Beranda / Urban / Balas Dendam sang Kultivator / Bab 18. Luka Lama, Darah Baru

Share

Bab 18. Luka Lama, Darah Baru

Penulis: Imgnmln
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-07 15:58:09
"Aku menunggu, Rayden."

Suara Lyra terdengar jelas di telinganya, sebuah bisikan dingin di tengah badai spiritual yang mulai mereda. "Semuanya. Dari awal."

Tuntutan itu mutlak. Mereka masih dalam posisi yang rapuh—Lyra dengan punggung menempel di punggung Rayden, menjadi kanal bagi energi liar yang kini berputar dalam pusaran yang lebih stabil di antara mereka dan kristal. Keringat membasahi pelipis keduanya, sebuah bukti dari pertaruhan nyawa yang baru saja mereka menangkan.

Rayden menarik napas yang berat dan bergetar. Ia tidak punya pilihan.

Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, ia membuka gerbang ingatannya, membiarkan orang lain masuk ke dalam masa lalunya yang paling kelam.

Dengan suara rendah dan serak, ia mulai bercerita. Ia menceritakan tentang kehangatan keluarganya, tentang tawa ibunya dan nasihat ayahnya. Ia melukiskan dengan kata-kata sebuah dunia yang telah direnggut darinya, sebuah surga kecil yang dibakar habis dalam satu malam.

Ia kemudian menceritakan tentang pel
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 38. Badai Telah Reda

    Saat Rayden muncul kembali di markas bawah tanahnya, ia tidak lagi berjalan dengan aura seorang penakluk, melainkan terhuyung-huyung seperti prajurit yang baru saja pulang dari neraka.Jubah hitamnya robek di beberapa bagian, memperlihatkan luka bakar dan goresan dalam di bawahnya. Wajahnya pucat pasi, dan noda darah yang telah mengering di sudut bibirnya menjadi saksi bisu dari pertarungan brutal yang baru saja ia menangkan.Alesia yang sedang mondar-mandir dengan cemas di ruang utama, adalah yang pertama melihatnya. Ia terkesiap, kedua tangannya langsung membekap mulutnya."Kau... kau terluka!" serunya, nada riang dan genit yang biasa ia pakai lenyap tak berbekas, digantikan oleh kepanikan yang tulus dan tak terselubung.Mireya, yang sedang memeriksa beberapa data di meja, langsung bangkit dan berlari menghampiri. Reaksinya lebih terkendali, namun kekhawatiran di matanya sama dalamnya. "Ray! Apa yang terjadi? Kau berhasil?"Rayden hanya mengangguk lemah, terlalu lelah untuk menjelas

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 37. Pelajaran untuk Sang Ular Tua

    Wijaya menatap dengan kaget saat Rayden, yang seharusnya sudah di ambang kekalahan, kini berada tepat di belakangnya. Bisikan dingin di telinganya masih terngiang seperti mantra kematian.Sebelum ia bisa mengerahkan energi pelindung, tangan Rayden yang bersinar dengan cahaya keemasan terkompresi, menghantam titik di punggungnya. Itu bukan pukulan yang keras, tetapi terasa seperti ribuan jarum es yang menembus meridiannya, mencari dan menghancurkan simpul kendali spiritualnya."Argh!" Wijaya jatuh berlutut, wajahnya pucat pasi.Ia mencoba menggerakkan energi di dalam tubuhnya, tetapi sia-sia. Dantiannya terasa seperti terkunci rapat, dan semua jalur energinya tersumbat total. Ia menatap Rayden dengan ngeri."Bagaimana... bagaimana kau tahu titik kelemahanku?" tanyanya, suaranya bergetar tak percaya.Rayden menarik tangannya perlahan, napasnya masih berat karena lukanya sendiri. "Setiap ahli formasi memiliki kebiasaan," jawabnya dingin, seolah sedang menjelaskan sebuah teori sederhana.

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 36. Medan Perang

    Rayden berlutut dengan satu kaki, pedangnya yang tertancap di tanah menjadi satu-satunya penyangga yang menahannya agar tidak rubuh. Rasa sakit yang membakar di punggungnya terasa seperti lahar panas, dan setiap tarikan napas terasa seperti menelan serpihan kaca. Darah segar menetes dari bibirnya, membentuk kolam kecil di atas rumput yang telah hancur. Ia tampak seperti seekor naga yang sayapnya telah dipatahkan.Di hadapannya, dua Grandmaster Altair berdiri dengan angkuh. Gorga menyeringai puas, sementara Wijaya menatapnya dengan tatapan dingin penuh kemenangan.Di paviliun, Tetua Agung Altair menyesap tehnya seolah baru saja menyaksikan akhir yang tak terhindarkan.Meskipun terluka parah, Rayden mengangkat kepalanya. Tidak ada keputusasaan di matanya. Sebaliknya, sebuah senyum tipis yang dingin dan menakutkan terukir di bibirnya."Fondasi yang dibangun ratusan tahun," katanya, suaranya serak namun terdengar jelas di taman yang porak-poranda itu. "Terkadang bisa runtuh dalam sekejap

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 35: Aib Terakhir Bramasta

    Tetua Agung Altair menyesap tehnya dengan gerakan yang lambat dan anggun, seolah sedang menikmati sebuah pertunjukan seni yang indah, bukan duel brutal yang baru saja berakhir. Ia menatap Rayden yang sedang berlutut, napasnya berat dan darah segar menodai tanah di hadapannya."Lihatlah, Tuan Kartadewa," katanya dengan nada superioritas yang tenang. "Itulah bedanya antara kekuatan mentah dan fondasi yang telah dibangun selama ratusan tahun. Kau mungkin kuat, tapi kau sendirian."Di tengah rasa sakit yang menjalari punggungnya, Rayden mengangkat kepalanya. Alih-alih menunjukkan keputusasaan atau kemarahan, sebuah senyum tipis yang mengerikan justru terukir di bibirnya yang berdarah. Matanya berkilat dengan cahaya yang sama sekali bukan cahaya dari seseorang yang telah kalah."Anda benar, Tetua," jawabnya, suaranya serak namun stabil. "Fondasi memang penting."Tepat saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar pertarungan di taman ini sedang terjadi

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 34: Duel Para Grandmaster

    Kembali ke paviliun teh di Malora.Suasana yang tadinya tenang kini terasa berat dan menyesakkan oleh tekanan spiritual yang dilepaskan oleh dua sosok yang baru saja muncul. Tetua Agung Altair hanya menatap dengan dingin, seolah akan menyaksikan sebuah pertunjukan yang telah lama ia nantikan.Grandmaster kekar yang muncul di sisi kanan—Gorga, melangkah maju. Setiap langkahnya membuat lantai kayu paviliun berderit seolah menahan beban sebuah gunung. Tangannya yang kosong terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih, memancarkan aura kekuatan fisik yang murni dan menghancurkan."Anak muda, kesombonganmu berakhir di sini," geramnya, suaranya berat seperti batu yang bergesekan. "Kau telah melangkah terlalu jauh."Sebelum suaranya hilang, Gorga sudah menerjang. Ia tidak menggunakan teknik yang rumit.Ia hanya melontarkan sebuah pukulan lurus, sebuah tinju yang diselimuti energi berwarna coklat yang pekat. Namun, kekuatan di balik pukulan sederhana itu begitu dahsyat hingga udara di hadap

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 33: Penyelamatan di Kota Zoho

    Di dalam kamarnya yang terkunci di Kota Zoho, Alesia Hayes mendengar suara suaminya dari balik pintu, setiap katanya adalah cambuk yang mengiris jiwanya."Menangislah sesukamu, jalang! Tidak akan ada pahlawan yang datang menolongmu di sini!"Alesia merosot di sudut terjauh dari kamarnya yang luar biasa mewah, memeluk lututnya erat-erat. Gaun sutra mahal yang ia kenakan kini terasa seperti kain kafan. Kamar ini, dengan perabotan berukir dari Italia, permadani Persia yang lembut, dan pemandangan gemerlap Kota Zoho dari jendela setinggi dinding, bukanlah surga, melainkan penjara terindahnya.Setiap benda berkilau di sekelilingnya adalah jeruji dari sangkar emas yang mengurungnya.Harapan terasa seperti sebuah lelucon yang kejam. Ia telah mengirim pesan panik itu pada Kara, sahabat satu-satunya. Tapi apa yang bisa dilakukan Kara? Seorang wanita yang terkurung oleh tubuhnya sendiri, berada di kota lain. Tidak ada yang bisa menolongnya. Di sini, di wilayah kekuasaan Keluarga Andreas, suamin

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status