Share

Rumah Sakit Jiwa

Hei, apa ini? Benarkah aku gila?"

Rosemaya membuka mata dan ia telah berada dalam ruang serba putih dengan bau desinfektan serta obat-obatan yang menyengat. Sebuah tempat yang familiar, namun berbeda dengan kondisi kamar di istananya. Rosemaya menyadari ia tengah berada di tempat lain, bukan di rumahnya. 

"Ah, aku di mana? Pukul berapa ini? Mengapa tak terlihat sinar mentari yang masuk dari sela-sela jendela?" tanya Rosemaya dalam hati. 

Ia ingin beranjak bangun untuk mengambil wudu serta melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Namun tubuh Rosemaya terasa kaku dan tak  bisa digerakkan. Wanita itu yakin saat ini pasti telah subuh atau zuhur. 

"Ah, mengapa tubuhku begitu kaku dan sulit di gerakkaan?" Kembali Rosemaya hanya bisa membatin tanpa bersuara.

Dalam ruangan serba putih berukuran 3 x 5 meter persegi itu terdapat semua fasilitas lengkap. Ada televisi yang menyala dan sedang menyiarkan sebuah berita. Ada pendingin ruangan yang berdengung berisik. Semua benda yang dibutuhkan Rosemaya tersedia, namun wanita itu tak bisa menjangkaunya. 

"Sesungguhnya di mana aku berada? Mengapa aku sendiri di ruangan ini? Tak adakah yang bisa menjagaku?" Kembali Rosemaya bertanya dalam hati. 

Bersamaan itu, ia berusaha menggerakkan tubuhnya tetapi tetap tidak bisa. Ah, rupanya tubuh Rosemaya berbalut perban, gips penyangga leher dan banyak plester di mana-mana. 

"Ada apa? Mengapa tubuhku bisa terluka separah ini? Apakah karena cahaya? Cahaya itu! Cahaya yang membuatku bahagia," batin Rosemaya masih kebingungan. Berbagai spekulasi tentang apa yang terjadi pada dirinya berputar di otak Rosemaya. 

Wanita itu mencoba sekali lagi bergerak, namun gagal. Rosemaya benar-benar tidak dapat menggerakkan tubuhnya. Wanita itu hanya bisa menggerakkan mata dan bibirnya. Namun lidahnya kelu dan tenggorokan terasa terlalu kering untuk menghasilkan suara. 

Seiring kesadarannya yang semakin pulih, Rosemaya mulai merasakan betapa sekujur tubuhnya terasa sangat nyeri dan berdenyut. Ia baru menyadari beberapa bagian tubuhnya seperti patah. 

"Aww sakit!" batin Rosemay saat mencoba kembali menggerakkan tubuhnya. 

Rosemaya melihat sekelilingnya sekali lagi. Hanya bola matanya saja yang bisa berfungsi sempurna, tidak yang lain. Bahkan menggerakkan ujung jarinya saja Rosemaya tak mampu.

Ah, sinar itu! Sinar putih menyilaukan yang membungkus tubuhnya itu. Semua berawal dari sinar itu! Perasaan ringan dan nyaman yang dirasakannya ketika itu membuat Rosemaya terbang melayang hingga ia merasa tubuhnya mendarat menghantam tanah berumput.

"Apa sebenarnya yang menyebabkan aku melihat benda putih itu?" tanya Rosemaya dalam hati. 

Sebagian besar pertanyaan yang berputar-putar di kepala Rosmaya terbayar sudah saat Bu Gina datang. Entah kenapa wanita itu malah memilih untuk memejamkan mata saat ibu mertuanya itu tiba.

"Ya Allah, Rose! Malang betul nasipmu ini. Baru juga kehilangan anak semata wayang, lalu ibu kandungmu, sekarang kamu harus celaka dengan terjatuh dari lantai dua kamarmu," isak Bu Gina sambil memandang iba tubuh Rosemaya yang tergolek tak berdaya. 

Wanita itu mengelus lembut tubuh Rosemaya yang berbalut perban. Ia memeriksa beberapa bagian tubuh menantunya itu. Lalu kembali terduduk di bangkunya dan terisak. 

Seseorang datang dan membuka pintu dengan kasar. Kembali menutupnya dengan hentakan yang membuat hati Rosemaya bagai dihantam palu besar. Sakit, namun tak berdarah.

"Apakah dia sudah sadar? Aku benar-benar tak punya banyak waktu, Bu! Jangan lagi Ibu buat aku berlama-lama di sini!" tegas suara bariton yang sangat dikenal Rosemaya. 

Leo, suami Rosemaya ternyata hadir juga bersama Bu Gina.

"Kamu jangan kelewatan, Leo! Ibu tidak memaksa! Tetapi sadarkah kamu betapa kamu selama ini telah mengabaikan istrimu? Dia wanita, Leo! Seorang wanita yang butuh perhatian suaminya. Apalagi saat kondisi terpuruk seperti saat ini!" tegas Bu Gina. 

"Aku telah cukup bersabar selama ini mendampinginya, Bu. Sudah lama ia mengalami insomnia dan mengaku mendengar bisikan-bisikan tidak berwujud di tengah malam. Aku lelah, Bu! Sangat lelah dengan kegilaan Rosemaya!" tegas Leo merasa kesal. 

"Itu tandanya jiwa istrimu sedang tidak tenang, batinnya terluka dan perlu disembuhkan!" nasihat Bu Gina. Wanita itu terlihat tak suka Leo berkata kasar tentang istrinya.

"Mengapa Ibu sekarang membelanya?" protes Leo.

"Sudahlah, Leo. Berhenti merajuk! Tunggui istrimu sebentar. Ibu sepertinya harus mengambil resep di apotek," pamit Bu Gina tak lama kemudian. 

Leo terdengar mendegus kesal. Lelaki kekar itu lalu membanting pantatnya di sofa, lalu tenggelam dalam aktivitasnya bermain benda pipih di genggamannya.

Samar-samar dari sudut matanya yang sedikit terbuka Rosemaya bisa melihat aktifitas Leo. Lelaki itu memandang sinis pada tubuh istrinya. Tak ingin menyentuhnya, tak juga khawatir dengan keadaannya. 

"Cindy! Apakah semuanya berjalan sesuai rencana? Sudah kamu carikan rumah sakit jiwa dengan pelayanan cukup baik?" 

Terdengar Leo sedang menelepon seseorang. Cindy! Lagi-lagi nama itu terekam di telinga Rosemaya. 

"Kuminta secepatnya! Aku mau semuanya berjalan lancar! Aku akan segera memindahkan wanita gila ini setelah dia pulih dari luka-lukanya!"

Kembali Rosemaya mendengarkan dan merekam dalam otaknya semua percakapan Leo dengan wanita bernama Cindy itu. 

"Bagaimana dia terluka? Ah kamu tidak akan percaya! Dengan gilanya perempuan itu meloncat keluar jendela lantai dua kamar kami sambil tersenyum. Ibuku bercerita dengan histeris. Semua asisten rumah tanggaku juga mengamini keterangan ibu! Entahlah, mungkin kematian kedua orang kesayangannya membuat jiwa Rosemaya terguncang!" 

Leo masih terus bercerita panjang lebar tanpa menyadari Rosemaya mendengarkan semuanya. Pria itu lagi-lagi menyebut nama Cindy. Siapakah Cindy?

Sementara Rosemaya sendiri harus berusaha sekuat tenaga untuk tetap berpura-pura tak sadarkan diri. Ia harus berjuang meredam pergolakan emosi dalam dirinya mendengar bagaimana Leo merendahkannya di hadapan waita bernama Cindy itu. 

"Cindy, lagi-lagi dia menelepon Cindy! Siapa sebenarnya wanita ini dan apa hubungannya dengan Leo. Sehingga Leo begitu sering menyebut namanya?" 

Kembali Rosemaya berpikir dalam hening. Dadanya berdetak lebih kencang karena terpancing emosi mendengar percakapan telepon yang dilakukan Leo. Sungguh tidak mudah bagi Rosemaya untuk berpura-pura seperti ini.

"Ya, malam ini aku akan pulang. Ah ... ke rumahmu tentu saja! Di istanaku sudah tidak ada lagi yang menarik," pungkas Leo mengakhiri percakapan.

Andai bisa, ingin rasanya Rosemaya segera bangkit dan sekali lagi menghajar lelaki itu. Namun apa daya, tubuhnya sedang tak dapat digerakkan sehingga Rosemaya tidak bisa berbuat apa-apa. 

Setelah Leo mengakhiri panggilannya. Sebuah benda terdengar jatuh dari atas nakas dekat tubuh Rosemaya terbaring tak berdaya. Klotak!

Leo menoleh dan memicingkan matanya tak percaya. Apakah Rosemaya, istrinya telah sadar?

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status