LOGINSetelah makan siang, Sera dan anak-anak beristirahat sejenak di ruang tamu. Mereka menonton acara kartun favorit anak-anak sambil bersantai di sofa. Sera merasa nyaman, menikmati momen kebersamaan yang hangat ini.
Tiba-tiba, ponsel Sera berdering. Dia melihat layar dan terkejut melihat nama temannya, Rina, muncul. "Halo, Rina. Ada apa?"tanya Sera. "Sera, aku punya kabar baik! Ingat proyek kecil yang pernah kita bicarakan? Aku sudah mendapatkan investor yang tertarik untuk mendanainya!"jawab Rina. "Serius? Itu luar biasa! Jadi, kapan kita bisa mulai?"tanya Sera tak percaya. "Aku pikir kita bisa mulai segera. Mari kita bertemu besok pagi untuk membicarakan detailnya." "Baiklah, aku akan datang. Terima kasih banyak, Rina. Ini benar-benar berita bagus."sahut Sera. Sera menutup telepon dengan senyum lebar di wajahnya. Anak-anak yang duduk di dekatnya memperhatikan perubahan ekspresinya. "Ibu, ada apa? Kenapa ibu tersenyum begitu lebar?"tanya Alina. "Ibu punya kabar baik. Kita akan memulai usaha kecil yang sudah ibu impikan sejak lama. Ini adalah langkah besar untuk kita semua."jawab Sera. "Wah, hebat, Bu! Kami ikut senang!" Malam itu, setelah anak-anak tidur, Sera duduk di meja kecil di pojok kamar. Dia membuka laptopnya dan mulai membuat rencana untuk pertemuan dengan Rina. Meskipun lelah, semangatnya yang baru membuatnya terus bekerja hingga larut malam. Keesokan paginya, Sera bangun dengan perasaan penuh harapan. Dia berpakaian rapi dan mengantar anak-anak ke sekolah sebelum bergegas ke kafe tempat dia dan Rina akan bertemu. Setibanya di sana, Rina sudah menunggu dengan senyum lebar. "Selamat pagi, Sera. Kamu siap?"tanya Rina. "Pagi, Rina. Tentu saja, aku sangat siap."jawab Sera. Mereka duduk dan mulai membahas detail proyek mereka dengan semangat. Rina memperkenalkan Sera pada investor yang terlihat tertarik dan optimis tentang ide mereka. Diskusi berjalan lancar, dan pada akhirnya, mereka berhasil mencapai kesepakatan. Sera sedang berjalan di taman kota usai mengobrol dengan Rina, menikmati udara segar dan sinar matahari yang menyenangkan. Tiba-tiba, dia melihat sosok yang dulu pernah sangat dekat dengannya: Arga, mantan suaminya yang angkuh. Arga mendekatinya dengan langkah yakin, senyum sombong terukir di wajahnya. Arga: "Hai, Sera. Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?" Sera menatap Arga dengan tatapan tajam, hatinya masih penuh dengan kekecewaan dan amarah atas pengkhianatan yang dia alami. Sera: "Kabarku baik, Arga. Tidak sepertimu yang meninggalkanku saat aku butuhmu dan anak-anak kita." Arga terkejut mendengar balasan tajam dari Sera. Namun, dia mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya di balik senyumnya yang sombong. Arga: "Oh, kamu masih membawa-bawa masa lalu, Sera? Sudahlah, itu semua sudah berlalu. Ayo kita berteman lagi seperti dulu." Sera tersenyum sinis, tidak terpengaruh oleh kata-kata manis Arga. Sera: "Tidak, Arga. Aku tidak akan pernah menjadi temanmu lagi. Kamu telah mempermainkanku dan merusak hidupku. Aku tidak akan lupa dan tidak akan memaafkanmu." Arga mencoba menggertak dengan tatapan tajam, tetapi Sera tidak gentar. "Sekarang, maafkan aku, tapi aku harus pergi. Aku punya hal-hal yang lebih penting daripada bertengkar denganmu." Dengan itu, Sera meninggalkan Arga sendirian di taman, meninggalkannya dengan rasa malu dan kebingungan. Dia merasa lega telah memberikan Arga balasan yang pantas atas perlakuannya yang kejam. Dan saat dia melangkah pergi, dia merasa seperti beban besar telah terangkat dari pundaknya, membebaskannya untuk melangkah maju tanpa beban masa lalu yang menyesakkan. Sera membuka pintu rumah dengan senyum di wajahnya, hatinya penuh dengan antusiasme untuk bertemu dengan putri kembarnya, Alana dan Alina. Begitu dia masuk ke dalam rumah, dia segera disambut oleh tawa riang kedua anaknya yang masih kecil. "Ibuuu!" ucap si kembar secara bersamaan. Mereka berdua berlari mendekati Sera dan memeluknya erat. Sera merasa hangat di dalam pelukan mereka, merasa di dunia ini tidak ada yang lebih berarti daripada momen seperti ini. "Hai, sayang-sayangku! Apa kabar hari ini?"tanya Sera. "Kami baik-baik saja, Bu! Kami tadi main di taman."ucap Alana. "Iya, Bu! Tadi kami bermain ayunan dan perosotan. Seru banget!"jawab Alina. Sera tersenyum melihat semangat kedua putrinya. Dia merasa beruntung bisa menjadi ibu dari dua anak yang ceria dan penuh semangat seperti mereka. "Itu bagus, sayang. Sekarang, bagaimana kalau kita masuk ke dalam dan makan camilan? Ibu membawa beberapa kue yang enak dari toko tadi."tanya Sera. Alana dan Alina bersorak girang, dan bersama-sama mereka masuk ke dalam rumah. Di dalam, Sera mengeluarkan kue-kue dari kantong belanjaan dan meletakkannya di atas meja. Mereka duduk bersama di ruang keluarga, menikmati camilan sambil bercerita tentang petualangan mereka di taman. Suasana hangat dan penuh cinta memenuhi ruangan, membuat Sera merasa bahagia dan bersyukur atas segala berkat yang dia miliki. Saat senja mulai menjelang, Sera tahu bahwa momen indah ini akan menjadi kenangan yang akan selalu dia simpan dalam hatinya. Dan meskipun hidupnya mungkin tidak selalu sempurna, keberadaan Alana dan Alina membuatnya merasa bahwa segalanya telah menjadi lebih indah dan berarti. Setelah menikmati camilan bersama Alana dan Alina, Sera memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama mereka dengan bermain di halaman belakang rumah. Mereka berdua berlari-larian di sekitar taman, tertawa riang ketika Alana mengejar kupu-kupu yang berterbangan, sementara Alina sibuk mengumpulkan bunga-bunga kecil yang tumbuh di sekitar. Sera duduk di kursi taman, menikmati pemandangan yang indah di hadapannya. Dia merasakan angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya, membawa aroma segar dari bunga-bunga di sekitarnya. Saat itu, dia merasa benar-benar berada di tengah-tengah kedamaian dan kebahagiaan. Ketika matahari mulai terbenam, Sera memanggil Alana dan Alina untuk masuk ke dalam rumah. Mereka berdua agak keberatan, tapi akhirnya setuju setelah Sera menjanjikan bahwa mereka bisa bermain lagi besok. Setelah membersihkan taman dan memastikan semua mainan dimasukkan ke dalam rumah, Sera dan kedua putrinya masuk ke dalam. Mereka menyiapkan diri untuk makan malam bersama, mengakhiri hari dengan perasaan bahagia dan penuh cinta dalam keluarga mereka. Sesekali, Sera tersenyum sendiri, merasa bersyukur atas kehidupan yang dia miliki. Setelah makan malam, Sera membantu Alana dan Alina bersiap-siap untuk tidur. Mereka membersihkan gigi, mengenakan piyama, dan duduk bersama di atas tempat tidur sambil mendengarkan cerita pengantar tidur dari Sera. Suasana hangat dan penuh kasih membuat mereka cepat tertidur. Setelah memastikan kedua putrinya tertidur pulas, Sera mengucapkan selamat malam pada keduanya dan meninggalkan kamar mereka dengan senyum di wajahnya. Kamar Sera "Maafkan ibu sayang, tadi ibu bertemu ayah kalian namun dia hanya ingin menghina ibu.Alana dan Alina, kalian hanya memiliki ibu saja begitu juga dengan ibu sayang." gumam Sera lirih. "Aku tak akan membiarkan siapapun merusak kebahagiaan sikecil Alana dan Alina!"Pagi menjelang dengan langit kelabu, hujan semalam masih menyisakan genangan di sepanjang jalan menuju mansion keluarga Galen. Di ruang makan besar yang kini terasa lebih tenang, Daffi duduk menatap secangkir kopi yang mulai dingin, pikirannya masih bergulat dengan laporan dari Detektif Ardi. Giska datang membawa roti panggang, menyentuh pundaknya lembut sambil berbisik, “Kau belum tidur lagi, ya?” Daffi menghela napas pelan, “Sulit tenang, Giska. Lily belum berhenti, aku tahu. Dia pasti sedang menyiapkan sesuatu.” Giska duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat, “Apa pun yang dia rencanakan, kita hadapi bersama. Aku nggak mau kamu tanggung semua sendiri.”Daffi menatap wajah istrinya, sorot matanya melembut, “Kamu selalu jadi alasanku untuk tetap kuat.” Mereka berdua saling diam beberapa saat sampai langkah kaki Sera terdengar mendekat. “Kalian harus tetap hati-hati,” katanya sambil duduk di seberang meja. “Tadi pagi aku dapat kabar dari Ardi, mereka menemukan bukti baru—transa
Lily menatap Daffi dengan wajah memelas, darah mengalir di pelipisnya, napasnya tersengal. “Daffi... tolong aku...” suaranya parau, tapi Daffi hanya berdiri diam, tatapannya dingin dan kosong.“Berhenti berpura-pura, Lily,” katanya datar. “Aku sudah tahu semuanya.”Lily membeku, tangannya gemetar. “A... apa maksudmu?”Daffi melangkah maju, suaranya pelan tapi tajam. “Kau yang menyebabkan kecelakaan itu. Kau yang membuat Giska mati. Kau pikir aku tidak akan tahu?”Lily mencoba mendekat, tapi Daffi mundur. “Daffi, aku melakukan semua ini karena cinta!”“Cinta?” Daffi mendengus. “Kau menghancurkan hidupku dan menyebut itu cinta?”Lily mulai menangis keras, mencoba meraih tangannya, tapi Daffi menepis kasar. “Kau tidak pantas disentuhku. Mulai sekarang, aku tidak akan jadi pria yang bisa kau kendalikan.”Lily terjatuh di lantai, terisak, sementara Daffi menatapnya sekali lagi—dingin, penuh jijik—lalu berbalik meninggalkannya tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.Lily menatap punggung Daf
Daffi menutup telepon tanpa berkata sepatah kata pun lagi. Suara napasnya terdengar berat, matanya menatap kosong ke kejauhan. Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang belum terurai. Giska mendekatinya, menaruh tangan lembut di pundaknya. “Kau baik-baik saja?” Daffi mengangguk pelan, meski ekspresinya menunjukkan konflik batin. “Aku tak bisa menolongnya, Giska. Dia telah menghancurkan hidup kita. Semua yang terjadi... luka yang ia tinggalkan... terlalu dalam.” Galen, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, akhirnya bersuara. “Kau sudah membuat keputusan yang benar, Nak. Ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki begitu saja.” Sera mengangguk, mendukung pernyataan suaminya. “Dia hanya akan mempermainkanmu lagi. Ini bukan tentang dendam, Daffi, ini tentang melindungi dirimu dan keluargamu.” Daffi menarik napas dalam, seolah ingin mengusir beban berat dari dadanya. “Aku tahu. Tapi... ada rasa bersalah di sini,” ujarnya sambil menepuk dadanya. “Aku ingin percaya bahwa s
Daffi menatap layar ponsel dengan tatapan yang semakin goyah. Matanya bergerak cepat, mengikuti gambar-gambar kenangan yang terpampang jelas di sana. Suara Giska terdengar dari rekaman itu, tawa lembut yang selama ini terasa begitu akrab namun asing di benaknya. Daffi mulai mengingat, kilatan memori muncul seperti kilat di tengah badai. “Giska?” bisiknya nyaris tak terdengar, namun semua orang di ruangan itu mendengarnya. Lily, yang berdiri di sampingnya, merasakan ancaman itu semakin nyata. Dengan cepat, dia menarik lengan Daffi, memaksa senyumnya yang paling manis meskipun dalam hatinya gemuruh ketakutan mulai melanda. “Daffi, sayang, jangan biarkan mereka membingungkanmu lagi. Kau tahu aku satu-satunya yang selalu ada untukmu,” kata Lily, nada suaranya mencoba mengunci perhatian Daffi. Namun, detik itu juga, Daffi menepis tangannya. “Cukup, Lily,” ucap Daffi dengan nada yang tak lagi ragu. Dia menatap Giska, melihat matanya yang memerah dan wajahnya yang dipenuhi luka hati. “
Giska menatap Daffi dengan mata yang berbinar penuh harapan, meski ada ketakutan yang bersembunyi di sudut hatinya. “Daffi, aku hanya ingin kau tahu satu hal—cinta kita bukan sekadar kenangan. Itu nyata, dan kau merasakannya sebelum semua ini terjadi.” Lily mengepalkan tangannya erat di samping tubuhnya, mencoba mempertahankan senyuman manis di wajahnya, meski hatinya bergejolak marah. “Daffi, kau tahu aku selalu di sini. Aku yang mendampingimu saat semua terasa gelap, bukan dia.” Daffi mengalihkan pandangannya ke arah ibunya, Sera, yang menatapnya penuh kasih sayang. “Nak, pilih dengan hatimu. Kebenaran selalu datang pada saatnya.” Daffi terdiam, tatapannya beralih antara Giska yang penuh harapan dan Lily yang berusaha memancarkan keyakinan. Ingatan-ingatan kabur mulai terbangkitkan, seperti bayangan-bayangan samar yang muncul dan tenggelam. Rasa sakit di kepalanya kembali menyeruak, membuatnya memegangi pelipisnya. “Aku... aku hanya butuh waktu untuk mengingat,” gumam Daffi,
Daffi berdiri di tengah ruangan, pandangannya terarah ke lantai, tampak kebingungan. Giska berdiri di sudut lain, memegang selembar kertas yang penuh bukti, matanya berkaca-kaca. Lily di sisi lain, menggenggam erat tangannya, menyembunyikan ketegangan di balik senyum tipisnya. “Semuanya sudah jelas, Daffi,” ujar Giska dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian. “Aku istrimu. Kau harus tahu kebenarannya, bahkan jika kau tidak mengingatnya sekarang.” Daffi memandang Giska dengan sorot mata yang kosong, seolah mencoba mencari serpihan ingatan di balik kabut yang membelenggu pikirannya. “Tapi… aku tak mengerti. Kenapa aku tak bisa mengingatnya?” Lily, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Wajahnya seolah diliputi ketegasan palsu yang dibuat-buat. “Daffi, mereka hanya ingin membuatmu ragu. Kau tak harus memaksakan diri untuk mengingat sesuatu yang sudah hilang. Aku di sini untukmu, untuk masa depan kita,” katanya, suaranya mengalun lembut seperti mantra berbahaya. Sera, yang







