Langit sore menggantung kelabu di balik jendela kaca gedung tinggi tempat proyek besar itu dijalankan. Ruang rapat kini sudah kosong, hanya tersisa satu sosok wanita yang masih duduk diam menatap layar laptopnya—Nayla.
Tangannya bergerak pelan, memencet huruf demi huruf di keyboard, namun pikirannya justru melayang ke wajah seseorang yang tadi duduk tak jauh darinya. Wajah yang dulu ia kenal sangat dekat. Wajah yang dulu bisa membuatnya tersenyum dalam hening, dan kini hanya menghadirkan gelombang sunyi yang membakar dari dalam. “Reyhan…” Ia menyebut nama itu dalam hati, bukan dengan rindu, tapi dengan rasa yang jauh lebih dingin. Seperti menyebut nama seseorang yang pernah tinggal dalam hidupnya, lalu diusir tanpa ampun. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung yang entah kenapa selalu berdetak lebih kencang setiap kali pria itu hadir dalam ruang yang sama. Bukan karena cinta yang masih tertinggal. Tidak. Ini bukan cinta. Ini luka yang belum sepenuhnya sembuh, tapi tidak juga berdarah lagi. Beberapa hari terakhir, Nayla tahu benar bagaimana Reyhan terus mencuri pandang padanya. Diam-diam mengamati, seolah ingin bicara, tapi tak mampu. Dan ia tahu, Reyhan mulai menyadari bahwa wanita di hadapannya kini bukan Nayla yang dulu. Ia bukan lagi perempuan yang rela dilukai demi mempertahankan hubungan. Ia telah berubah. Dan Reyhan mulai gentar dengan perubahan itu. “Sudah pulang?” Suara wanita dari arah pintu menyadarkan Nayla. Salah satu staf proyek menyapanya sebelum pamit. Nayla mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, sebentar lagi.” Setelah ruangan benar-benar sepi, Nayla menutup laptopnya. Ia berdiri dan berjalan pelan menuju jendela, memandangi kota yang dulu menjadi saksi hancurnya hidupnya. Tapi kini, kota itu menyaksikan kelahirannya kembali. Kilasan-kilasan malam penuh tangis, panggilan tak terjawab, dan janji-janji manis Reyhan yang tak pernah ditepati berkelebat di benaknya. Dulu ia memohon, memaksa diri untuk mengerti, mengemis cinta yang mulai memudar. Tapi pada akhirnya, ia ditinggalkan. Diganti bagaikan barang sekali pakai. “Rania menang saat itu.” Nayla berbisik lirih pada dirinya sendiri. “Tapi sekarang, aku tidak sedang bertanding lagi. Aku tidak butuh menang. Aku hanya ingin bebas.” Ia membuka ponselnya dan membaca ulang pesan dari klien baru yang tertarik bekerja sama dengannya di luar proyek ini. Peluang baru. Jalan baru. Bukti bahwa hidup tidak berhenti hanya karena seseorang berhenti mencintai. Saat Nayla melangkah keluar dari ruangan, ia tak tahu bahwa dari ujung koridor yang gelap, sepasang mata memperhatikannya. Reyhan berdiri dalam bayang, tak bergerak. Menyaksikan Nayla pergi tanpa melihat ke arahnya, tanpa melirik sedikit pun. Seolah keberadaannya sudah tak berarti. Dan entah kenapa, rasa itu menyakitkan. Lebih menyakitkan daripada saat ia memutuskan meninggalkan Nayla dulu. * * * Langkah Nayla menyusuri lorong gedung terasa mantap. Sepasang heels-nya memantul di lantai marmer, ritmenya tenang tapi berisi. Di balik tiap langkahnya, ia menyusun ulang dirinya sendiri—potongan-potongan hati yang pernah hancur kini telah membentuk sosok yang tak lagi mudah goyah. Namun, saat melewati lorong tempat ruang administrasi berada, sesuatu di dalam dirinya terhenti. Di dinding sebelah kanan, masih terpajang foto dokumentasi kerja sama perusahaan—salah satunya adalah foto proyek besar dua tahun lalu. Nayla masih mengenakan blazer putih dalam foto itu, berdiri di samping Reyhan. Wajahnya tersenyum, penuh semangat. Dan Reyhan... menatapnya seperti dunia hanya ada mereka berdua. Nayla terdiam beberapa detik. Waktu seolah berhenti. Ia menatap dirinya di foto itu. Betapa polosnya ia dulu. Betapa yakinnya ia bahwa cinta bisa mengalahkan segalanya. Tapi pada akhirnya, yang kalah adalah dirinya sendiri. Perlahan, Nayla menunduk dan melanjutkan langkah. Ia tahu, ia tidak perlu membenci foto itu. Ia tidak perlu membenci masa lalu. Ia hanya perlu mengingatnya... agar tak terjebak di luka yang sama. Sesampainya di basement parkiran, Nayla membuka pintu mobilnya dan duduk tanpa langsung menyalakan mesin. Malam mulai turun, dan sinar lampu parkiran memantulkan bayangan samar di kaca mobilnya. Di sinilah semuanya dimulai kembali—di kota ini, di proyek ini, di hadapan pria yang pernah menghancurkannya dan sekarang tampaknya mulai dihantui oleh keputusannya sendiri. Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. "Kamu terlihat berbeda, Nay. Tapi tetap... kamu yang paling sulit aku pahami." Nayla menatap pesan itu lama. Hening. Tidak ada nama pengirim, tapi ia tahu siapa yang mengirimkannya. Tangannya menggenggam ponsel lebih erat, tapi ia tak membalas. Tak akan. “Sudah terlambat untuk memahamiku, Reyhan.” Suaranya nyaris tak terdengar, seperti desah angin yang menyelinap di antara reretakan hati yang telah lama beku. Ia menyalakan mobil, lalu melaju perlahan keluar dari basement. Meninggalkan gedung, meninggalkan bayang masa lalu. Tapi tidak dengan luka yang masih bernafas dalam diam. * * * Cahaya kota berkelebat di kaca mobil, menciptakan bayangan-bayangan bergerak di wajah Nayla. Tangan kirinya menggenggam kemudi dengan mantap, sementara tangan kanannya sesekali melonggarkan genggaman di pangkuan. Radio menyala, mengalun pelan lagu yang familiar—dan justru itu yang membuat napas Nayla tertahan sejenak. Lagu itu... Ia masih ingat. Malam itu hujan turun deras, ia berdiri di luar apartemen Reyhan, tubuhnya menggigil tak hanya karena dingin, tapi juga karena perasaan tak menentu yang menggumpal di dadanya. "Aku cuma mau kita bicara, Rey." "Sekarang bukan waktunya, Nayla. Jangan buat ini jadi rumit." "Apa aku terlalu rumit hanya karena aku ingin kepastian dari hubungan kita?" "Aku lelah, Nayla. Mungkin... ini memang sudah waktunya." Kalimat itu. Patahannya. Tatapan kosong Reyhan. Dan suara pintu yang ditutup pelan tanpa penjelasan. Tanpa alasan. Tanpa perpisahan yang layak. Malam itu adalah malam di mana Nayla berhenti menjadi dirinya yang lama. Malam di mana ia memilih untuk mencintai dirinya sendiri karena tak ada lagi yang sudi melakukannya. Mobilnya berhenti di lampu merah. Dari kursi pengemudi, matanya kembali memandang ke luar, menatap pejalan kaki yang lalu-lalang di trotoar, dunia yang tetap berjalan seolah tak pernah tahu bahwa hatinya pernah ambruk di titik yang sangat gelap. Kini ia telah kembali. Bukan untuk mengulang kisah. Bukan untuk meminta penjelasan. Tapi untuk menjadi saksi bahwa ia tak lagi menjadi korban dari kisah cinta yang setengah jalan. Lampu hijau menyala. Mobilnya melaju lagi. Dalam diam, Nayla berbicara pada dirinya sendiri. "Dulu aku mencintaimu dengan seluruh jiwa, Reyhan. Tapi sekarang, aku mencintai diriku lebih dari siapa pun." Dan untuk pertama kalinya malam itu, sebuah senyum kecil mengembang di wajah Nayla. Bukan senyum yang penuh kemenangan, tapi senyum yang tulus—karena akhirnya, luka itu tak lagi membuatnya takut untuk berjalan maju.Pagi itu, kantor Nayla terasa lebih sunyi dari biasanya. Langkah-langkah para staf terdengar seperti gema, seolah seluruh ruangan sedang menahan napas. Nayla berjalan dengan tenang menuju ruang rapat utama, jas hitamnya melambai mengikuti langkah kaki yang mantap. Di tangan kirinya, ia membawa berkas tebal bertuliskan “Rekonsiliasi Data Operasional 3 Tahun Terakhir.” Sebuah dokumen yang tak seharusnya dibuka sembarangan kecuali jika seseorang berniat membuka luka lama dan menggali bangkai yang sudah dikubur dalam-dalam. Di dalam ruangan, para petinggi perusahaan sudah duduk rapi, termasuk dua auditor eksternal yang sengaja didatangkan Nayla secara pribadi tanpa sepengetahuan Reyhan. Begitu Nayla membuka presentasinya, ruangan yang semula tenang berubah menjadi medan sunyi yang penuh ketegangan. “Data yang akan saya paparkan pagi ini tidak hanya berkaitan dengan operasional, tetapi juga... integritas internal perusahaan kita selama tiga tahun terakhir,” ucap Nayla pelan, namun tajam
Langkah Nayla terdengar mantap saat memasuki ruang kerjanya keesokan harinya. Tak ada yang berubah dari penampilannya masih rapi, elegan, dan tak bercela. Tapi auranya… berbeda. Sekretaris yang menyapanya pun merasa ragu sejenak, seolah bisa mencium aroma badai yang dibawa oleh wanita itu. Di balik pintu ruangannya yang tertutup, Nayla duduk. Ia menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Tapi pikirannya tidak kosong justru penuh strategi. Satu per satu, kepingan puzzle itu mulai tersusun. Dan kini, dia tahu arah permainan ini. Bukan hanya Rania, bukan hanya Reyhan. Tapi orang-orang di balik mereka. Dan yang paling menyakitkan: semuanya dimulai jauh sebelum dia tahu mereka ada. Ia membuka file dokumen yang Arga kirimkan melalui email bukti-bukti lanjutan. Transkrip pesan, tangkapan layar percakapan, dan informasi rekening. Semuanya mengarah pada satu hal: permainan lama yang menjadikannya pion. "Kamu pikir aku hanya akan menangis di sudut kamar setelah tahu semua ini, Rania? Kamu
Pagi itu, langit tampak bersih. Terlalu bersih, hingga membuat Nayla merasa seperti alam sedang mengejek kekacauan yang selama ini ia simpan di dalam. Tapi ia tidak lagi goyah. Sudah cukup malam yang ia habiskan untuk menangis tanpa suara. Sudah cukup hari-hari di mana dirinya merasa tidak cukup baik. Kini, Nayla berdiri tegak di depan cermin besar di kamarnya. Wajah yang menatap balik padanya bukan lagi wanita yang patah karena cinta. Tapi seorang wanita yang telah melewati badai dan masih berdiri utuh. Ia memakai blouse putih bersih dengan blazer abu terang, rambut diikat rapi, bibirnya diberi sentuhan nude lembut. Elegan. Tenang. Penuh kendali. Pagi ini ia punya pertemuan penting bukan hanya soal proyek kerja sama, tapi juga momen di mana ia akan duduk berdampingan dengan Reyhan dan Rania. Ironisnya, mereka tak tahu bahwa Nayla lah yang menjadi penghubung dua perusahaan itu. Ia yang menentukan apakah kerja sama ini akan berjalan... atau tidak. Dan ia menyukai posisi ini. Bukan
Senja berganti malam tanpa aba-aba, dan gedung-gedung yang menjulang di pusat kota mulai menyala satu per satu seperti barisan lilin dalam gelap. Di lantai tertinggi kantor Arsal Group, Reyhan duduk sendiri di ruang kerjanya. Lampu ruangan tidak ia nyalakan sepenuhnya, hanya cahaya dari jendela dan layar laptop yang menyinari wajahnya yang murung. Ia menatap layar kosong, kursor berkedip-kedip, menanti diketikkan sesuatu. Tapi pikirannya jauh. Terlalu jauh untuk dijangkau oleh urusan kerja. Sudah berhari-hari ini, wajah Nayla muncul di sela-sela waktunya yang sunyi. Diam-diam, tiba-tiba, tanpa permisi. Wajah itu... tidak lagi penuh luka. Tidak juga penuh harap. Wajah itu kini tenang, tapi asing. Dan itu membuat Reyhan gelisah. Dulu, Nayla adalah sosok yang selalu menunggu. Menunggu kabarnya. Menunggu perhatiannya. Menunggu malam pulang lebih awal. Tapi sekarang, ia justru merasa Nayla yang terus berjalan, dan dirinya yang tertinggal. Dan perasaan itu menusuk seperti duri tak kasa
Ruang rapat siang itu dipenuhi suara laptop yang menyala, gesekan pena, dan desahan napas yang berusaha tetap tenang. Nayla duduk di ujung meja panjang, bersebelahan dengan tim internal yang sudah ia kenal, tapi di seberangnya kini duduk dua orang yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari yang ia harapkan.Reyhan. Dengan kemeja biru gelap dan tatapan tenang yang dulu pernah membuat Nayla jatuh. Kini, mata itu terasa seperti dinding batu. Kaku. Dingin. Tapi tidak bisa ia abaikan.Dan Rania. Duduk di sisi Reyhan dengan senyum tipisnya yang menyebalkan. Sikapnya masih angkuh, tapi kali ini lebih hati-hati. Seperti wanita yang tahu bahwa sesuatu telah berubah. Bahwa Nayla bukan lagi sekadar masa lalu yang bisa disingkirkan dengan mudah.Lalu ada Arga. Duduk di samping Nayla, dengan sikap profesional yang tak bercela. Tapi sesekali, Nayla menangkap sorot khawatir di matanya—sorot yang hanya bisa dimiliki seseorang yang benar-benar peduli.Diskusi dimulai. Nayla menyampaikan progres
Gedung itu tak berubah. Aroma ruangan yang steril, lantai marmer yang mengilap, dan senyum-senyum palsu dari para karyawan yang berpapasan. Tapi kali ini, ada satu hal yang berbeda—Nayla sudah tak lagi merasa kecil. Langkahnya terhenti saat pintu ruang rapat terbuka. Seseorang melangkah keluar dengan suara hak tinggi berderak pelan. Gaun midi biru laut yang elegan membalut tubuhnya sempurna. Rambut panjang terurai. Wajahnya bersih dan riasannya halus. Namun, matanya—tetap sama: menilai, meremehkan, dan menusuk dalam diam. Rania. Untuk sesaat, dunia terasa membisu. Mereka berdiri hanya beberapa meter, berhadapan, tapi tak satu kata pun keluar. Waktu seolah mengulur napasnya, mempermainkan denyut jantung Nayla yang entah kenapa terasa lebih cepat. Tapi ia berdiri tegak, dagu terangkat sedikit—tanda bahwa ia tak akan jatuh lagi hanya karena wanita ini. Rania tersenyum, sebuah senyum yang begitu manis... tapi pahit bagi yang tahu siapa dia sebenarnya. "Aku dengar kamu akan kerja bar