Share

BAB 6.

Penulis: Rosshie
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-25 14:04:07

Aku menutup telepon dengan cepat, tanganku masih gemetar. Aku menatap layar ponsel yang sudah mati, seakan ingin menghancurkannya.

Kenapa Mas Raffi bisa sebegitu tega?

Hatiku bergejolak antara marah, kecewa, dan rasa sakit yang tak terkatakan.

Aku sudah memberikan segalanya untuknya, dan ini yang aku dapatkan? Menghancurkan pernikahan kami dengan begitu mudahnya?

Aku menundukkan kepala, dan sesaat merasa dunia ini begitu berat. Aku tahu aku sudah memutuskan untuk bercerai, tapi apa yang akan terjadi selanjutnya?

Aku harus bagaimana menghadapi ini semua? Aku bisa merasakan beban yang semakin berat di pundakku.

Malam semakin larut, namun aku tidak bisa tidur. Berbagai pikiran terus berputar di kepalaku, dan aku tak bisa menenangkan diri.

Sesekali aku memandang foto pernikahanku dengan Mas Raffi yang ada di meja kecil di samping tempat tidur.

Aku teringat saat pertama kali kami bertemu, bagaimana dia menyentuh hatiku dengan kata-katanya yang manis.

Bagaimana ia berjanji akan selalu ada untukku, bagaimana dia meyakinkan aku bahwa kami akan menghabiskan masa depan bersama. Kenapa sekarang semua terasa seperti kebohongan?

Aku berjalan ke jendela kamar, menatap keluar. Malam itu gelap, sepi, dan tak ada suara apapun kecuali suara angin yang berhembus lembut.

Aku ingin melupakan semuanya, tapi aku tahu itu tidak mudah. Mas Raffi dan aku sudah mengikat janji suci, tapi kini janji itu hancur begitu saja. Aku bertanya-tanya apakah dia merasa sedikit pun bersalah.

Aku teringat dengan kata-kata nenek Halimah yang selalu menenangkan hatiku, "Jangan berputus asa, Ra. Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar kemampuan hamba-Nya."

Aku tahu aku harus tetap kuat. Jika bukan untuk Mas Raffi, setidaknya untuk diriku sendiri, untuk ibu dan keluarga yang masih berharap aku bahagia.

Aku berdoa dalam hati, memohon petunjuk pada-Nya. Aku tak ingin terus terjebak dalam rasa sakit ini.

Keputusan untuk bercerai sudah aku ambil, dan aku harus melangkah maju. Tetapi langkah itu terasa begitu sulit.

Aku merasa seperti berjalan di atas pasir yang rapuh, setiap langkahku bisa membuatku terjatuh lagi. Aku mengingat nenek Halimah yang selalu memberi nasihat dengan penuh kebijaksanaan, dan aku tahu dia benar.

Aku harus banyak beristighfar dan memohon petunjuk Tuhan. Aku tidak bisa membiarkan perasaan ini menguasai diriku sepenuhnya.

Keesokan harinya, aku duduk di teras rumah bersama ibu dan Bulek Rina. Aku mencoba untuk tetap tenang, tetapi dalam hati, aku merasa kosong.

Ibu tampak bahagia melihatku kembali, dan itu sedikit meringankan bebanku. Tapi aku tahu, aku tidak bisa terus berpura-pura.

Aku harus menghadapi kenyataan dan memberi tahu ibu apa yang sebenarnya terjadi.

“Ra, kemarin kamu bilang kalau Mas Raffi sibuk kerja, jadi nggak bisa nemenin kamu pulang ke sini. Tapi kok aku merasa ada yang beda ya? Apa semuanya baik-baik aja antara kalian?” tanya ibu, dengan wajah penuh keprihatinan.

Aku terdiam sejenak. Aku bisa melihat ada kekhawatiran di mata ibu.

Aku tahu, ibu sudah merasa ada yang tidak beres, tapi aku belum siap untuk memberitahunya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku ingin melindungi ibu dari rasa sakit yang lebih dalam.

“Ibu, semuanya baik-baik saja kok. Ara cuma ingin pulang sebentar. Mas Raffi memang sibuk dengan pekerjaannya,” jawabku, berusaha meyakinkan ibu, meskipun hatiku terasa sesak.

Bulek Rina juga tampak memperhatikan, seakan bisa merasakan ada yang tidak beres.

“Tapi Ra, kamu kok kelihatan murung? Jangan-jangan kamu ada masalah dengan Raffi, ya?” katanya, dengan nada khawatir.

Aku memaksakan senyum, walaupun aku tahu itu hanya menutupi rasa sakit yang ada.

“Nggak, Bulek. Ara cuma capek aja. Mungkin karena perjalanan jauh dari Jakarta ke sini. Ara akan baik-baik saja,” jawabku, sambil berusaha terlihat ceria.

Aku tahu, semakin aku berbohong, semakin perasaan bersalah itu menghantuiku. Aku berharap bisa secepatnya melewati masa sulit ini, tetapi aku juga sadar, waktu akan menentukan segalanya.

Aku berjanji pada diriku sendiri, suatu saat nanti aku akan memberitahu ibu tentang apa yang terjadi. Tapi bukan sekarang, bukan saat ini.

Siang itu aku memutuskan untuk pergi ke masjid, untuk berdoa dan mencari kedamaian. Aku duduk di sudut masjid, memejamkan mata, dan mengangkat kedua tangan untuk berdoa.

Aku memohon pada Tuhan untuk memberiku kekuatan, agar aku bisa menjalani ujian ini dengan sabar.

Aku juga memohon agar Tuhan memberikan jalan terbaik untukku, dan jika aku memang harus berpisah dengan Mas Raffi, aku berharap Tuhan memberi petunjuk yang jelas.

Setelah sholat, aku merasa sedikit lebih tenang. Aku duduk sejenak, menikmati kedamaian yang ada di sekitarku.

Di luar sana, dunia terus berjalan, sementara aku masih terjebak dalam perasaanku yang kacau.

Aku tahu, aku harus segera keluar dari keterpurukan ini. Aku harus kembali menjadi diriku yang kuat, yang bisa menghadapi apapun yang datang.

Saat aku kembali ke rumah, ibu sedang sibuk di dapur, menyiapkan makanan.

Aku duduk di meja makan, berpikir sejenak. Aku merasa harus berbicara dengan ibu, walaupun aku tahu itu akan sangat sulit.

Aku harus jujur pada ibu, meskipun aku takut dia akan merasa kecewa dan terluka.

“Ara, bisa nggak kamu bantu ibu sebentar?” tanya ibu, memecah lamunanku.

Aku mengangguk dan berdiri, mendekati ibu yang sedang memotong sayur.

“Ibu, aku ingin bicara,” ucapku pelan, hati mulai berdebar.

Ibu menoleh dan tersenyum. “Apa, sayang? Ada apa?”

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Ibu, aku harus memberitahukan sesuatu yang penting. Tentang Mas Raffi,” kataku, suaraku bergetar.

Wajah ibu berubah serius. “Ada apa dengan Mas Raffi? Kok kamu terlihat berbeda, Ra?”

Aku menunduk, menghindari tatapan ibu yang penuh kekhawatiran. “Mas Raffi… dia… dia sudah berubah, Bu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa rumah tangga kami sudah tidak bisa diperbaiki lagi.”

Ibu terdiam, matanya tampak berkaca-kaca. “Ra, jangan bilang kalau kalian...”

“Aku ingin bercerai, Bu,” aku memotong, dan air mata mulai menggenang di mataku. “Mas Raffi sudah punya istri baru, Bu. Aku sudah tidak bisa bertahan lagi.”

Ibu terkejut, dan aku bisa melihat wajahnya yang penuh rasa sakit. “Ra… kenapa kamu nggak bilang dari awal?”

“Aku tidak mau ibu khawatir. Aku juga tidak siap untuk memberitahukan ibu semua ini. Tapi sekarang aku merasa harus jujur, Bu,” jawabku, hampir tak bisa menahan tangis.

Ibu terdiam sejenak, matanya penuh dengan kebingungan dan rasa sakit. Dia mendekatiku, memelukku erat.

“Ra, ibu nggak bisa bayangin kalau kamu melalui semua ini sendirian. Tapi ibu akan selalu ada untuk kamu. Apapun yang terjadi, ibu mendukungmu.”

Aku menangis dalam pelukan ibu. Rasanya, beban yang ada di pundakku sedikit terangkat.

Aku tahu, ini baru awal dari perjalanan panjangku. Meskipun keputusan untuk bercerai sudah diambil, aku masih harus melewati banyak hal.

Tetapi aku merasa lebih kuat sekarang. Karena ibu ada di sampingku, aku tahu aku tidak akan pernah benar-benar sendirian.

Setelah beberapa saat, aku melepaskan pelukan ibu dan mengusap air mata yang masih membasahi pipiku.

“Terima kasih, Bu. Aku janji, aku akan kuat.”

Ibu tersenyum lembut. “Kamu memang anak ibu yang kuat. Jangan takut untuk mengambil keputusan, Ra. Ibu akan selalu mendukung kamu.”

Aku mengangguk, merasakan kedamaian yang mulai tumbuh dalam hatiku. Perjalanan panjang ini belum berakhir, tapi setidaknya aku tahu aku tidak akan melewatinya sendiri.

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 58. ENDING

    Suara tangis bayi menggema di ruang operasi, menandai kehadiran seorang malaikat kecil di dunia.Zahra baru saja melahirkan secara caesar, seperti saat melahirkan anak pertamanya, Ramadhan.Proses yang penuh perjuangan itu kini tergantikan oleh perasaan lega dan bahagia yang meliputi seluruh ruangan.Elang berdiri di sisi Zahra. Dia tak henti-hentinya mengecup kening istrinya yang masih terbaring lemah di atas ranjang operasi. Air matanya mengalir, membasahi wajahnya yang penuh kebahagiaan.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih untuk hadiah terindah yang kamu berikan padaku,” ucap Elang dengan nada bergetar. Tangannya menggenggam erat tangan Zahra, seolah ingin memastikan bahwa kebahagiaan ini nyata.Zahra tersenyum lembut meski tubuhnya masih lemah. “Semua ini juga karena kamu, Mas. Terima kasih sudah selalu ada di sisiku,” balasnya dengan suara pelan namun penuh cinta.Tak lama, seorang perawat menghampiri mereka sambil menggendong bayi mungil yang masih merah. “Pak, ini putri Anda,”

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 57.

    Di koridor yang sunyi, suara langkah kaki Zahra dan Elang menggema. Mereka baru saja selesai mendengar penjelasan dokter tentang kondisi Raffi.Dokter itu, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan wajah penuh empati, menjelaskan bahwa tidak ada perubahan berarti pada Raffi sejak pertama kali dirawat di rumah sakit jiwa itu.“Dia sering menjerit ketakutan saat malam hari,” kata dokter dengan nada berat. “Dia terus mengulang bahwa dia bukan pembunuh, seolah dihantui rasa bersalah kepada Sarah dan Nessa. Namun, saat siang hari, dia terlihat berbeda. Raffi tersenyum, bicara sendiri, dan selalu menyebut nama Anda, Bu Zahra. Dia sering menceritakan bahwa istrinya, Zahra, adalah wanita yang cantik, baik, dan sangat mencintainya.”Kata-kata itu bergema di kepala Zahra, meskipun dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan emosi.Kini, Zahra dan Elang berdiri di taman rumah sakit, mengamati Raffi dari kejauhan. Pria itu duduk di kursi roda, wajahnya yang dulu tampan kini terlihat le

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 56.

    Empat tahun sudah berlalu. Zahra dan Elang, yang selama ini tinggal di Kanada setelah menikah, akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta.Selama pernikahan mereka, Elang sering bolak-balik Jakarta–Kanada karena pekerjaannya. Namun, demi kebersamaan, mereka akhirnya sepakat untuk kembali ke Jakarta setelah Zahra menyelesaikan studinya.Di Bandara Soekarno-Hatta, suasana hangat menyambut kedatangan mereka. Seorang bocah kecil bermata bulat berlari dengan semangat ke arah sepasang paruh baya yang sudah menunggu.“Kakek! Nenek!” seru bocah itu dengan suara riang, membuat suasana bandara terasa lebih hidup.“Cucu Kakek yang ganteng,” ucap Burhan dengan penuh kasih, sambil berjongkok untuk menyambut pelukan cucunya.Ramadhan Luthfi Bagaskara, atau yang akrab dipanggil Rama, langsung memeluk erat kakeknya. “Kakek!”Burhan menggendong Rama sambil tersenyum lebar.“Rama kangen sama Kakek,” ujar Rama sambil mengecup pipi kakeknya.Reina, nenek Rama, tertawa kecil. “Sama Nenek nggak kangen ni

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 55.

    Pemakaman Sarah dan Nessa baru saja usai. Suasana penuh duka menyelimuti keluarga yang ditinggalkan.Tangis Alina pecah di tengah pelayat yang mulai membubarkan diri. Dia tak menyangka nasib anak tirinya dan cucunya akan berakhir dengan begitu tragis. Rasa kehilangan begitu besar, seakan mengguncang dunia kecilnya.“Kenapa semua ini harus terjadi?” ucapnya lirih sambil menatap nisan Sarah dan Nessa.Tak hanya Alina yang terguncang. Seluruh keluarga Zahra ikut terkejut ketika mengetahui pelaku pembunuhan Sarah dan Nessa adalah Raffi dan ibunya.Raffi, yang dulu dikenal sebagai pria yang baik dan penuh kasih, kini berubah menjadi pelaku kejahatan keji.Zahra sendiri tak bisa menyembunyikan rasa prihatinnya. Dia menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak di dalam dadanya.Setelah pemakaman selesai, mereka kembali ke rumah nenek Halimah. Suasana di rumah terasa berat, seolah bayang-bayang tragedi tadi masih membekap mereka.Alina memilih mengurung diri di kamar, ditemani oleh putrany

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 54.

    Elang yang tengah bersiap menemui kliennya di sebuah hotel berbintang dikejutkan oleh berita mendadak dari seorang staf hotel.Seorang wanita ditemukan tewas di salah satu kamar hotel. Rasa ingin tahunya langsung membuncah, dan tanpa berpikir panjang, Elang memutuskan untuk memeriksa ke lokasi yang disebutkan.“Maaf, Pak Elang, saya harus memastikan Anda tahu apa yang terjadi,” ujar resepsionis hotel dengan nada gemetar. “Itu terjadi di kamar 304, lantai tiga.”Elang, yang sebelumnya fokus pada pertemuan bisnisnya, bahkan sampai melupakan Raffi, yang sudah menghilang entah ke mana.Bersama beberapa staf hotel, dia segera menuju lantai tiga. Di depan kamar 304, dia mendapati suasana tegang.Beberapa orang terlihat berdiri dengan wajah cemas, termasuk seorang pria yang sangat dia kenal.“Pak Derik? Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Elang dengan nada terkejut.Derik, klien yang sudah berjanji untuk bertemu dengannya, tampak pucat pasi. Wajahnya menggambarkan keterkejutan dan kesediha

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 53.

    Raffi terlihat panik, begitu juga dengan Sonia yang matanya langsung membelalak saat melihat Sarah yang tak sadarkan diri dengan kepala yang ber-lumu-ran da-rah.“Raf, apa yang sudah kamu lakukan!” teriak Sonia, suaranya melengking penuh kepanikan.Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Pemandangan itu terlalu mengerikan.Raffi berdiri terpaku. Dia memegang botol wine yang pecah di ujungnya, da-rah Sarah menetes dari pecahan kaca tersebut.Seketika, dia melempar botol itu jauh, seolah benda itu panas membakar tangannya.“Aku gak sengaja melakukannya. Aku hanya ingin membela diri dan kamu tahu itu!” teriak Raffi, suaranya bergetar, matanya memandang Sarah yang tergeletak tak bergerak di lantai.Da-rah terus mengalir dari kepala Sarah, membasahi lantai marmer yang mengkilap. Pemandangan itu membuat Sonia semakin panik.Sonia menoleh ke arah Raffi dengan tatapan tajam. “Raf, kita harus bawa Sarah ke rumah sakit. Dia bisa mening

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status