Dalam kolom sosial majalah bisnis terkemuka, muncul headline:"Kembalinya Sang Pewaris: Nayla Mahardika Hadiri Gala Perdana Setelah Bertahun Menghilang"Publik terbelah antara kagum dan penasaran. Netizen mulai menggali masa lalu Nayla, termasuk foto-foto lamanya bersama Galan yang perlahan tersebar lagi.Galan hampir tersedak kopinya saat membuka tablet dan melihat wajah Nayla memenuhi layar. Foto-foto dari gala semalam bertebaran di berbagai portal berita, dan yang paling mengejutkan—foto lama mereka berdua dari lima tahun yang lalu ikut beredar."Nayla Mahardika, 25, putri tunggal konglomerat Mahardika Group yang menghilang dari sorotan publik sejak 2019, kembali mencuri perhatian dalam gala para pewaris kemarin malam..."Galan membaca dengan cepat sambil merasakan kepalanya mulai berdenyut. Mahardika Group? Konglomerat? Putri tunggal?Teleponnya berdering. Alya."Galan! Kau sudah baca berita?" suara Alya terdengar setengah panik. "Nayla itu... dia bukan gadis biasa! Dia pewaris sa
Nayla tak banyak bicara malam itu, hanya menjabat tangan dan mengamati. Tapi satu hal jelas: kehadirannya adalah teka-teki yang memikat.Ia duduk bersama pewaris konglomerat otomotif, lalu bicara serius dengan pemilik perusahaan farmasi. Galan, yang juga hadir di acara itu bersama Alya, tak bisa tidak mencuri pandang.Alya berbisik, gelisah: "Dia terlihat… terlalu nyaman di antara mereka."Galan menelan ludah. Ada yang berbeda dari Nayla yang ia lihat malam ini. Bukan lagi gadis yang bekerja di kafe atau yang tersenyum canggung saat pertama kali mereka bertemu. Nayla yang duduk di meja VIP itu adalah sosok yang sama sekali berbeda—elegan, berkuasa, dan misterius."Siapa sebenarnya dia?" gumam Alya, mata tajamnya tidak lepas dari sosok Nayla yang sedang berbincang dengan Hendrick Salim, raja industri otomotif yang terkenal eksentrik dan sulit didekati.Namun Hendrick terlihat tertarik dengan apa yang dikatakan Nayla. Bahkan pria paruh baya itu sampai menundukkan tubuhnya untuk mendenga
Gedung mewah itu dipenuhi cahaya kristal dan gaun-gaun mahal. Di antara putra-putri pengusaha papan atas, sosok baru mencuri perhatian: Nayla Mahardika.Gaun hitam beludru membingkai tubuhnya dengan sempurna. Senyum tenang, tatapan tajam—ia tak perlu bicara banyak untuk menguasai ruangan."Siapa dia?" "Putri Mahardika yang katanya hilang itu?" "Dia lebih cantik dari yang dikabarkan…"Bisikan itu mengalir seperti ombak di antara tamu undangan. Nayla melangkah dengan anggun, setiap langkahnya diperhitungkan. Lima tahun menghilang tanpa jejak, kini ia kembali dengan aura yang sama sekali berbeda—lebih tajam, lebih berbahaya."Nayla?" Suara familiar membuatnya menoleh. Adrian Wirawan, putra sulung keluarga konglomerat tekstil, menghampirinya dengan senyum yang tak sampai ke mata. "Aku hampir tak mengenalimu.""Waktu mengubah banyak hal, Adrian." Nayla menerima cium pipi yang dingin itu. "Bagaimana kabar mama? Masih sibuk dengan koleksi berliannya?"Adrian terkekeh, namun nada waspada ters
Di kantor pusat Mahardika Corp, Nayla meletakkan berkas di meja ayahnya."Aku mau anak perusahaan ini. Aku ingin mengelolanya sendiri, tanpa campur tangan siapa pun."Ayahnya menaikkan alis, lalu tersenyum samar."Kau serius?""Lebih dari apa pun. Dan target pertamaku adalah… perusahaan Galan."Kini, permainan dimulai. Dan Nayla bukan lagi pion—ia ratu di papan catur ini.Ruang kerja Hardjono Mahardika terasa dingin meski pendingin ruangan tidak dinyalakan terlalu kencang. Mungkin karena atmosfer yang tercipta saat putrinya memasuki ruangan dengan langkah mantap, membawa berkas tebal yang ia letakkan dengan suara thud di atas meja mahoni antik."Mahardika Digital Ventures," kata Nayla tanpa basa-basi, menunjuk berkas itu. "Anak perusahaan yang kau dirikan dua tahun lalu untuk ekspansi ke sektor teknologi, tapi tidak pernah berjalan optimal karena kekurangan visi yang tepat."Hardjono mengangkat pandangan dari laptop-nya, menatap putrinya dengan seksama. Tiga tahun lalu, Nayla yang ber
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Nayla menatap dirinya di cermin bukan dengan kecewa, tapi dengan… kekaguman.Gaun berpotongan tajam, riasan flawless, sepatu hak tinggi dari brand eksklusif. Nayla kini tampak seperti ratu bisnis yang siap mendominasi ruang rapat mana pun."Bukan hanya cantik… aku juga berbahaya."Refleksi yang menatap balik bukan lagi sosok perempuan yang pernah menangis karena pengkhianatan. Bukan pula gadis naif yang dulu percaya pada janji-janji manis. Di hadapannya berdiri seorang CEO muda yang mata tajamnya bisa membuat lawan bicara gemetar hanya dengan satu tatapan.Nayla mengangkat dagu, memperhatikan garis tegas rahangnya yang kini tampak lebih percaya diri. Lipstik merah darah yang ia pilih bukan sekadar aksesori—itu adalah senjata. Setiap helai rambutnya ditata sempurna, tidak ada yang kebetulan. Semuanya diperhitungkan, seperti langkah-langkahnya dalam membangun kerajaan bisnis."Mereka pikir mereka sudah menjatuhkanku," bisiknya pada bayangan di
Nayla duduk di sofa empuk, menggenggam tisu, wajahnya tenang meski isi hatinya kacau. Psikolog di hadapannya berkata lembut:"Luka pengkhianatan itu dalam, tapi bukan akhir. Kamu punya hak untuk pulih… dan bangkit."Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Nayla tak menyangkal bahwa dirinya hancur. Tapi ia juga tahu—hancur bukan berarti kalah. Dan penyembuhan adalah bagian dari strategi.Nayla mendaftar di kelas eksekutif bisnis dan geopolitik. Hari-harinya kini penuh seminar, diskusi, dan simulasi strategi pasar. Ia kembali menjadi Nayla Mahardika—siswi jenius yang dulu dielu-elukan.Tapi kali ini, tujuannya bukan sekadar nilai. Ia belajar untuk mengalahkan Galan di medan yang sama: dunia bisnis.Tiga tahun berlalu sejak perceraian yang menghancurkan hidupnya. Nayla kini berdiri di depan cermin kantor barunya—kantor direktur utama di sebuah perusahaan konsultan sosial yang ia dirikan sendiri. Namanya terukir di papan nama: "Nayla Mahardika, CEO - Mahardika Social Enterprise."Waja