Tekanan di dalam ruangan terasa semakin berat. Pertanyaan Rayden yang dingin dan tajam menggantung di udara, menuntut sebuah jawaban."Sesuatu di dalam tubuh ibuku? Jangan bertele-tele, orang tua. Katakan apa yang dia inginkan."Tetua Agung Altair tidak terintimidasi. Ia justru mengambil cangkir tehnya dengan gerakan yang lambat dan disengaja, menyesapnya perlahan sebelum meletakkannya kembali dengan suara denting porselen yang pelan. Gestur itu adalah sebuah pernyataan, ia yang mengendalikan alur percakapan ini."Kau tidak sabaran, anak muda. Sama seperti ayahmu," katanya, nadanya datar. "Dan rasa tidak sabaran itu bisa berbahaya." Ia menghela napas, seolah nama yang akan ia sebutkan memiliki beban sejarah yang berat. "Benda itu dikenal dalam teks-teks kuno paling rahasia sebagai Kristal Nadi Abadi. Lord Dragon telah memburunya sepanjang hidupnya karena propertinya yang secara fundamental menentang hukum alam."Rayden hanya diam, menunggu."Biarkan aku memberimu sebuah gambaran," lan
Rayden tertawa pelan. Itu bukan suara tawa yang hangat atau geli, melainkan sebuah suara dingin tanpa humor yang membuat udara di sekelilingnya terasa membeku. Ia menatap lurus ke mata Tetua Agung Altair yang dalam, sama sekali tidak terpengaruh oleh pernyataan dramatis pria tua itu."Korban?" tanyanya, setiap suku kata diucapkan dengan penekanan yang tajam. "Kata yang menarik, datang dari mulut seekor ular yang baru saja mencoba menelanku hidup-hidup."Sang Tetua tidak gentar di hadapan sarkasme itu. Ia menyesap tehnya dengan gerakan yang tenang, seolah sedang mendiskusikan cuaca. "Seekor ular hanya akan menyerang jika merasa sarangnya terancam," balasnya dengan logika yang tak terbantahkan. "Dan kau, anak muda, adalah ancaman terbesar yang pernah dilihat Malora dalam lima puluh tahun terakhir. Tindakanku adalah reaksi, bukan agresi."Ia meletakkan cangkirnya. "Kau melihat permainan ini dengan cara yang salah. Kau pikir kau telah datang dan mengalahkan tiga raja kecil. Kau salah."Ra
Keheningan yang damai di dalam markas bawah tanah itu terasa begitu nyata, sebuah hadiah langka yang Rayden nikmati dalam diam. Ia baru saja akan berbalik dari ambang pintu, membiarkan para wanita di dalam melanjutkan diskusi mereka, saat tiba-tiba hawa di sekelilingnya mendingin.Bukan dinginnya batu, melainkan dingin yang menusuk jiwa.Lyra, yang sedang bersandar di bayang-bayang, seketika menegakkan tubuhnya. Tangannya bergerak secepat kilat ke gagang pisaunya, matanya yang berwarna perak menyipit tajam ke arah pintu masuk utama yang gelap.Rayden tidak perlu bertanya. Ia juga merasakannya. Seseorang telah melewati semua lapis formasi pelindung mereka tanpa memicunya sama sekali.Di tengah keheningan yang mencekam itu, suara Lyra terdengar seperti bisikan maut tepat di samping Rayden."Dia datang."Napas Mireya dan Alesia tertahan di tenggorokan."Bukan utusan," lanjut Lyra, matanya terpaku pada kegelapan di ujung koridor. "Ular tua itu sendiri."Dan dari kegelapan itu, sesosok bay
Sambil berpegangan pada lengan kursi untuk menopang tubuhnya yang masih gemetar, Kara berhasil berdiri tegap selama sepuluh detik penuh—sebuah pencapaian yang terasa seperti keajaiban. Ia menatap ke luar jendela, ke arah jalanan Kota Malora yang kini tampak teratur dan tenang di bawah senja."Lihat, Rayden," katanya dengan senyum tulus yang untuk pertama kalinya mencapai matanya. "Kota ini mulai menemukan kedamaiannya di bawah kendalimu."Rayden yang berdiri mengawasinya dari dekat, hanya mengangguk pelan. Ia membantu Kara duduk kembali dengan hati-hati. Kemajuan wanita itu luar biasa. Setiap hari, kekuatannya pulih sedikit demi sedikit, dan cahaya seorang jenius yang telah lama padam kini mulai bersinar kembali.Setelah memastikan Kara beristirahat, Rayden berjalan keluar dari kamarnya. Ia melangkah menyusuri koridor markas bawah tanah yang tadinya terasa dingin dan kosong. Namun kini, tempat itu telah berubah.Ia melewati sebuah ruangan yang telah diubah menjadi kantor modern. Di da
Rayden masih berdiri di ambang pintu, mengamati interaksi antara tiga wanita yang kini menjadi pilar kekuasaannya. Momen realisasi bahwa ia sedang membangun sebuah dinasti terasa hangat dan nyata. Namun, kehangatan itu seketika lenyap saat sesosok bayangan memisahkan diri dari sudut ruangan.Lyra muncul, kehadirannya seperti biasa tak terduga dan membawa aura urgensi. Ia tidak membuang waktu."Pesan dari ibukota provinsi," katanya singkat, suaranya yang datar memotong tawa Alesia. "Dewan telah membuat keputusan."Seketika, suasana di dalam ruangan berubah. Tawa dan obrolan strategi berhenti.Alesia, Mireya, dan Kara serentak menoleh, wajah mereka tegang.Momen perayaan mereka yang rapuh kini digantikan oleh antisipasi yang mencekam. Keputusan ini akan menentukan apakah strategi berisiko mereka akan membuahkan kemenangan telak atau justru menjadi bumerang yang menghancurkan."Tampilkan," perintah Rayden tenang.Lyra mengangguk, lalu mengetuk perangkat komunikasinya. Sebuah layar hologr
Alesia menerobos masuk ke kamar Kara, gerakannya penuh energi dan keceriaan yang kontras dengan suasana tenang di dalamnya. Di tangannya ada sebuah nampan berisi semangkuk sup herbal hangat yang aromanya langsung memenuhi ruangan. Senyumnya merekah cerah saat melihat Kara yang sedang berlatih untuk berdiri sambil berpegangan pada sisi ranjang."Lihat siapa yang sudah bisa berdiri! Wah, wah, ini harus dirayakan!" serunya. Ia meletakkan nampan itu di meja terdekat dan bertepuk tangan dengan antusias. "Tapi jangan terlalu lama, wajahmu masih pucat, Sayang! Sini, duduk dan makan dulu."Tak lama kemudian, Mireya menyusul masuk dengan langkah yang lebih tenang. Ia membawa sebuah selimut wol yang tebal dan hangat. "Ale benar, ini pencapaian yang luar biasa, Kara," katanya dengan senyum lembut. "Tapi jangan memaksakan diri. Tubuhmu masih dalam tahap pemulihan."Untuk pertama kalinya, mereka bertiga berkumpul di dalam satu ruangan bukan sebagai pasien dan perawat, atau sebagai tuan rumah dan t