Langkah kaki para penjaga terdengar berat di lorong bawah Balai Lelang Delvanca. Dinding-dinding batu memantulkan suara roda yang berderit saat peti kaca itu digeser perlahan. Rayden menunduk di atas balok kayu tua, mengikuti dari kegelapan dengan napas teratur. Tak ada sorotan cahaya yang menyentuhnya. Ia seperti bayangan yang menyatu dengan tempat itu.
Ia sudah memperkirakan rute ini. Lorong menuju ruang bawah adalah jalur distribusi artefak berharga, hanya digunakan untuk barang-barang yang tidak bisa masuk daftar lelang. Peti itu tidak dibawa kembali ke gudang biasa. Ini sudah berbeda dari jalur tiga malam lalu. Mereka mengambil jalur penyimpanan paling dalam, yang hanya dipakai untuk objek berisiko tinggi.
Rayden bergerak saat para penjaga membuka pintu logam berat. Ia meluncur cepat ke balik rak besi ketika mereka lewat, tak mengeluarkan suara. Begitu pintu kembali tertutup, ia menyelinap mendekat.
Di dalam ruangan itu, udara jauh lebih dingin. Cahaya biru dari lampu kristal menyinari area sempit dengan puluhan kotak kayu dan beberapa tabung penyimpanan spiritual. Di tengah ruangan, peti kaca tadi kini terhubung dengan alat pindaian berbasis rune.
Dua penjaga berjaga sambil mengecek panel kontrol. Salah satunya berbicara pelan sambil menunjuk layar.
"Segelnya belum aktif penuh. Tapi cukup stabil untuk pengiriman."
"Selesaikan segera. Pengangkutan pakai jalur utara. Mereka tunggu di titik koordinat sebelum matahari terbit."
Rayden mengingat setiap pembicaraan mereka. Jalur utara artinya bukan rute distribusi dalam kota. Ini dikirim keluar. Sepertinya harus cepat dan diam-diam. Matanya mengarah ke panel. Tulisan-tulisan di layar menunjukkan daftar muatan.
Kode pengirimannya adalah BX-45.
Tujuannya adalah Markas Cadangan Bramasta yang berada di Wilayah Terluar Malora.Ia menyempitkan mata. Wilayah terluar berarti jaringan logistik yang tidak diawasi langsung oleh Dewan Kultivator. Barang ini akan hilang begitu sampai ke tangan lain.
Salah satu penjaga membuka kotak logam kecil. Mengeluarkan gulungan dokumen pengiriman. Ia membacanya pelan.
"Tiga objek. Dua dikonfirmasi asal internal. Satu... sumber tidak dikenal, dimasukkan melalui jalur khusus."
Rayden mengerutkan kening. Itu pasti akar tanaman ungu yang ia cari. Kalau benar barang itu tak tercatat secara resmi, maka Bramasta menyimpannya diam-diam.
Suara langkah mendekat. Seorang pria lain masuk, berbeda dari dua penjaga sebelumnya. Pakaiannya rapi, tapi tak memakai seragam. Ia membawa tongkat pemindai dan sebuah cincin penguat spiritual di tangan kirinya. Dari caranya berjalan, Rayden bisa menebak pria ini adalah pengawas tingkat menengah.
"Persiapkan transmisi. Barang akan dikirim malam ini juga."
"Tuan, jalur selatan lebih aman," saran salah satu penjaga.
"Instruksi dari atas. Jalur utara. Bukan permintaan, tapi perintah."
Rayden tahu dia harus bertindak cepat. Ia mundur perlahan, menyusuri jalur ventilasi yang terbuka sebagian di sisi kanan ruangan. Debu dan bau logam menyengat, tapi ia terus merangkak hingga menemukan percabangan.
Beberapa meter ke dalam, ia menemukan ruang kontrol kecil. Tak ada orang. Di dalamnya, satu panel kristal menyala. Ia duduk di depannya dan mulai menyalin data transmisi. Suhu di dalam ruangan menghangat oleh energi rune yang berdenyut pelan. Beberapa detik kemudian, suara dari ruang sebelah terdengar makin keras.
"Sistem aktif. Rune sinkron. Pengiriman dimulai."
Rayden tak sempat menyalin semua file. Tapi satu folder menarik perhatiannya.
[Altair Consortium - Akses Kirim Non Resmi]
Tangannya berhenti. Altair. Nama itu bukan asing. Salah satu keluarga tertua di dunia kultivator. Mereka tak pernah tampil di depan umum, tapi jejak kekuatan mereka ada di mana-mana. Jika Bramasta terhubung dengan Altair, maka konflik ini bukan urusan satu kota, melainkan jaringan besar yang bergerak dalam gelap.
Sebelum bisa membuka file lebih jauh, alarm samar terdengar. Bukan sirine keras, tapi getaran ringan di lantai. Sistem mendeteksi keberadaan energi asing.
Rayden mengutuk dalam hati. Ia menutup semua panel, memasang gangguan aura di sekitar ruangan. Tapi itu hanya bertahan beberapa menit.
Langkah cepat mendekat. Satu suara berkata, "Ada fluktuasi di sektor tiga. Periksa sekarang."
Rayden membuka penutup ventilasi samping dan masuk. Jalurnya sempit dan berdebu, tapi cukup untuk lolos dari pengejaran. Ia merangkak cepat, tubuhnya menyatu dengan gelap dan sempitnya ruang.
Di ujung, ia melihat lingkaran rune bercahaya biru. Sebuah gerbang transportasi spiritual. Tak dijaga, tapi aktif. Getaran magis di lantainya menandakan sistem itu baru saja dihidupkan.
Ia melompat masuk.
Sesaat, tubuhnya melesat melewati lorong cahaya. Dinding bercahaya biru, suara desiran seperti aliran sungai. Kemudian, gelap. Tubuhnya berputar sebentar sebelum terlempar ke luar.
Rayden mendarat keras di ruang sempit penuh debu. Di sekelilingnya, lemari tua dan tumpukan gulungan. Bau kayu lembap dan batu basah memenuhi udara. Di satu sisi, cahaya dari luar menerobos masuk lewat kisi-kisi kayu.
Ia menyusuri ruangan itu dan menemukan satu meja dengan lambang Bramasta yang sudah dicoret. Tapi satu simbol di bawahnya menarik perhatian.
Segel Perdagangan Altair.
Rayden menarik satu gulungan dari tumpukan. Di sana, tercetak daftar barang.
Kode: BX-45
Tujuan: Markas Tengah Altair - Sektor 2CPengirim: Bramasta - Transit tidak resmiPenerima: Altair Consortium (kode khusus: Lucien D.)Rayden menggenggam kertas itu erat. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih besar.
Ia menyandarkan punggung ke dinding. Lantai dingin menempel ke telapak sepatunya. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, tapi karena kepingan rencana mulai saling terhubung.
Altair, Bramasta, dan nama Lucien D. Semuanya muncul di jalur yang sama.
Ia melangkah keluar dari ruangan gelap itu. Malam masih panjang, tapi jalur perang baru sudah terbuka.
Saat Rayden muncul kembali di markas bawah tanahnya, ia tidak lagi berjalan dengan aura seorang penakluk, melainkan terhuyung-huyung seperti prajurit yang baru saja pulang dari neraka.Jubah hitamnya robek di beberapa bagian, memperlihatkan luka bakar dan goresan dalam di bawahnya. Wajahnya pucat pasi, dan noda darah yang telah mengering di sudut bibirnya menjadi saksi bisu dari pertarungan brutal yang baru saja ia menangkan.Alesia yang sedang mondar-mandir dengan cemas di ruang utama, adalah yang pertama melihatnya. Ia terkesiap, kedua tangannya langsung membekap mulutnya."Kau... kau terluka!" serunya, nada riang dan genit yang biasa ia pakai lenyap tak berbekas, digantikan oleh kepanikan yang tulus dan tak terselubung.Mireya, yang sedang memeriksa beberapa data di meja, langsung bangkit dan berlari menghampiri. Reaksinya lebih terkendali, namun kekhawatiran di matanya sama dalamnya. "Ray! Apa yang terjadi? Kau berhasil?"Rayden hanya mengangguk lemah, terlalu lelah untuk menjelas
Wijaya menatap dengan kaget saat Rayden, yang seharusnya sudah di ambang kekalahan, kini berada tepat di belakangnya. Bisikan dingin di telinganya masih terngiang seperti mantra kematian.Sebelum ia bisa mengerahkan energi pelindung, tangan Rayden yang bersinar dengan cahaya keemasan terkompresi, menghantam titik di punggungnya. Itu bukan pukulan yang keras, tetapi terasa seperti ribuan jarum es yang menembus meridiannya, mencari dan menghancurkan simpul kendali spiritualnya."Argh!" Wijaya jatuh berlutut, wajahnya pucat pasi.Ia mencoba menggerakkan energi di dalam tubuhnya, tetapi sia-sia. Dantiannya terasa seperti terkunci rapat, dan semua jalur energinya tersumbat total. Ia menatap Rayden dengan ngeri."Bagaimana... bagaimana kau tahu titik kelemahanku?" tanyanya, suaranya bergetar tak percaya.Rayden menarik tangannya perlahan, napasnya masih berat karena lukanya sendiri. "Setiap ahli formasi memiliki kebiasaan," jawabnya dingin, seolah sedang menjelaskan sebuah teori sederhana.
Rayden berlutut dengan satu kaki, pedangnya yang tertancap di tanah menjadi satu-satunya penyangga yang menahannya agar tidak rubuh. Rasa sakit yang membakar di punggungnya terasa seperti lahar panas, dan setiap tarikan napas terasa seperti menelan serpihan kaca. Darah segar menetes dari bibirnya, membentuk kolam kecil di atas rumput yang telah hancur. Ia tampak seperti seekor naga yang sayapnya telah dipatahkan.Di hadapannya, dua Grandmaster Altair berdiri dengan angkuh. Gorga menyeringai puas, sementara Wijaya menatapnya dengan tatapan dingin penuh kemenangan.Di paviliun, Tetua Agung Altair menyesap tehnya seolah baru saja menyaksikan akhir yang tak terhindarkan.Meskipun terluka parah, Rayden mengangkat kepalanya. Tidak ada keputusasaan di matanya. Sebaliknya, sebuah senyum tipis yang dingin dan menakutkan terukir di bibirnya."Fondasi yang dibangun ratusan tahun," katanya, suaranya serak namun terdengar jelas di taman yang porak-poranda itu. "Terkadang bisa runtuh dalam sekejap
Tetua Agung Altair menyesap tehnya dengan gerakan yang lambat dan anggun, seolah sedang menikmati sebuah pertunjukan seni yang indah, bukan duel brutal yang baru saja berakhir. Ia menatap Rayden yang sedang berlutut, napasnya berat dan darah segar menodai tanah di hadapannya."Lihatlah, Tuan Kartadewa," katanya dengan nada superioritas yang tenang. "Itulah bedanya antara kekuatan mentah dan fondasi yang telah dibangun selama ratusan tahun. Kau mungkin kuat, tapi kau sendirian."Di tengah rasa sakit yang menjalari punggungnya, Rayden mengangkat kepalanya. Alih-alih menunjukkan keputusasaan atau kemarahan, sebuah senyum tipis yang mengerikan justru terukir di bibirnya yang berdarah. Matanya berkilat dengan cahaya yang sama sekali bukan cahaya dari seseorang yang telah kalah."Anda benar, Tetua," jawabnya, suaranya serak namun stabil. "Fondasi memang penting."Tepat saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar pertarungan di taman ini sedang terjadi
Kembali ke paviliun teh di Malora.Suasana yang tadinya tenang kini terasa berat dan menyesakkan oleh tekanan spiritual yang dilepaskan oleh dua sosok yang baru saja muncul. Tetua Agung Altair hanya menatap dengan dingin, seolah akan menyaksikan sebuah pertunjukan yang telah lama ia nantikan.Grandmaster kekar yang muncul di sisi kanan—Gorga, melangkah maju. Setiap langkahnya membuat lantai kayu paviliun berderit seolah menahan beban sebuah gunung. Tangannya yang kosong terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih, memancarkan aura kekuatan fisik yang murni dan menghancurkan."Anak muda, kesombonganmu berakhir di sini," geramnya, suaranya berat seperti batu yang bergesekan. "Kau telah melangkah terlalu jauh."Sebelum suaranya hilang, Gorga sudah menerjang. Ia tidak menggunakan teknik yang rumit.Ia hanya melontarkan sebuah pukulan lurus, sebuah tinju yang diselimuti energi berwarna coklat yang pekat. Namun, kekuatan di balik pukulan sederhana itu begitu dahsyat hingga udara di hadap
Di dalam kamarnya yang terkunci di Kota Zoho, Alesia Hayes mendengar suara suaminya dari balik pintu, setiap katanya adalah cambuk yang mengiris jiwanya."Menangislah sesukamu, jalang! Tidak akan ada pahlawan yang datang menolongmu di sini!"Alesia merosot di sudut terjauh dari kamarnya yang luar biasa mewah, memeluk lututnya erat-erat. Gaun sutra mahal yang ia kenakan kini terasa seperti kain kafan. Kamar ini, dengan perabotan berukir dari Italia, permadani Persia yang lembut, dan pemandangan gemerlap Kota Zoho dari jendela setinggi dinding, bukanlah surga, melainkan penjara terindahnya.Setiap benda berkilau di sekelilingnya adalah jeruji dari sangkar emas yang mengurungnya.Harapan terasa seperti sebuah lelucon yang kejam. Ia telah mengirim pesan panik itu pada Kara, sahabat satu-satunya. Tapi apa yang bisa dilakukan Kara? Seorang wanita yang terkurung oleh tubuhnya sendiri, berada di kota lain. Tidak ada yang bisa menolongnya. Di sini, di wilayah kekuasaan Keluarga Andreas, suamin