Home / Rumah Tangga / Balas Dendam Seorang Istri / Bab 5 – Luka yang Tak Perlu Dijahit Ulang

Share

Bab 5 – Luka yang Tak Perlu Dijahit Ulang

Author: faafa
last update Last Updated: 2025-05-22 20:12:55

Nayla memandangi layar laptopnya yang menyala di tengah malam. Beberapa data proyek terpampang di sana, namun fokusnya tidak benar-benar di situ. Tangannya tetap mengetik, tetapi pikirannya melayang entah ke mana.

Sudah beberapa hari sejak ia kembali bertatap muka dengan Reyhan. Pria yang pernah menjadi segalanya dan sekaligus menghancurkan semuanya.

Tapi kali ini… Nayla tidak merasakan getar itu lagi.

Atau… dia hanya tak mengizinkan dirinya merasakannya.

Ia bersandar di kursinya, menghela napas panjang.

Satu hal yang tidak banyak orang tahu tentang Nayla: ia tidak mudah membenci. Bahkan orang yang menyakitinya sekalipun.

Tapi bukan berarti ia ingin kembali.

“Dendamku bukan tentang balas sakit,” bisiknya pada diri sendiri.

“Tapi tentang menunjukkan… bahwa aku bisa hidup tanpamu, Rey.”

Nayla bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela apartemennya. Hujan rintik-rintik mulai turun, menyapu kaca dengan lembut. Seperti malam itu malam ketika Reyhan meninggalkannya.

“Kamu terlalu tenang, Nay,” suara Reyhan dulu terngiang jelas.

“Aku butuh seseorang yang bisa bikin hidupku lebih… hidup.”

Lucu.

Sekarang, Nayla adalah orang yang paling hidup dalam diamnya.

Sementara Reyhan? Baru tersadar bahwa kebebasan yang ia kejar, tak pernah benar-benar membuatnya utuh.

Nayla mengangkat ponselnya. Ada notifikasi dari perusahaan:

Proyek akan berlanjut ke tahap negosiasi akhir. Dan itu berarti ia akan semakin sering bertemu Reyhan.

Tapi berbeda dengan dulu, kini Nayla tidak goyah.

“Kalau dia pikir aku akan jatuh lagi, dia keliru.”

Wajah Reyhan terlintas di pikirannya. Tatapan pria itu saat melihatnya kemarin bukan tatapan orang yang bahagia. Tapi tatapan orang yang sedang dihantui keputusan masa lalu.

Dan Nayla tahu satu hal yang pasti:

Ia tak akan lagi jadi pilihan kedua.

Ia kembali ke meja, menuliskan sesuatu di buku kecilnya hal yang selalu ia lakukan sejak Reyhan meninggalkannya dulu. Tapi malam ini, ia menulis dengan tangan yang tidak gemetar.

“Dendamku bukan tentang membalas.

Tapi tentang membiarkanmu menonton aku menjadi lebih dari yang pernah kamu bayangkan.”

Dan dengan senyum tenang, Nayla menutup bukunya.

Malam ini, ia tak lagi memikirkan Reyhan sebagai cinta lamanya.

Malam ini, ia mulai melihat Reyhan hanya sebagai luka lama yang tak perlu dijahit ulang.

Cukup dibiarkan sembuh… dan ditinggalkan.

* * *

Nayla duduk di tepi ranjangnya, menatap bayangan samar wajahnya sendiri di cermin. Rambutnya terurai seadanya, dan matanya tampak lelah meski tak berair. Sejak kecil, ia terbiasa menyimpan segala perasaan sendiri. Bukan karena ingin terlihat kuat tapi karena sudah terlalu sering kecewa ketika orang lain tak tahu cara menjaga perasaannya.

Cinta pertama Nayla adalah Reyhan.

Cinta yang dulu ia kira akan menjadi rumah.

Nyaman, hangat, dan melindungi.

Nyatanya, rumah itu dibangun di atas tanah yang Reyhan tinggalkan tanpa peringatan.

"Aku gak cukup menarik buat kamu, Rey?"

"Atau aku terlalu mudah untuk kamu tinggalkan?"

Pertanyaan-pertanyaan itu sempat menjadi nyanyian menyakitkan di pikirannya setiap malam. Tapi itu dulu. Sebelum ia belajar bahwa jawaban atas semua luka, bukan datang dari orang yang melukai melainkan dari dirinya sendiri.

Hari-hari Nayla kini tak lagi diisi dengan menunggu kabar dari seseorang. Ia tak lagi membuka ponselnya dengan harap, tak lagi terpaku pada suara notifikasi yang dulu membuat jantungnya berdebar. Sekarang, ia bangun setiap pagi dengan satu tujuan: membuktikan bahwa ia tetap bisa berjalan, bahkan saat orang yang ia percayai pergi.

Hidup Nayla berubah sejak kepergian Reyhan.

Namun perubahan itu tidak menjadikannya pahit.

Ia tumbuh. Ia belajar. Ia memperbaiki caranya mencintai terutama mencintai dirinya sendiri.

Di meja kerjanya, ada banyak memo dan catatan kecil. Target mingguan, daftar proyek, bahkan rencana kecil untuk membuka bisnis sendiri. Ia tak menunggu diselamatkan oleh siapa pun. Nayla adalah tipe perempuan yang diam-diam membangun benteng sambil dunia mengira ia masih berkabung.

"Kamu gak bisa hancurin aku dua kali, Rey."

Itulah mantranya. Bukan untuk membenci, tapi untuk mengingatkan diri sendiri: ia bukan korban, ia adalah penyintas.

Angin malam meniup lembut gorden tipis di jendelanya. Di luar, lampu-lampu kota terus menyala, seakan berkata bahwa hidup tak akan berhenti hanya karena hati seseorang pernah patah.

Dan Nayla? Ia menatap ke depan.

Esok pagi, ia akan kembali bertemu Reyhan dalam sebuah ruang rapat yang penuh tekanan. Tapi kali ini, tidak ada hati yang bergetar. Tidak ada senyum yang ingin disembunyikan. Hanya ada Nayla versi dirinya yang baru.

Lebih tenang.

Lebih tajam.

Dan yang paling penting: tak lagi menoleh ke belakang.

* * *

Pagi menyelinap perlahan lewat celah tirai kamarnya, membawa cahaya keemasan yang lembut. Nayla masih terjaga, matanya memandangi langit-langit kamar seperti sudah menyatu dengan diam. Tak banyak yang tahu bahwa malam-malam Nayla sering kali berlalu tanpa tidur. Bukan karena memikirkan cinta yang lalu, tapi karena ia terus memikirkan bagaimana caranya menciptakan hidup yang tak lagi membuatnya bergantung pada siapa pun.

Ia bangkit pelan dari tempat tidur, menyeduh kopi hitam yang pahit seperti kenangan itu. Saat aroma kopi memenuhi ruang apartemennya, Nayla berjalan ke meja kerja di sudut ruangan. Di atasnya, tumpukan dokumen dan proposal bisnis menanti untuk dipelajari.

Rutinitas adalah caranya bertahan.

Setiap jadwal yang padat, setiap angka dan data yang harus ia telaah, adalah bentuk perlawanan terhadap kekosongan yang dulu sempat menggerogoti. Ia mengisi waktunya dengan hal-hal nyata pekerjaan, rencana, dan mimpinya sendiri.

“Aku dulu berpikir bahagia itu artinya bersama orang yang dicintai,” tulisnya dalam buku catatannya.

“Ternyata, bahagia juga bisa berarti… gak perlu takut ditinggalkan.”

Nayla masih ingat betul sore itu. Sore terakhir bersama Reyhan. Saat pria itu menatapnya dengan pandangan bersalah, tapi tanpa usaha mempertahankan. Tak ada pelukan perpisahan. Tak ada air mata. Hanya kalimat singkat yang menyayat.

“Maaf, Nay… aku gak bisa terus sama kamu.”

Dan begitu saja, Reyhan pergi.

Seperti seseorang yang menjatuhkan gelas dari tangannya lalu berpaling, tak pernah melihat bagaimana pecahannya menusuk telapak kaki orang lain.

Namun waktu, dengan caranya yang diam-diam kejam, menyembuhkan luka itu. Bukan karena rasa sakitnya hilang, tapi karena Nayla memilih untuk tidak lagi menoleh.

Hari itu Nayla bersiap ke kantor lebih awal. Ia mengenakan setelan blazer berwarna navy yang membingkai tubuhnya dengan elegan. Riasan wajahnya tipis, tapi cukup menegaskan garis matanya yang tajam dan percaya diri. Dulu ia tak pernah peduli penampilan. Tapi sekarang, setiap langkah, setiap pilihan busana, adalah bagian dari narasi baru yang ia ciptakan.

Nayla yang dulu mencintai dengan seluruh hati.

Nayla yang sekarang mencintai dengan penuh batas dan logika.

Di dalam mobil menuju kantor, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari sekretaris perusahaan:

“Hari ini meeting pukul 10.00 dengan pihak Reyhan & Co. Sudah dikonfirmasi.”

Nayla hanya menatap layar sejenak, lalu meletakkan kembali ponsel itu. Tidak ada gelisah. Tidak ada jantung yang berdebar.

Ia hanya menarik napas, dan berkata dalam hati:

“Biarkan dia melihat siapa yang dia tinggalkan.”

Sampai di kantor, semua terasa seperti biasa. Namun rekan-rekannya mulai memperhatikan satu hal: Nayla semakin berbeda. Bukan karena ia lebih dingin, tapi karena ia lebih utuh. Tidak ada lagi senyum basa-basi. Tidak ada lagi tawa untuk menyenangkan orang lain. Ia berbicara seperlunya, bekerja sepenuhnya.

Saat langkah kakinya menyusuri koridor menuju ruang rapat, beberapa mata tertuju padanya. Ada yang tak bisa dijelaskan dari caranya membawa diri tenang, tapi kuat. Seperti badai yang memilih diam.

Ia masuk ke ruang rapat lima menit sebelum waktu dimulai. Membuka laptop, mempersiapkan bahan presentasi, dan duduk tegak dengan tenang.

Dan ketika pintu ruang rapat terbuka...

Suara langkah itu begitu dikenalnya.

Wajah yang kini terlihat lebih letih dari terakhir kali mereka bertemu.

Reyhan.

Pandangan mereka bertemu. Tapi hanya satu orang yang tampak goyah.

Dan itu bukan Nayla.

* * *

Hello, selamat membaca 💋

semoga suka yaaaa🫶🏼

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dyah Piktawaty
Kirain SPT Auditor yg bisa menjatuhkan perusahaan Reyhan.ternyata BKN.Utk apa kalau datang hanya kerjasama.gak ngefek ke Perusahaan Reyhan.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Balas Dendam Seorang Istri    46 – Api dalam Sekam

    Langit sore terlihat kelabu ketika Reyhan memarkir mobilnya di pelataran rumah sakit. Suasana di luar tenang, tapi pikirannya justru sebaliknya. Selama dua hari terakhir, firasat buruk terus mengusiknya. Bukan tentang Nayla, tapi tentang sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya. Atau mungkin... tentang seseorang.Ia menuruni tangga menuju taman belakang tempat biasa Nayla duduk saat istirahat. Namun kali ini, tak ada sosok wanita itu di sana. Hanya bangku kosong dan sehelai dedaunan kering yang tertiup angin. Reyhan menarik napas, lalu duduk di ujung bangku. Pikirannya kembali ke kata-kata Pak Firdaus beberapa hari lalu:“Ada seseorang dari masa lalu Anda yang sebaiknya Anda waspadai. Orang itu tidak menginginkan Anda bahagia... dan dia mengenal Anda lebih dari siapa pun.”Awalnya, Reyhan mengira itu hanya peringatan paranoia. Tapi kini, setiap detail mulai terasa masuk akal. Rania perempuan yang selama ini tampak tenang dan tak tergoyahkan—tiba-tiba berubah. Terlalu tenang. Terla

  • Balas Dendam Seorang Istri    Bab 45 – Di Balik Senyuman Rania

    Heningnya pagi di rumah Reyhan seolah tak mampu menenangkan kegaduhan dalam diri Rania. Ia berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya perlahan. Wajahnya tampak tenang, bahkan nyaris lembut, tapi mata itu… mata yang menatap dirinya sendiri, penuh dengan luka lama yang belum sembuh.Di balik semua gaun mahal dan gelar istri dari seorang Reyhan Pratama, ada jiwa yang remuk namun memaksa diri terlihat utuh.Rania tak tidur semalaman. Setelah mendengar suara langkah Reyhan di ruang kerja, dia sengaja mendekat. Bukan untuk mengintiptapi memastikan sesuatu: bahwa Reyhan sedang mencari tahu. Dan benar saja, nada suara Reyhan yang pura-pura tenang itu tak bisa menipunya. Ia tahu, malam itu adalah awal dari titik balik permainan.Sambil mengenakan anting, Rania membuka laci kecil di meja riasnya. Ia mengeluarkan sebuah flashdisk, benda kecil yang menjadi saksi bisu dari tahun-tahun yang ia habiskan bukan sebagai istri, tapi sebagai alat. Alat untuk menutupi rahasia Reyhan. Alat untuk menjaga c

  • Balas Dendam Seorang Istri    Bab 44 – Kabut di Balik Cermin

    Reyhan menatap bayangannya sendiri di cermin. Matanya merah, bukan karena tangis, tapi karena malam-malam tanpa tidur. Akhir-akhir ini, ia merasa semua orang mengawasinya dari rekan kerja, supir pribadi, bahkan sekretaris yang dulu selalu ia abaikan. Ketika ia masuk ke ruang kerja pagi itu, sesuatu terasa… berbeda. Dokumen di mejanya tersusun rapi, tapi terlalu rapi. Bolpoin kesayangannya yang biasanya ia taruh sembarangan di laci hilang. Dan yang paling membuatnya menggigil: satu berkas transaksi penting ia temukan terbuka, seolah seseorang dengan sengaja ingin ia sadar bahwa mereka tahu apa yang ia sembunyikan. "Ini tidak mungkin kebetulan," gumamnya. Reyhan membuka laci tersembunyi di balik rak buku. Di dalamnya, ada dua flashdisk satu berisi dokumen asli tentang pencucian uang yang ia lakukan dengan investor luar negeri, satu lagi tentang transfer aset ke nama Rania. Semua ia jaga rapat-rapat. Tapi sekarang, bahkan ruang tersembunyi ini terasa… tak aman. Ia memencet nomor seor

  • Balas Dendam Seorang Istri    Bab 43 – Saat Semua Topeng Terlepas

    Senja menyapa langit dengan warna jingga keabu-abuan ketika Nayla berdiri mematung di depan jendela besar, memandangi gemerlap lampu kota yang mulai menyala satu per satu. Di balik kaca, ia melihat bayangan dirinya seorang perempuan yang pernah patah, pernah dihancurkan oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya, dan kini berdiri dengan kepala tegak, menyusun skenario akhir dari semua luka yang telah ditinggalkan. Di balik punggungnya, suara lembut tapi tajam terdengar, “Kamu yakin ingin mengambil risiko ini, Nay?” Nayla tidak menoleh. Ia tahu suara itu milik Dinda, mantan sahabat Rania wanita yang dulunya sama-sama tertawa di samping Rania, sebelum dikhianati dan dijatuhkan dalam-dalam. Wanita yang kini memilih untuk berdiri bersamanya, dalam rencana balas dendam yang perlahan mulai memakan bentuk. “Dia sudah terlalu lama bermain dengan luka orang lain,” jawab Nayla lirih. “Sudah saatnya dia tahu seperti apa rasanya kehilangan, tapi bukan karena takdir... melainkan karena keso

  • Balas Dendam Seorang Istri    Bab 42 – Di Balik Mata Elang

    Reyhan menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi kantor. Pandangannya kosong, bola matanya merah karena kurang tidur. Dingin air yang mengalir dari keran tak mampu menenangkan getar dalam dadanya. Ini bukan lagi sekadar stres kerja ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, yang menggoyahkan fondasi hidupnya. Sudah tiga minggu terakhir hidupnya seolah berada dalam pusaran badai. Email anonim, foto-foto dari masa lalu, hingga suara yang terekam dalam rekaman rahasia semuanya datang seperti hantu yang tahu kapan harus menyerang saat ia sedang paling rapuh. Tak satu pun dari semua ini terlihat seperti ulah iseng. Ada rencana besar di balik semua kekacauan yang tiba-tiba hadir. Rania sudah mulai rewel. Pertanyaan-pertanyaan sinis darinya muncul setiap malam. Sekali saja Reyhan lengah, rumah tangga yang sudah retak itu akan benar-benar runtuh. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang Arvino, mantan penyelidik swasta yang dulu pernah menolongnya dalam kasus keluarga. "Vin,

  • Balas Dendam Seorang Istri    Bab 41 – Menyalakan Api di Tengah Kabut

    Kafe di sudut kota itu tampak sepi. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, tapi langit mendung membuat dunia seolah masih belum bangun sepenuhnya. Hujan rintik-rintik menetes di balik kaca jendela besar yang menghadap ke jalan. Nayla duduk di sudut ruangan, mengenakan jaket abu-abu dan topi rajut gelap. Wajahnya tampak biasa saja bagi orang asing, tapi sorot matanya tajam, seperti seseorang yang tengah membaca teka-teki rumit dan sudah hampir menyelesaikannya. Tak lama, seorang pria mendekat dengan langkah santai. Rambutnya sedikit berantakan, membawa bau tembakau yang samar. Ia menarik kursi dan duduk di hadapannya tanpa banyak basa-basi. “Lama nggak ketemu, Nay,” ucap Arka, menatapnya dengan rasa ingin tahu. “Kalau kamu yang ngajak ketemuan, pasti ada hal besar.” Nayla membuka tasnya, lalu mengeluarkan flashdisk kecil berwarna hitam. Ia meletakkannya di atas meja tanpa suara. “Isi di dalam itu cukup buat menghancurkan Reyhan dan Rania,” katanya datar. Arka mengangkat alis. “Kam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status