Share

Bab 5

 

 

"Terus sekarang gimana? uang kita sudah menipis!"

 

"Engga tahu, Mas, kita pikirin nanti aku lapar ini." Wirda melenggang masuk menuju dapur, berharap jika Fatma akan menyajikan sedikit makanan untuk mengganjal perutnya.

 

Sedangkan Ahza mendengus kesal saat melihat istrinya begitu saja mengingkari janji, tak dapat dipungkiri ia pun merasa lapar, karena semenjak berbuka puasa hanya satu lembar roti tawar berisi selai coklat yang Wirda hidangkan dan air putih dingin sebagai pelepas dahaga.

 

Tanpa ada sop buah, takjil buatan Fatma dan masakkannya yang sudah terkenal lezat di lidah, Ahza memang merasakan ramadhan kali ini berbeda dengan sebelumnya.

 

Wirda melangkah menuju dapur sembari memegangi ulu hatinya, perut mulai terasa melilit kala menghirup aroma kuah rawon yang menguar di sekitar dapur.

 

Beberapa kali wanita itu menelan air liur saat aroma rawon begitu menusuk indra penciumannya. Namun, nahas rawon itu milik Fatma, dan sepertinya mantan kakak madunya itu enggan untuk berbagi.

 

Wirda mencebik kala melihat mantan kakak madunya dengan telaten memindahkan rawon itu dari plastik ke dalam Tupperware.

 

Ingin sekali ia menegur, akan tetapi cangggung rasanya, mengingat akhir-akhir ini sosok Fatma tak banyak bicara pada dirinya ataupun Ahza.

 

Wirda duduk di kursi meja makan sembari menatap Fatma yang sibuk memindahkan rawon lengkap dengan nasinya ke dalam Tupperware.

 

Tak berselang lama Ahza juga menghampiri, mereka bertiga berada dalam satu ruangan tapi terjebak dalam keheningan.

 

Fatma sibuk memindah-mindahkan makanan yang barusan di belinya di luar untuk makan sahur esok hari, sedangkan Ahza dan istri keduanya tak berhenti menatap makanan itu dengan sesekali menelan air liur karena merasa tergoda oleh aroma khas daging sapi.

 

Dirasa selesai, Fatma melengang pergi dengan membawa makanan tersebut menuju kamarnya tanpa kata, ia melengos begitu saja di hadapan Wirda dan mantan suaminya.

 

"Bund, kok dibawa ke kamar makanannya?"Ahza menghalangi langkah Fatma dengan cara berdiri di hadapan menghalangi.

 

Perutnya begitu terasa melilit, ia sangat berharap jika Fatma akan iba dan memberikan sedikit makanan itu untuk dirinya.

 

Namun, wanita yang mengenakan kerudung coklat itu masih diam membisu, ia berusaha melangkah dengan cara menghindari tubuh kekar Ahza yang menghalangi jalannya.

 

"Bund, kenapa sih kamu ga mau bicara lagi sama Mas?" Ahza memelas lebih tepatnya tak tahu malu.

 

"Minggir! Aku bukan siapa-siapa kamu lagi, sekarang ini aku orang lain, dan lebih baik kita urus diri masing-masing," ucap Fatma tegas lalu ia mulai beranjak pergi.

 

"Bund! Apa kamu ga kasihan lihat aku belum makan sejak tadi?" Ahza mencekal pergelangan tangan Fatma

 

Perut yang terasa melilit membuat Ahza memberanikan diri mengatakan hal itu, meskipun dalam hati kecilnya ia merasa malu.

 

"Lepas, Mas! Kita sudah ga halal lagi, kalau kamu mau makan minta masakin sana sama istri kesayangan kamu itu," ujar Fatma seraya menoleh Wirda.

 

Sedangkan Wirda mencebik merasa tersinggung.

 

"Aku ke kamar dulu, Mas, ingat! Kamu sudah talak aku secara tiba-tiba, dan mulai saat ini kita harus menjalani hidup masing-masing."

 

Fatma melenggang pergi menuju kamar, lagi-lagi ia ingin menangis menumpahkan segala rasa sakitnya.

 

Dengan langkah yang terseok akhirnya Fatma masuk ke dalam kamar, menatap putra-putrinya satu persatu, dalam beberapa detik cairan bening kembali luruh dari sudut matanya.

 

Bukan sedih karena berpisah dengan Ahza. Namun, ia sedih karena kedua anaknya akan kehilangan kasih sayang seorang ayah.

 

Fatma terus melafalkan istighfar untuk menenangkan hatinya, tak ada pijakan yang membuat ia semakin kuat selain dengan mengingat Tuhannya.

 

*

 

 

Sementara di ruang makan Ahza dan Wirda nampak saling bersitegang, satu dan yang lainnya saling menyalahkan.

 

"Aku lapar, Dek coba kamu masak apa saja lah terserah," ungkap Ahza sedikit kesal karena istri kesayangannya teramat pemalas.

 

"Masak apa, Mas? di kulkas ga ada sayuran atau apapun," sanggah Wirda tak ingin disalahkan.

 

Padahal sejatinya ia malas untuk memasak, karena sejak kecil wanita itu tak pernah berkutat di dapur seperti Fatma.

 

"Huuh! Mas bilang juga terserah, mulai sekarang biasakan masak jangan beli makanan di luar terus, boros!"

 

Ahza melengos lalu masuk ke kamar mandi kecil di samping dapur, saat kakinya berpijak betapa tercengangnya ia mendapati kamar mandi begitu kotor dan bau pesing.

 

Entah kapan ruangan kecil itu dibersihkan, yang ia tahu  tempat ini selalu bersih ketika akan memakainya.

 

Lelaki berjanggut tipis itu keluar seraya mengumpat lalu menghampiri istrinya yang sedang memasak telur dadar.

 

Bau gosong menguar di penjuru dapur, bukannya membalikkan telur di atas penggorengan istri keduanya itu malah sibuk dengan ponsel.

 

"Ya ampun, Dek! Itu telurnya gosong, astaghfirullah! Coba kamu tuh jangan main hape terus, dari pagi sampe malam hape teruus, sekali-sekali pikirin suami."

 

Ahza nampak kesal, amarahnya mulai memuncak saat Wirda tak sesuai harapannya.

 

Dalam angannya ia ingin Wirda pandai dalam segala hal seperti Fatma. Namun, kenyataan ternyata tak begitu, bahkan Wirda lebih baik dari Fatma dalam segala hal, ia baru menyadari itu selepas beberapa pekan mengucap talak.

 

"Kok bisa gosong sih?" Wirda menghampiri lalu melihat penggorengan yang mulai menghitam pekat.

 

"Makanya jangan main hape terus! Itu juga toilet kenapa ga kamu bersihin, bau tau!" Ahza nampak semakin meradang.

 

"Mas pikir aku ini babu? yang harus bersihin toliet setiap hari." Wirda mencebik.

 

"Kamu itu istriku, dan tugas istri itu bersih-bersih sama masak, lihat Fatma apa dia pernah ngeluh selama ini saat mengerjakan pekerjaan rumah?" emosi lelaki itu mulai memuncak.

 

Ia tak suka wanita pembangkang, lelaki itu sudah terbiasa dengan perangai Fatma yang lemah lembut juga sopan dalam bertutur kata.

 

"Bau gosong apa sih ini?" Fatma menghampiri karena merasa risau saat mencium bau gosong yang mulai menguar ke kamarnya.

 

"I-ini, Dek, teplon," jawab Ahza seraya mengangkat sedikit benda itu.

 

"Ya ampun! Kok bisa begini, ini tuh teplon kesayangan aku, pokoknya kamu harus cuci sampe bersih, Wirda!"

 

"Maaf, Mbak, aku ga sengaja," jawab Wirda gugup.

 

Fatma tak menanggapi lagi, lekas ia kembali menuju kamarnya dengan hati yang kesal, selama ini ia selalu merawat peralatan masak itu dengan baik. Namun, Wirda merusaknya dengan sekejap mata.

 

Wanita itu memang perusak segala hal, gumam Fatma.

 

"Cepet bersihkan, Dek, sekalian kamu cuci tuh toilet, keramiknya juga harus disikat," ucap Ahza geram.

 

"Enak aja aku disuruh nyikat toilet, aku ini anak Tuan Adiguna, bukan anak pembantu!" Wirda pergi meninggalkan Ahza yang sedang meradang.

 

Lelaki itu mendengkus seraya membanting pelan penggorengan, terpaksa ia yang harus membersihkan semuanya.

 

"Dasar istri pemb*ngkang! pemalas! Kamu ga ada apa-apanya dibanding Fatma, jauh berbeda bagai langit dan bumi," cerocos Ahza saat tangannya mulai menggosok penggorengan yang gosong dan menghitam.

 

"Ini juga toliet bau banget lagi, ga di bersihin berapa Minggu coba." Ahza menyikat lantai kamar mandi seraya berbicara tiada henti 

 

Hoeekk! Hooekk!

 

Ahza merasa mual saat tangannya menyikat closet, bau pesing dan kotoran menguar menusuk indra penciumannya.

 

"Sial! Wirda! Cepat kesini bersihkan toilet ini!" teriak Ahza seraya membanting sikat pembersih ke segala arah.

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fatma Qistina
Membuang berlian demi mata kutil
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status