedikasi. Tapi sebenarnya, dia cuma nggak tahu harus pulang ke mana.Apartemen terasa terlalu sepi setelah pertengkaran besar dengan Alya. Rumah orang tuanya di Bogor terlalu jauh, terlalu banyak pertanyaan yang nggak sanggup dia jawab. Hotel? Terlalu asing untuk malam yang sudah cukup melelahkan.Jadi dia tetap di sini. Di tempat yang paling familiar. Di antara kenangan dua puluh tahun yang tergantung rapi di dinding-dinding kaca dan kayu.Pertemuannya dengan Nayla tadi sore... rumit. Bukan buruk, tapi juga jauh dari mulus. Seperti misi penjajakan dua orang yang mencoba menilai: apakah mereka bisa saling percaya cukup dalam untuk membangun sesuatu bersama?"Tawaran kerja sama masih terbuka," kata Nayla sebelum berpisah. "Tapi aku paham kalau kamu butuh waktu buat beresin urusanmu dengan Alya dan Meri