"Setuju," jawab Nayla dengan senyum tulus. "Terima kasih, Ayah."
"Jangan berterima kasih dulu," Herdian menatap putrinya dengan serius. "Jalanmu masih panjang dan tidak akan mudah. Galan dan Alya memiliki momentum dan dukungan publik saat ini. Mengubah persepsi itu akan membutuhkan strategi jangka panjang dan ketahanan mental yang kuat."
"Aku siap," tegas Nayla. "Kali ini aku tidak akan naif atau terburu-buru. Aku akan bermain dengan cerdas dan sabar."
Herdian mengangguk puas. "Baiklah. Mulai besok kamu bisa mengunjungi kantor NeoVerse dan berkenalan dengan tim inti. Dokumen serah terima dan pengangkatanmu sebagai CEO akan Ayah siapkan akhir minggu ini."
Nayla bangkit dari kursinya, menggenggam map hitam itu dengan erat. Untuk pertama kalinya sejak pengkhianatan Galan, ia merasakan semangat dan gairah yang dulu pernah hilang. Langkahnya terasa ringan saat berjalan menuju pintu.
"Nayla," panggil Herdian sebelum putrinya mencapai pintu, "ingat satu h
“Rata-rata, pelaku usaha perempuan mengeluarkan 40% lebih banyak untuk urusan hukum dibanding laki-laki dengan usaha serupa. Kenapa? Karena mereka sering dianggap kurang paham hak-haknya, lebih mudah dibujuk, dan lebih mungkin untuk mengalah.”Ruangan mendadak hening. Bahkan para pejabat yang biasanya sibuk dengan ponsel mereka, kini mulai memperhatikan.“Tapi dari ratusan perempuan yang saya temui, satu hal yang saya pelajari: mereka bukan kurang cerdas. Mereka justru lebih kolaboratif, lebih etis, dan sering kali lebih inovatif dari rekan-rekan pria mereka. Yang mereka butuhkan cuma satu: akses hukum yang adil.”Ia melangkah dari balik podium, membuat suasana lebih seperti diskusi daripada ceramah.“Saya cerita sedikit soal Bu Sari—bukan Bu Nayla ya,” katanya sambil melirik Nayla, memancing tawa ringan. “Bu Sari punya usaha katering kecil di Tangerang. Tahun lalu, dia dikontrak oleh perusahaan konstruksi b
Galan turun lewat lift dengan langkah yang lebih ringan dari tadi pagi. Kantor yang biasanya menjadi tempatnya menyembunyikan kegagalan kini terasa seperti ruang transisi—tempat ia akhirnya berhenti bersembunyi dari dirinya sendiri.Di parkiran, angin malam menyapu wajahnya. Langit Jakarta mendung, tapi tidak hujan. Udara cukup lembab, cukup tenang. Seperti jeda antara dua musim.Ia masuk ke mobil, menyalakan mesin, dan menyetir tanpa menyalakan musik. Sunyi di dalam kabin mobil justru terasa nyaman. Tidak ada suara yang lebih jujur daripada diam yang dihadapi tanpa ketakutan.Sampai di apartemen, suasana tak berubah—hampa. Tapi malam ini, hampa itu tidak lagi menakutkan. Bukan karena ia sudah berdamai, tapi karena ia sudah mulai belajar menerima bahwa tidak semua ruang kosong harus diisi dengan orang lain. Kadang, cukup dengan kehadiran diri sendiri yang utuh.Galan menaruh kunci di meja, melepas jaket, dan menatap ruangan yang
Akhirnya, dia selalu kehilangan.“Mungkin,” katanya lagi, “mungkin aku memang nggak cocok hidup bareng siapa pun.”Pikiran itu terasa lebih menyakitkan dari yang dia kira. Dia meneguk lagi whiskey-nya. Kali ini lebih banyak.Ponsel kembali bergetar. Spam lagi.Galan tertawa lebih keras sekarang—dan untuk pertama kalinya sejak tadi pagi, tawanya tulus. Betapa ironisnya: pebisnis sukses dengan dua puluh tahun pengalaman, duduk di kantor mahal dengan minuman mahal, merasa sendiri karena tak satu pun orang penting mengirim pesan.Menyedihkan.Tapi juga... manusiawi.Ia ingat ucapan terapis yang dulu sempat ia datangi setelah putus dengan Alya.“Kesepian itu bukan hukuman karena gagal membina hubungan. Itu informasi—tentang apa yang sebenarnya kamu butuhkan dan hargai.”Apa yang sebenarnya dia butuhkan?Koneksi yang tulus. Tapi koneksi tulus butuh kerentanan. Dan kerentanan butuh kepercayaan. Dan kepercayaan dibangun dari kejujuran dan konsistensi.Dua hal yang, ia akui, tidak selalu dia m
Pukul sembilan malam, kantor sudah sunyi. Hanya satu cahaya yang masih menyala—dari ruang kerja Galan di lantai tiga puluh. Dari luar, mungkin terlihat seperti seorang workaholic yang berdedikasi. Tapi sebenarnya, dia cuma nggak tahu harus pulang ke mana.Apartemen terasa terlalu sepi setelah pertengkaran besar dengan Alya. Rumah orang tuanya di Bogor terlalu jauh, terlalu banyak pertanyaan yang nggak sanggup dia jawab. Hotel? Terlalu asing untuk malam yang sudah cukup melelahkan.Jadi dia tetap di sini. Di tempat yang paling familiar. Di antara kenangan dua puluh tahun yang tergantung rapi di dinding-dinding kaca dan kayu.Pertemuannya dengan Nayla tadi sore... rumit. Bukan buruk, tapi juga jauh dari mulus. Seperti misi penjajakan dua orang yang mencoba menilai: apakah mereka bisa saling percaya cukup dalam untuk membangun sesuatu bersama?"Tawaran kerja sama masih terbuka," kata Nayla sebelum berpisah. "Tapi aku paham kalau kamu butuh waktu buat beresin urusanmu dengan Alya dan Meri
"Itu satu-satunya hal yang bisa bikin kamu denger! Kalau aku kasih solusi, kamu anggap aku ganggu. Kalau aku kasih peringatan, kamu anggap aku negatif!"Kini mereka berdua sama-sama berteriak. Ketegangan profesional berubah jadi pertarungan pribadi yang telanjang."Jadi solusi kamu adalah ambil alih perusahaan lewat jalur belakang? Bawa investor pemangsa dan singkirkan aku dari semua keputusan?""Solusi aku adalah kasih kendali ke orang yang mau pegang kendali! Yang nggak terus-menerus mikirin apa yang dipikirin mantan pacarnya setiap kali mau ambil keputusan!""Apa maksudmu?!""Maksudku..." Alya mengusap air mata dengan punggung tangan, suaranya pecah. "Tiap keputusan besar yang kamu ambil setahun terakhir itu—selalu tentang Nayla. Ekspansi ke sektor edukasi? Biar bisa bersaing sama perusahaannya. Tender Nordic? Kamu lebih sibuk buktiin diri ke dia daripada bikin proposal yang kompetitif. Dan sekarang kerja sama? Aku lihat semuanya, Galan."Seperti ditampar. Galan terdiam."Kerja sam
Galan tidak bisa tidur. Hampir tengah malam, tapi pikirannya terus berputar—Richard, Alya, ultimatum 24 jam, dan pertemuan dengan Nayla besok pagi.Ia bangkit dari ranjang dan berjalan ke dapur untuk mengambil air. Baru saja membuka kulkas, suara kunci di pintu depan membuatnya menoleh.Alya.Ia masuk dengan langkah goyah, sepatu heels di tangan, rambut agak berantakan. Bau wine tercium samar—bukan mabuk, tapi cukup membuatnya kehilangan filter."Aku kira kamu sudah pergi," ujar Galan dari ambang pintu dapur."Aku memang pergi," sahut Alya sambil meletakkan heels-nya di lantai dan tas di sofa. "Tapi aku sadar, kita belum selesai bicara.""Bicara atau berantem?""Terserah kamu mau sebut apa."Alya berjalan ke arah dapur dan langsung membuka rak wine. Tangannya mengambil sebotol Merlot mahal—yang dulu mereka beli di Tuscany, dua tahun lalu."Alya, kamu udah cukup minum.""Jangan bilang apa yang cukup buatku, Galan. Ternyata aku juga nggak cukup qualified buat ambil keputusan sendiri."I