Rayden turun dari mobil. Sepatu kulitnya menyentuh aspal dengan suara nyaris tak terdengar. Ia menarik kerah jasnya dan menyesuaikan topeng setengah wajah yang menutupi bagian hidung hingga dagu. Aksesori wajib, katanya, demi menjaga ‘Kerahasiaan identitas tamu.’
Lampu-lampu Balai Lelang Delvanca menyala terang, memantul di permukaan marmer dan kaca. Para undangan melangkah satu per satu. Pakaian formal, topeng berbeda-beda bentuk dan warna, namun semuanya menyembunyikan identitas. Rayden menyelip di antara mereka. Ia menyerahkan pin VIP. Pemindai berbunyi singkat. "Silakan masuk, Tuan," ucap petugas berseragam. Di balik topeng, matanya tajam mengamati. Bagi kebanyakan orang, ini pesta mewah. Tapi Rayden tahu, ini bukan pesta. Ini panggung pertarungan diam-diam. Ia berjalan menuju kursinya, yang ditandai sesuai identitas samaran. Sorotan lampu hangat menari di langit-langit. Musik lembut mengalun dari sudut ruangan. Tawa ringan terdengar di sana-sini, tapi tak ada yang benar-benar terdengar jujur. Ia mengamati para tamu. Cara mereka berdiri, bicara, tertawa. Banyak yang terlalu santai, ada juga yang justru terlihat kaku. Tapi semuanya tampak menjaga jarak, menyimpan sesuatu di balik topeng. "Pertama kali ikut lelang seperti ini?" suara pria dari kiri membuat Rayden menoleh. Seorang pria bertopeng perak duduk dua kursi darinya. Suaranya ramah, tapi matanya tak menunjukkan hal yang sama. "Tidak," jawab Rayden singkat. "Biasanya yang pendiam seperti Anda, punya tujuan paling jelas," lanjut pria itu sambil mengangkat gelas. Rayden hanya memberi anggukan kecil. Beberapa menit kemudian, lampu panggung menyala. Seorang pria dengan jas merah marun naik ke atas. Ia membuka acara dengan memperkenalkan barang-barang yang akan dilelang. Barang pertama, batu energi kualitas menengah. Penawaran dimulai. Paddle diangkat. Angka-angka disebut cepat. Rayden tidak tertarik. Fokusnya bukan di barang pembuka. Barang berikutnya ditampilkan. Waktu berlalu. Suara lelang dan tawar-menawar terus mengisi ruangan. Rayden tetap duduk tenang. Sesekali mengangkat gelas kecil di tangannya untuk menyesuaikan perannya. Setelah beberapa item lewat, tiga pria berpakaian hitam mendorong sebuah kotak kaca besar ke atas panggung. Rayden duduk lebih tegak. Matanya tajam. Itu dia. Peti itu sama seperti yang dilihatnya tiga malam lalu. Di dalamnya ada tiga benda yang memancarkan aura berbeda. Energi dari dalam kotak itu seperti menyebar ke seluruh ruangan. Para tamu mulai memperhatikan. Suara di ruangan perlahan mengecil. Sebagian mulai saling berbisik. Beberapa bahkan sudah mengangkat paddle mereka sebelum proses penawaran dimulai. Tapi kemudian, sebuah suara terdengar dari sisi kanan ruangan. "Barang itu... tidak seharusnya dilelang malam ini." Seorang pria berdiri perlahan. Ia memakai jas hitam sederhana dan berdiri dengan tenang, tapi aura tubuhnya membawa tekanan aneh. Wajahnya tertutup topeng abu-abu polos. Tidak ada yang mengenalnya. Rayden melirik, lalu memutar kembali kejadian di gudang. Pria ini bukan salah satu dari penjaga. Tapi kemunculannya terlalu tepat untuk dianggap kebetulan. Pemandu lelang tampak gelisah. Seorang staf membisikkan sesuatu di telinganya sambil menyodorkan kertas. Sang pemandu membaca cepat, lalu berdiri tegak kembali. "Barang nomor sembilan ditunda penawarannya. Akan dikaji ulang oleh penyelenggara. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini." Beberapa tamu terdengar kecewa. Yang lain tampak lega. Tapi Rayden tahu, ini bukan keputusan dadakan. Ini direncanakan. Matanya mengikuti dua penjaga yang dengan cepat menggiring peti kaca ke balik panggung. Gerakan mereka terlalu rapi. Tanpa kebingungan. Seolah mereka sudah tahu bahwa barang itu akan ditarik. Lorong yang mereka tuju adalah lorong sempit menuju ruang penyimpanan bawah. Tempat yang sama yang Rayden telusuri beberapa malam lalu. Tapi kali ini, penjagaannya pasti berbeda. Rayden tidak bergerak, tapi pandangannya berubah. Ia mulai memperhatikan tamu-tamu lain. Beberapa pasang mata terlalu lama menatap ke arahnya. Bukan sekadar ingin tahu, tapi seperti mengawasi. Ia bersandar ke kursi, tampak santai. Satu tangannya perlahan masuk ke dalam jas, menyentuh logam kecil dan sensor yang tersembunyi di sana. Pergerakannya tetap tenang. Tapi pikirannya mulai menyusun ulang rencana. Ia memutar ulang jalur keluar di kepalanya. Letak kamera, jumlah penjaga, sudut-sudut gelap yang bisa dimanfaatkan. Waktu yang dibutuhkan untuk turun ke ruang bawah tanpa menarik perhatian. Lalu, suara pelan dari arah belakang terdengar. "Kalau dia bergerak malam ini, aktifkan protokol kedua." Rayden tidak menoleh. Tapi telinganya menangkap kalimat itu dengan jelas. Protokol kedua. Itu bukan sekadar pengamanan tambahan. Itu sistem penangkapan. Mereka menunggu seseorang. Dan kemungkinan besar, orang itu adalah dia. Di kejauhan, pemandu lelang kembali membuka penawaran untuk barang selanjutnya. Tapi suasana ruangan tidak sama lagi. Suhu udara seperti turun beberapa derajat. Banyak tamu yang terlihat gelisah. Mungkin mereka tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi, tapi mereka bisa merasakannya. Rayden menyapu pandangan ke sekeliling. Wajah-wajah di balik topeng. Semua terlihat biasa, tapi satu per satu mulai memperlihatkan celah. Gerak mata. Jari yang mengetuk lengan kursi. Napas yang berubah ritme. Ia menarik napas dalam-dalam. Malam ini bukan hanya soal barang lelang. Ini tentang siapa yang bereaksi terhadap apa. Dan ia baru saja masuk ke tengah permainan yang sudah disiapkan jauh sebelum ia tiba. Jika mereka sudah menyiapkan jebakan, maka ia harus lebih cepat dari mereka. Rayden menunduk sedikit, menyentuh bagian dalam sepatu kanannya. Sensor kecil di sana menyala saat disentuh. Ini sinyal awal. Bukan untuk menyerang. Tapi untuk membuka jalur keluar jika dibutuhkan dalam keadaan darurat. Dari barisan kanan, seorang wanita muda bersandar santai di kursinya. Ia memakai gaun hitam dengan topeng bertabur kilau perak. Suaranya ringan, nyaris seperti bisikan iseng di tengah pesta biasa. "Lucu ya," katanya, tanpa menoleh langsung ke arah Rayden. "Kadang yang datang untuk berburu malah jadi umpan." Rayden tidak menyahut. Tapi matanya menangkap sedikit gerakan dari cincin di jari wanita itu, ukiran kecil yang sama seperti simbol yang pernah ia lihat di dokumen internal Bramasta. Bukan sekadar tamu."Masalah besar?" ulang Rayden, firasat terburuknya langsung mencengkeram hatinya. Seluruh tubuhnya menegang. "Apa yang terjadi pada Raelyn? Apa yang Lucien lakukan padanya?"Tetua Agung Altair menatap Rayden, dan untuk sesaat, topeng baja di wajahnya yang tua retak. Di kedalaman matanya yang keruh, ada secercah simpati yang tulus, sebuah kilatan rasa sakit yang beresonansi. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya tetap dingin dan faktual, seolah ia hanya membacakan kembali laporan dari malam terkutuk itu, sebuah mekanisme pertahanan yang telah ia asah selama sepuluh tahun."Bukan itu," jawab sang Tetua pelan. "Masalah yang ia maksud bukanlah adikmu. Menurut laporan singkat Lucien, Raelyn telah diurus. Dia tidak memberikan detailnya. Laporannya hanya menyatakan bahwa target kedua tidak lagi menjadi ancaman bagi rencana kita."Kata-kata 'diurus' dan 'tidak lagi menjadi ancaman' terdengar lebih kejam di telinga Rayden daripada deskripsi penyiksaan mana pun. Ia langsung mengerti apa ar
Rayden hanya tersenyum tipis mendengar akhir dari cerita pengejarannya. Itu bukan senyum kemenangan, melainkan senyum pahit dari seseorang yang mengenang kembali takdir yang aneh. Ia teringat pada tangan keriput Guru Sena yang menariknya dari ambang kematian, pada kebingungannya saat terbangun di sebuah desa yang tersembunyi dari dunia."Laporan mereka tidak sepenuhnya salah," katanya, suaranya tenang.Tetua Agung Altair mengangguk, seolah jawaban itu sudah ia duga. "Saat itu, kami tidak tahu ada keajaiban yang menunggumu di dasar jurang. Bagi kami di ruang komando, laporan itu adalah sebuah titik terang di tengah malam yang kacau. Kami menganggapmu sudah tewas."Ia menyandarkan punggungnya, sebuah desahan lega yang tertahan selama sepuluh tahun akhirnya keluar dari bibirnya. "Satu masalah selesai. Itu adalah sebuah kelegaan yang mengerikan bagi kami. Dengan dirimu yang sudah dibereskan, semua sumber daya yang tersisa, semua pelacak dan pembunuh elite, kini bisa difokuskan pada satu t
"Aura lain?" tanya Rayden, mengerutkan kening. Firasatnya mengatakan bahwa anomali itu adalah kunci dari segalanya, namun ia menahan diri untuk tidak menekan lebih jauh. Ia membiarkan pria tua itu bercerita sesuai alurnya. "Siapa?"Sang Tetua menggelengkan kepalanya, sebuah ekspresi kekesalan samar melintas di wajahnya saat mengingat kembali kekacauan malam itu. "Kami tidak tahu," jawabnya. "Saat itu, di tengah kepanikan, laporan itu kami abaikan. Kami menganggapnya sebagai kesalahan sensor spiritual atau mungkin hanya seekor binatang buas tingkat tinggi yang terusik oleh keributan. Fokus kami sepenuhnya tertuju pada kalian berdua, dua bara api kecil yang berpotensi membakar seluruh rencana kami."Ia melanjutkan narasinya, suaranya yang tenang kini diwarnai oleh nada frustrasi yang samar. "Tim yang ditugaskan untuk mengejar adikmu melaporkan kemajuan yang stabil. Dia kelelahan dan ketakutan. Menangkapnya hanya masalah waktu. Tapi kau..."Sang Tetua menatap Rayden. "Kau adalah hantu. L
Rayden tidak berkata apa-apa menanggapi cerita sang Tetua. Ia hanya bergumam pelan, lebih pada dirinya sendiri, seolah menghidupkan kembali momen pahit saat ia mendorong adiknya pergi dan memilih jalan yang berbeda."Aku menyuruhnya lari."Sang Tetua mengangguk, ekspresinya muram. "Dan tindakanmu itu," akunya, "Menciptakan kepanikan terbesar bagi kami di ruang komando."Ia melukiskan suasana di balik layar malam itu. Bukan gambaran para pembunuh berdarah dingin yang memegang kendali, melainkan para perencana yang panik saat operasi sempurna mereka tiba-tiba berantakan."Perintah Lord Dragon absolut—tidak boleh ada saksi yang hidup," lanjut sang Tetua, suaranya dipenuhi oleh ketakutan lama. "Dua anak yang lolos dari genggaman kami bukan sekadar masalah. Itu adalah sebuah kegagalan total yang bisa berakibat pemusnahan bagi kami semua di tangan Brahma."Di tengah kepanikan itu, sang Tetua mengakui, Lucien Dorne menunjukkan mengapa ia yang dipilih untuk memimpin. Sementara yang lain berte
Alis Rayden bertaut erat, kebingungan dan ketidakpercayaan berperang di dalam dirinya. Ia menatap Tetua Altair, mencoba mencari kebohongan di mata pria tua itu."Ayahku?" tanyanya, suaranya terdengar serak. "Dia hanya seorang pebisnis biasa, tidak memiliki kultivasi."Sang Tetua mengangguk perlahan, ekspresinya muram. "Benar," sahutnya. "Dan itulah kesalahan perhitungan kami yang paling fatal. Di dunia kami, seorang manusia biasa tanpa kultivasi dianggap tidak lebih dari seekor semut. Kami mengira dia tidak akan berdaya."Ia melanjutkan narasinya, suaranya yang tenang membawa Rayden kembali ke dalam kengerian malam itu. "Tim Bayangan gabungan yang dipimpin oleh Lucien Dorne, bergerak seperti hantu. Mereka melumpuhkan sistem keamanan elektronik di kediamanmu tanpa jejak. Mereka membobol kunci pintu utamamu tanpa suara. Semuanya berjalan sesuai rencana yang sempurna."Ia berhenti, matanya menerawang. "Namun, saat anggota tim pertama mendorong pintu itu terbuka, mereka tidak disambut ole
"Pilihan untuk hidup dengan tangan berlumuran darah orang lain," desis Rayden, suaranya rendah dan penuh dengan kebencian yang membara. Getarannya terasa di udara, cukup tebal untuk bisa dirasakan di kulit. "Itu bukanlah sebuah pilihan. Itu adalah kebejatan."Sang Tetua menerima penghakiman itu tanpa membantah, seolah kata-kata itu adalah cambukan yang memang pantas ia terima. Ia menghela napas panjang, sebuah suara yang sarat dengan kelelahan selama satu dekade. "Sebutlah sesukamu, anak muda. Tapi yang jelas, penghakimanmu tidak akan mengubah apa yang telah terjadi."Ia menegakkan tubuhnya sedikit, matanya yang tua kini menerawang, kembali ke malam yang gelap sepuluh tahun yang lalu. "Malam itu, kami di dewan perencanaan menyebutnya 'Operasi Burung Kenari Emas'. Sebuah nama yang puitis untuk sebuah tugas yang kotor. Rencananya di atas kertas sangatlah sederhana."Ia mulai bercerita dengan nada seorang jenderal yang menceritakan kembali pertempuran yang telah kalah, penuh dengan detai