Nayla membuka tirai jendela pagi itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Matahari bersinar hangat, tetapi dadanya terasa dingin, seakan ada kabut tipis yang menggantung di sana sejak semalam. Ia tak bisa tidur nyenyak. Mimpi buruk kembali datang tapi kali ini tak hanya bayangan Reyhan yang muncul, melainkan juga Rania... dan seseorang lain, perempuan muda dengan senyum sinis yang samar. Wajahnya tak terlalu jelas, tapi sorot matanya terasa familiar, seperti luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh. Nayla berjalan ke meja makan, membuka laptop, dan menatap layar kosong dokumen yang harusnya sudah penuh laporan. Namun jari-jarinya tak bergerak. Pikirannya melayang ke pesan misterius yang ia terima dua hari lalu: "Berhenti pura-pura tidak tahu, Nayla. Semua yang kamu alami bukan hanya karena Reyhan." Ia mengira itu lelucon. Ancaman iseng. Tapi saat seseorang mulai membuntutinya sepulang kerja kemarin, rasa waspada itu kembali menyala. Ada sesuatu yang lebih besar dari semua lu
Malam turun perlahan, membawa keheningan yang terasa terlalu dalam bagi Reyhan. Angin di luar berdesir pelan, menerpa kaca jendela apartemennya yang dingin. Tapi bukan cuaca yang membuat dadanya sesak. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih tajam, yang kini menghuni ruang batinnya, sebuah firasat yang tak bisa ia abaikan. Reyhan duduk di ruang kerjanya. Lampu temaram menyinari wajahnya yang tegang. Di hadapannya, berjejer dokumen dan catatan yang ia kumpulkan selama berminggu-minggu. Semua tentang Nayla, tentang Rania, dan... tentang seseorang dari masa lalu Rania yang mulai menunjukkan tanda-tanda kemunculan. Sudah dua hari berturut-turut Reyhan merasa dibuntuti. Telepon tak dikenal yang menghubunginya tengah malam, suara napas berat dari ujung sana yang hanya diam. Surat kaleng berisi potongan foto masa lalunya dengan Rania, dikirimkan ke kantor. Dan hari ini, seseorang meretas sistem keamanan apartemennya dan hanya meninggalkan satu pesan di layar monitor: “Kau pikir ini hanya perma
Langkah Reyhan terdengar mantap menyusuri koridor kantor yang mulai sepi. Setelah berhari-hari terpuruk dalam kubangan rasa bersalah dan pengkhianatan, hari ini ia kembali berdiri tegak. Jas hitamnya kembali rapi, kemejanya tanpa kerut. Tapi satu hal yang tak bisa ia rapikan adalah pikirannya, berantakan dan selalu siaga.Namun, ada sesuatu yang berubah. Bukan hanya di dirinya, tapi di sekelilingnya. Udara terasa lebih berat, dan langkah orang-orang di sekitarnya tak lagi terdengar seperti biasanya. Ada jarak, ada bisik-bisik yang tak terdengar, namun terasa. Reyhan bukan pria mudah goyah, tapi nalurinya bicara lain: ada sesuatu yang salah.Seseorang memperhatikannya. Ia yakin.Bukan Nayla. Bukan Rania. Tapi sosok lain. Sosok yang mungkin tahu lebih banyak daripada seharusnya. Sosok yang bersembunyi di balik topeng tenang, menunggu momen yang tepat untuk mencabik-cabik sisa harga dirinya.Reyhan membuka pintu ruangannya, lalu menutupnya perlahan. Ia berdiri diam di tengah ruangan, men
Reyhan duduk sendiri di ruang kerja, memandangi layar laptop yang sudah menyala sejak pagi. Namun pikirannya tidak benar-benar ada di sana. Tangannya sibuk menggulirkan dokumen tanpa membaca isinya. Bayangan Nayla pagi tadi masih melekat jelas di kepalanya sikapnya, ucapannya, senyumnya yang nyaris menyindir.Dulu, Nayla adalah bagian dari zona nyamannya. Seseorang yang bisa ia kendalikan, yang selalu memaafkan, bahkan untuk luka-luka yang tak seharusnya ia torehkan. Tapi kini, Nayla tidak lagi berada di tempat yang sama. Ia tidak lagi menjadi wanita yang bisa Reyhan tebak atau arahkan sesuka hati.Dan itu menakutinya.Tapi di balik ketakutan itu, sesuatu yang lain mulai tumbuh amarah. Bukan amarah yang meledak, tapi yang sunyi, membentuk lapisan pelindung yang selama ini Reyhan kubur dalam-dalam. Ia bukan pria lemah. Ia bukan seseorang yang akan duduk diam menunggu semua hancur.Ia menarik napas dalam, lalu membuka berkas lama dari folder tersembunyi di laptopnya. File itu berisi cat
Malam telah lewat jauh, tapi mata Nayla tetap terbuka. Lampu kamar sengaja dibiarkan mati, menyisakan cahaya remang dari luar jendela yang menyelinap melalui celah gorden. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sendiri, dan menatap kosong ke dinding seakan mencari makna dari semua luka yang tak pernah sempat ia torehkan. Dulu, Nayla adalah perempuan yang takut kehilangan. Ia selalu menahan, selalu memaafkan, selalu berpikir bahwa diam adalah bentuk kesabaran yang mulia. Tapi sekarang... diam yang ia pilih bukan lagi bentuk tunduk melainkan strategi. Suara langkah kaki Reyhan di bawah terdengar samar. Sejak beberapa hari terakhir, suaminya itu mulai gelisah. Ia bisa merasakannya. Nafas Reyhan tak lagi teratur, tatapannya seperti orang yang terus dihantui bayangan sendiri. Dan Nayla tahu, ketakutan itu tidak datang dari rasa bersalah tetapi dari rasa takut kehilangan kekuasaan. Ia berdiri perlahan, membuka laci kecil di meja samping tempat tidur. Di sana ada satu benda yang telah
Reyhan menatap layar komputernya, tetapi fokusnya buyar. Angka-angka di laporan bulanan yang biasanya bisa ia telan dalam sepuluh menit kini seperti simbol-simbol asing yang menertawakannya. Ada sesuatu yang tak beres. Dan yang lebih membuatnya muak, ia tak tahu dari mana datangnya. Satu minggu terakhir, proyek yang biasanya berjalan lancar tiba-tiba menghadapi gangguan. Pihak pengawas meminta dokumen tambahan yang tak pernah diminta sebelumnya. Beberapa kontrak ditunda penandatangannya dengan alasan administratif. Bahkan salah satu rekan bisnisnya, William, terlihat canggung saat bertemu Reyhan seperti menyembunyikan sesuatu. Reyhan mengernyit, tangannya mengusap dagu yang mulai ditumbuhi jenggot tipis. Ia menyadari bahwa setiap langkah yang ia ambil belakangan ini seperti diawasi. Seolah ada mata tak terlihat yang mengikuti setiap geraknya, mencatat, dan menunggu saat tepat untuk menyerang. Ia mencoba mengabaikan itu semua, mencoba tetap tenang. Tapi ketenangan itu mulai retak ke