Home / Urban / Balas Dendam sang Kultivator / Bab 7. Panggung Emas

Share

Bab 7. Panggung Emas

Author: Imgnmln
last update Last Updated: 2025-06-30 09:38:12

Rayden turun dari mobil. Sepatu kulitnya menyentuh aspal dengan suara nyaris tak terdengar. Ia menarik kerah jasnya dan menyesuaikan topeng setengah wajah yang menutupi bagian hidung hingga dagu. Aksesori wajib, katanya, demi menjaga ‘Kerahasiaan identitas tamu.’

Lampu-lampu Balai Lelang Delvanca menyala terang, memantul di permukaan marmer dan kaca. Para undangan melangkah satu per satu. Pakaian formal, topeng berbeda-beda bentuk dan warna, namun semuanya menyembunyikan identitas. Rayden menyelip di antara mereka.

Ia menyerahkan pin VIP. Pemindai berbunyi singkat. "Silakan masuk, Tuan," ucap petugas berseragam.

Di balik topeng, matanya tajam mengamati. Bagi kebanyakan orang, ini pesta mewah. Tapi Rayden tahu, ini bukan pesta. Ini panggung pertarungan diam-diam. Ia berjalan menuju kursinya, yang ditandai sesuai identitas samaran. Sorotan lampu hangat menari di langit-langit. Musik lembut mengalun dari sudut ruangan. Tawa ringan terdengar di sana-sini, tapi tak ada yang benar-benar terdengar jujur.

Ia mengamati para tamu. Cara mereka berdiri, bicara, tertawa. Banyak yang terlalu santai, ada juga yang justru terlihat kaku. Tapi semuanya tampak menjaga jarak, menyimpan sesuatu di balik topeng.

"Pertama kali ikut lelang seperti ini?" suara pria dari kiri membuat Rayden menoleh.

Seorang pria bertopeng perak duduk dua kursi darinya. Suaranya ramah, tapi matanya tak menunjukkan hal yang sama.

"Tidak," jawab Rayden singkat.

"Biasanya yang pendiam seperti Anda, punya tujuan paling jelas," lanjut pria itu sambil mengangkat gelas.

Rayden hanya memberi anggukan kecil.

Beberapa menit kemudian, lampu panggung menyala. Seorang pria dengan jas merah marun naik ke atas. Ia membuka acara dengan memperkenalkan barang-barang yang akan dilelang.

Barang pertama, batu energi kualitas menengah. Penawaran dimulai. Paddle diangkat. Angka-angka disebut cepat. Rayden tidak tertarik. Fokusnya bukan di barang pembuka.

Barang berikutnya ditampilkan. Waktu berlalu. Suara lelang dan tawar-menawar terus mengisi ruangan. Rayden tetap duduk tenang. Sesekali mengangkat gelas kecil di tangannya untuk menyesuaikan perannya.

Setelah beberapa item lewat, tiga pria berpakaian hitam mendorong sebuah kotak kaca besar ke atas panggung.

Rayden duduk lebih tegak. Matanya tajam.

Itu dia.

Peti itu sama seperti yang dilihatnya tiga malam lalu. Di dalamnya ada tiga benda yang memancarkan aura berbeda. Energi dari dalam kotak itu seperti menyebar ke seluruh ruangan.

Para tamu mulai memperhatikan. Suara di ruangan perlahan mengecil. Sebagian mulai saling berbisik. Beberapa bahkan sudah mengangkat paddle mereka sebelum proses penawaran dimulai.

Tapi kemudian, sebuah suara terdengar dari sisi kanan ruangan.

"Barang itu... tidak seharusnya dilelang malam ini."

Seorang pria berdiri perlahan. Ia memakai jas hitam sederhana dan berdiri dengan tenang, tapi aura tubuhnya membawa tekanan aneh. Wajahnya tertutup topeng abu-abu polos. Tidak ada yang mengenalnya.

Rayden melirik, lalu memutar kembali kejadian di gudang. Pria ini bukan salah satu dari penjaga. Tapi kemunculannya terlalu tepat untuk dianggap kebetulan.

Pemandu lelang tampak gelisah. Seorang staf membisikkan sesuatu di telinganya sambil menyodorkan kertas. Sang pemandu membaca cepat, lalu berdiri tegak kembali.

"Barang nomor sembilan ditunda penawarannya. Akan dikaji ulang oleh penyelenggara. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini."

Beberapa tamu terdengar kecewa. Yang lain tampak lega. Tapi Rayden tahu, ini bukan keputusan dadakan. Ini direncanakan.

Matanya mengikuti dua penjaga yang dengan cepat menggiring peti kaca ke balik panggung. Gerakan mereka terlalu rapi. Tanpa kebingungan. Seolah mereka sudah tahu bahwa barang itu akan ditarik.

Lorong yang mereka tuju adalah lorong sempit menuju ruang penyimpanan bawah. Tempat yang sama yang Rayden telusuri beberapa malam lalu. Tapi kali ini, penjagaannya pasti berbeda.

Rayden tidak bergerak, tapi pandangannya berubah. Ia mulai memperhatikan tamu-tamu lain. Beberapa pasang mata terlalu lama menatap ke arahnya. Bukan sekadar ingin tahu, tapi seperti mengawasi.

Ia bersandar ke kursi, tampak santai. Satu tangannya perlahan masuk ke dalam jas, menyentuh logam kecil dan sensor yang tersembunyi di sana. Pergerakannya tetap tenang. Tapi pikirannya mulai menyusun ulang rencana.

Ia memutar ulang jalur keluar di kepalanya. Letak kamera, jumlah penjaga, sudut-sudut gelap yang bisa dimanfaatkan. Waktu yang dibutuhkan untuk turun ke ruang bawah tanpa menarik perhatian.

Lalu, suara pelan dari arah belakang terdengar.

"Kalau dia bergerak malam ini, aktifkan protokol kedua."

Rayden tidak menoleh. Tapi telinganya menangkap kalimat itu dengan jelas. Protokol kedua. Itu bukan sekadar pengamanan tambahan. Itu sistem penangkapan.

Mereka menunggu seseorang. Dan kemungkinan besar, orang itu adalah dia.

Di kejauhan, pemandu lelang kembali membuka penawaran untuk barang selanjutnya. Tapi suasana ruangan tidak sama lagi. Suhu udara seperti turun beberapa derajat. Banyak tamu yang terlihat gelisah. Mungkin mereka tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi, tapi mereka bisa merasakannya.

Rayden menyapu pandangan ke sekeliling. Wajah-wajah di balik topeng. Semua terlihat biasa, tapi satu per satu mulai memperlihatkan celah. Gerak mata. Jari yang mengetuk lengan kursi. Napas yang berubah ritme.

Ia menarik napas dalam-dalam. Malam ini bukan hanya soal barang lelang. Ini tentang siapa yang bereaksi terhadap apa. Dan ia baru saja masuk ke tengah permainan yang sudah disiapkan jauh sebelum ia tiba.

Jika mereka sudah menyiapkan jebakan, maka ia harus lebih cepat dari mereka.

Rayden menunduk sedikit, menyentuh bagian dalam sepatu kanannya. Sensor kecil di sana menyala saat disentuh. Ini sinyal awal. Bukan untuk menyerang. Tapi untuk membuka jalur keluar jika dibutuhkan dalam keadaan darurat.

Dari barisan kanan, seorang wanita muda bersandar santai di kursinya. Ia memakai gaun hitam dengan topeng bertabur kilau perak. Suaranya ringan, nyaris seperti bisikan iseng di tengah pesta biasa.

"Lucu ya," katanya, tanpa menoleh langsung ke arah Rayden. "Kadang yang datang untuk berburu malah jadi umpan."

Rayden tidak menyahut. Tapi matanya menangkap sedikit gerakan dari cincin di jari wanita itu, ukiran kecil yang sama seperti simbol yang pernah ia lihat di dokumen internal Bramasta. Bukan sekadar tamu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 245. Bara Api Terakhir

    Rayden menembus perut naga itu dengan kecepatan melampaui cahaya. Setiap pukulan dan tebasannya mengandung bentuk.“Teknik Pertama, Tebasan Masa Lalu!”.“Teknik Kedua, Tebasan Kehendak!”“Teknik Ketiga, Tebasan Takdir!”.Dalam perut naga, energi merah dan putih beradu, membentuk pusaran besar. Rayden berteriak, suaranya menggema di seluruh dimensi.“Kau ingin abadi, Brahma? Maka abadi bersamaku!” Tubuhnya terbakar total, menjadi inti cahaya. Ia menancapkan pedangnya ke jantung naga. Dunia berhenti berputar.Ledakan putih lahir tanpa suara.Ketika cahaya mereda, hanya keheningan yang tersisa. Void tak lagi hitam, tapi biru muda, seperti fajar pertama setelah badai. Di tengahnya, Rayden jatuh perlahan, tubuhnya kini manusia lagi. Pedangnya sudah lenyap. Tapi di dadanya, api kecil masih berkedip.Dalam bayangan samarnya, ia mendengar langkah pelan di balik kabut cahaya. Raelyn berjalan mendekat, senyumnya lembut. “Kak…”Rayden menatapnya lama, bibirnya gemetar. “Aku… benar-benar pulang,

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 244. Dimensi Void II

    Ia mengangkat tangan, menancapkan pedangnya ke tanah kehampaan. Api dari tubuhnya melonjak ke segala arah, menyalakan Void, menelan langit, bumi, dan bahkan bayangan Brahma itu sendiri.Lord Dragon menjerit, separuh wajahnya meleleh. “Kau bodoh, Rayden! Kalau aku mati, kau mati bersamaku!”“Kau ingin abadi, Brahma?” Rayden tersenyum samar. “Maka abadi bersamaku… dalam api ini.”Ledakan putih meluas. Void runtuh. Langit pertama jatuh menimpa dunia roh, langit kedua jatuh ke dunia manusia. Lembah Sunyi meledak menjadi debu emas. Semuanya hancur, tapi bukan dalam kehancuran yang dingin. Hancur dalam keheningan yang hangat, seperti akhir dari lagu yang sudah terlalu lama dinyanyikan.Rayden berdiri di tengah lautan cahaya, tubuhnya perlahan lenyap. Api di dadanya padam satu per satu, menyisakan bara kecil yang berkedip pelan. Ia memandang tangannya yang hampir tak berbentuk, lalu menatap ke atas.Di atas sana, langit baru muncul. Tidak merah, tidak hitam. Tapi biru lembut, biru yang belum

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 243. Dimensi Void

    “Bara yang Menghapus Nama!”Cahaya menyapu kegelapan, tapi bayangan itu tidak hancur. Sebaliknya, ia tertawa.“Kau tidak bisa menghancurkan kehendak, Rayden. Karena kehendak itu juga hidup di dalammu.”Rayden berhenti di udara. Nafasnya berat. Suara tawa itu bergema dari segala arah. Lalu sebuah tangan bayangan keluar dari tanah, menembus dadanya. Rayden terhuyung, darahnya menyembur. Tapi anehnya, api di tubuhnya malah semakin besar.“Kau benar,” katanya pelan, suaranya mulai terdistorsi oleh panas. “Kau hidup di dalamku.”Bayangan itu menatapnya bingung. “Apa maksudmu?”Rayden menatap lurus ke mata kegelapan itu, senyum kecil muncul di bibirnya. “Kalau begitu,” katanya, suaranya tenang tapi tajam, “Aku akan memulai dari diriku.”Cahaya merah menyala dari dalam tubuhnya, seperti ledakan matahari. Api itu bukan keluar, tapi masuk menyusup ke setiap sel, setiap ingatan, setiap bayangan yang pernah ia bawa. Seluruh Void berubah warna. Kegelapan berubah menjadi merah, lalu emas, lalu put

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 242. Lord Dragon II

    Mereka saling menerjang. Benturan berikutnya bukan sekadar pertarungan, itu perang antar dua kehendak ilahi. Rayden memanggil Teknik Dewa Perang Arka ke tujuh.“Bara yang Membelah Langit.” raung RaydenApi keluar dari setiap pori tubuhnya, membentuk sayap cahaya merah keemasan.Brahma Angkara membalas dengan Teknik Saint Dragon.“Nafas Kekekalan,” desis Brahma Angkara.Semburan energi murni yang bisa menghapus eksistensi.Api dan cahaya bertubrukan, menghasilkan dentuman yang memecah lapisan ketujuh langit. Dunia bergetar.Di bawah, Orion berteriak. “Lembah jatuh!”Anya menahan formasi dengan darahnya sendiri, sementara Mireya dan Kara di bumi menegakkan perisai spiritual, menahan hujan energi naga yang membakar langit seperti meteor.Rayden terlempar lagi, tubuhnya penuh luka bakar. Tapi di wajahnya, tak ada rasa takut. Ia melangkah maju, darah menetes dari dagunya, bercampur dengan cahaya merah yang mengelilinginya.Brahma Angkara menatapnya, napasnya berat.“Kau seharusnya sudah ma

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 241. Lord Dragon

    Namun jumlah mereka tak berkurang. Dari balik awan, puluhan lagi muncul lebih besar, lebih cepat. Salah satunya meluncur ke Rayden, menabrak dengan kekuatan yang cukup untuk memecahkan gunung.Benturan itu menimbulkan ledakan cahaya putih. Tanah di bawah mereka terbelah, menciptakan jurang sejauh beberapa kilometer. Orion menutupi wajahnya, tapi tetap menatap ke tengah ledakan.Di sana, Rayden masih berdiri. Tubuhnya berlumuran darah, tapi matanya menyala lebih terang dari sebelumnya.“Kalian makhluk yang lahir dari darah naga…” katanya perlahan. “Kalian mencium darah itu di dalam diriku, bukan?”Pasukan Saint Dragon berhenti menyerang. Mereka terdiam. Ratusan makhluk bersisik itu berlutut serempak, menundukkan kepala mereka ke arah Rayden.Suara mereka bergema, serempak seperti mantra kuno. “Kami hanya tunduk pada pewaris naga sejati.”Orion terpaku. “Mereka... menyembahmu.”Rayden menatap mereka lama, lalu menggeleng dengan tatapan dingin. “Bangkit.”Tak ada yang bergerak. Rayden me

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 240. Saint Dragon

    Rayden mengangkat tangannya, dan seketika ribuan bara berputar mengelilingi aula. “Kalau begitu, kita bakar kegelapan itu sampai tak tersisa.”Api menyala dari dalam tubuhnya. Lidah-lidah merah keemasan menembus langit-langit, menelan bayangan yang bersembunyi di setiap sudut.Satu demi satu, tubuh-tubuh yang disusupi meledak menjadi serpihan cahaya, meninggalkan abu putih yang jatuh seperti salju. Namun darah menetes dari bibir Rayden. Cahaya di dadanya berdenyut liar, seolah jiwanya berjuang menahan beban dunia.Anya berlari ke arahnya, tapi Rayden menahan tangan wanita itu.“Jangan hentikan aku,” katanya pelan. “Biarkan mereka melihat pemimpin mereka bukan dewa, tapi manusia yang memilih terbakar demi mereka.”Cahaya terakhir menyala lembut tapi tak tergoyahkan. Saat api mereda, Lembah Sunyi berubah. Dinding-dinding hitam kini memantulkan kilau merah keemasan. Pilar-pilar yang runtuh berdiri kembali. Dan di tengahnya, Rayden berdiri dengan mata yang memantulkan langit.Orion berlut

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status